Aroma lemon bercampur kokoa menyeruak lembut ketika aku menghirup secangkir kopi tanpa gula di hadapan ku. Kopi jenis robusta dari salah satu perkebunan di kawasan yang disebut Bencoolen pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan Inggris, dan sekarang dinamakan Bengkulu.Â
Di kota kelahiran ibu negara presiden pertama Indonesia, Ibu Fatmawati inilah, kita dapat menemukan kopi robusta, dan arabika yang enak. Rasa kopi robusta Bengkulu yang enak menjadikannya nomer tiga terbaik di Indonesia untuk kopi robusta.
Nama Bencoolen mulai dipakai oleh Inggris, ketika didirikan perusahaan perdagangan Inggris (British East India Company/EIC) khusus untuk lada. Bencoolen berasal dari kata "Cut Land' yang berarti tanah patah dikarenakan banyaknya gempa bumi terjadi di didaerah ini.Â
Ya, perdagangan lada di #Bengkulu memang pernah menjadi monopoli Inggris, sehingga Inggris membangun daerah ini untuk mendukung perdagangan lada tersebut.Â
Sayangnya ketika persaingan dagang antara Inggris dengan Belanda semakin menguat, dengan menguatnya kekuasaan Belanda atas wilayah penghasil rempah-rempah di seluruh nusantara, maka terjadilah perjanjian berisikan pertukaran kekuasaan atas wilayah antara Inggris dan Belanda.Â
Inggris dapat berkuasa di wilayah Malaka, dan Temasik (Singapura sekarang), sedangkan Belanda berkuasa di nusantara. Perjanjian ini terjadi di tahun 1825 sekaligus mengakhiri kekuasaan Inggris di Bencoolen. Sejak itu, Belanda pun resmi menguasai semua wilayah di nusantara.
Asal nama Bengkulu ada berbagai versi, namun versi yang paling terkenal, dan disepakati para ahli sejarah yaitu berasal dari wilayah Kerajaan Sungai Serut yang disebut juga dengan Empang Ka Hulu, berubah menjadi Pangkahulu, kemudian berubah lagi Bangkahulu, dan akhirnya disebut Bengkulu. Nama ini mulai dipakai pada saat Indonesia terbentuk, karena nama Bencoolen dianggap sebagai nama sebutan dari orang asing. Â
Selain lada, Bengkulu juga terkenal dengan daerah penghasil kopi, dan teh. Bahkan perkebunan kopi dan teh ini sudah menjadi komoditi utama Bengkulu pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda terutama dengan adanya Sistem Tanam Paksa, dimana rakyat Hindia Belanda dipaksa untuk menanam pohon-pohon yang laku di pasaran Eropa, seperti lada, kopi, teh, cokelat, cengkeh dll.Â
Pemerintah kolonial pula yang mempopulerkan teh dan kopi hasil Bengkulu, namun bukan dengan nama Bengkulu atau Bencoolen, melainkan dengan nama Sumatera. Pada masa pemerintahan kolonial ini, teh dan kopi di Hindia Belanda dikenal dengan nama Sumatera, dan Java, meskipun berasal dari berbagai daerah di kedua pulau tersebut.Â
Dari catatan Dr.J.Stroomberg, Hindia Belanda merupakan produsen kopi terbesar di tahun 1930an dan sebagian besar hasil kopi adalah untuk kepentingan ekspor. Ekspor kopi ini dikirim melalui pelabuhan di Padang dan Palembang, sedangkan para pembeli utama berasal dari Perancis, Amerika Serikat dan Belanda.Â
Di tahun 1959, perkebunan kopi milik Belanda pun dinasionalisasi, dan pengelolaannya sebagian besar diambil alih pemerintah, serta diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam wujud PTPN (Perseroan Terbatas Perusahaan negara), termasuk perkebunan kopi di Bengkulu.