Di dalam bukunya “History of Java,” Sir Thomas Raffles, wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda, menceritakan mengenai seekor Harimau tengah menghadapi seekor Banteng di sebuah arena pertarungan hewan yang diselenggarakan pihak Kerajaan Jawa, dikenal dengan tradisi Rampogan. Hewan Harimau disamakan dengan Singa, lambang dari kekuasaan, orang asing (Eropa), dan kekejaman, sedangkan Banteng melambangkan rakyat jelata, ketertindasan, perbudakan dan orang pribumi (Jawa).
Harimau juga digunakan untuk melawan seorang penjahat sebagai hukuman pada masa awal kerajaan Mataram. Apabila penjahat yang dibekali dengan sebuah belati mampu melawan dan membunuh Harimau tersebut maka dia akan dibebaskan. Dalam buku lain yang ditulis orang Eropa, yaitu “Kepulauan Nusantara, Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam,” yang merupakan catatan perjalanan Alfred Russel Wallace, tergambarkan perburuan Harimau di wilayah bernama Modjo-agong, Jawa.
Harimau tersebut diburu setelah menerkam dan memakan seorang anak laki-laki yang sedang menaiki gerobak sapi di jalan utama pada suatu senja. Tulang belulang si anak ditemukan keesokan paginya. Perburuan Harimau tersebut melibatkan Wedana dan tujuh laki-laki dari wilayah tersebut, dengan menggunakan tombak sebagai senjata.
Kedelapan laki-laki dewasa tersebut mengepung Harimau dan menombaknya beramai-ramai. Kulit Harimau kemudian dijual dengan harga mahal, sedangkan gigi dan taring Harimau dijadikan jimat oleh para pemburu. Rupanya para pemburu percaya bahwa gigi dan taring Harimau dapat memberikan kekuatan dan keperkasaan bagi si pemakainya. Puluhan tahun kemudian, kepercayaan ini belumlah hilang, dan bisnis bagian tubuh dari Harimau masih sampai berlanjut, sampai kemudian tidak ada satu pun Harimau Jawa yang tersisa di Pulau Jawa.
Setelah Harimau Bali dan Jawa sudah punah, maka para pemburu pun mulai memfokuskan pada Harimau yang ada di Sumatera. Bagian-bagian tubuh Harimau seperti kulit, taring, tulang, jeroan, masih saja menjadi komoditi perdagangan dengan harga fantastis. Sebagian besar bagian tubuh tersebut dipercaya sebagai obat dan vitamin. Sebagian kecil dijadikan untuk perhiasan, atau dekorasi.
Dengan adanya gerakan perlindungan terhadap satwa liar di dunia, maka penggunaan bagian tubuh Harimau Sumatera untuk dekorasi, perhiasan, atau pakaian menjadi berkurang. Namun sayangnya perdagangan bagian tubuh Harimau untuk obat dan vitamin masih terus berlangsung sampai saat ini.
Untuk mengatasi hal tersebut, tindakan hukum yang tegas terhadap pedagang, pemburu, dan pengepul harus dilakukan. Pada beberapa kasus perdagangan organ Harimau Sumatera, faktor ekonomi merupakan alasan utama. Oleh karena itu, untuk mengatasi kasus perdagangan organ Harimau Sumatera, pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan sosial ekologi harus menjadi bagian dari rehabilitasi si pelaku.
Tidak hanya perburuan yang menyebabkan populasi Harimau Sumatera berkurang. Berkurangnya hutan yang menjadi habitat Harimau Sumatera, berdampak semakin berkurangnya hewan-hewan yang menjadi mangsanya, maka pencarian makanan Harimau pun semakin sempit, dan seringkali mencapai pemukiman, sehingga sering ditemukan konflik antara Harimau dan manusia.
Dan sebagai solusi nya, Harimau Sumatera sering ditangkap atau dibunuh oleh manusia. Kasus konflik antara manusia dan harimau pada Juni lalu, yaitu dengan ditangkapnya seekor Harimau Sumatera yang memakan kambing milik warga di Sumatera Barat.
Jadi, Harimau Sumatera tidak semata-mata akan membunuh hewan ternak milik masyarakat atau manusia, melainkan dikarenakan sudah tidak adanya hewan yang menjadi makanan di sekitar tempat tinggalnya. Secara budaya, Harimau menempati kedudukan yang istimewa didalam masyarakat adat Sumatera sebagai penjaga keseimbangan alam.
Pada ribuan tahun lalu, hutan dan manusia menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana manusia mengandalkan apa yang hutan berikan untuk hidup, dan manusia pun membiarkan hutan tetap seperti apa adanya dengan segala penghuninya, termasuk Harimau Sumatera.