Di akhir Mei 2020 lalu, National Geographic meluncurkan sebuah film dokumenter mengenai hutan hujan di Mozambique. Sebuah film berjudul “The Lost Forest” ini tepat tayangnya sebelum Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.
Usulan mengenai peringatan ini diajukan pertama kali oleh negara Senegal dan Jepang ketika akan dibuka konferensi pertama PBB soal lingkungan hidup tahun 1960. Saat itu persoalan lingkungan tengah dihadapi semua negara di dunia, seperti kebakaran hutan, pembuangan limbah beracun di Teluk Minamata, pembangunan kota yang kian masif dan eksploitasi sumber daya alam yang terus menerus.
Film “The Lost Forest” bukan semata-mata film tentang hutan yang hilang, melainkan tentang perubahan iklim atau climate change. Sejak film Al Gore berjudul “An Inconvenient Truth” rilis di tahun 2006, maka isu mengenai perubahan iklim menjadi isu yang kian nyata dihadapi semua negara di dunia. Sebelumnya isu perubahan iklim dianggap sebagai wacana para ilmuwan dan aktivis konservasi.
Beberapa penelitian mengenai ancaman nyata pengaruh perubahan iklim terhadap kehidupan di dunia semakin sering dilakukan. Apalagi peristiwa angin ribut, hujan badai, dan gelombang panas kian meningkat di beberapa negara. Kasus gelombang panas di Eropa pada tahun 2018 yang lalu misalnya telah menyebabkan kebakaran hutan, dan kekeringan, hingga petani mengalami penurunan hasil panen di Jerman.
Sekitar 80 persen hutan di Eropa mengalami kebakaran hebat, dan hujan turun hanya sebesar 1,8 inci di kawasan Eropa. Ancaman yang sama terjadi di Australia tahun 2019 lalu. Kebakaran hutan dan semak-semak, menyebabkan hilangnya populasi satwa khas Australia seperti Koala, Wombat dan Kangguru. Sekitar 100 orang meninggal akibat sesak nafas, dan mengalami dehidrasi.
Di dalam “The Lost Forest”, kita akan dibawa oleh para ilmuwan yang meneliti mengenai perubahan iklim di hutan Mozambique. Kenapa hutan ini yang dipilih? Hutan Mozambique merupakan hutan tropis di wilayah Afrika yang berfungsi sebagai pusat kehidupan bagi manusia, satwa, dan tanaman di Afrika. Untuk mengakses hutan ini, para ilmuwan dari berbagai ilmu, seperti biologi, ekologi, botani, entimologis, dan lainnya harus merayap di tebing yang tegaknya 45 derajat.
Kemudian selama berhari-hari para ilmuwan yang tidak dibayar tersebut tinggal di hutan tersebut dan melakukan pengamatan. Ahli pertanahan dan bebatuan (geologist) mencangkul sendiri tanah di hutan dan meletakkan alat ukur karbon nya untuk mengetahui usia tanah di hutan tersebut.
Ahli serangga (entomologist) menggunakan penangkap berbentuk jaring untuk menangkap serangga yang ada di hutan tersebut, dan diidentifikasi. Serangga yang berhasil ditemukan seperti kupu-kupu. Ahli lainnya juga melakukan metode pengambilan sampel biodiversitas yang ada di hutan tersebut dengan metode nya masing-masing. Zoologist yang memasang kamera trap untuk merekam perilaku dan kehidupan hewan berbadan besar atau mamalia berhasil merekam sekumpulan antelope, sejenis rusa, namun hanya ada di Afrika.
Para peneliti ini meneliti hewan, tumbuhan dan lainnya bagian dari ekosistem bumi dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Karena yang terkena dampak terbesar dari perubahan iklim adalah manusia, dan hewan yang berukuran besar. Ingat film “Ice Age?” ya, film ini sesungguhnya menampilkan perubahan iklim, dan memusnahkan hewan dan manusia yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim.
Pada film “Ice Age” misalnya, hewan-hewan besar seperti Mammoth (semacam gajah) pun punah karena bumi terbagi-bagi menjadi pulau-pulau, sehingga habitat Mammoth semakin mengecil, dan akhirnya kelaparan, atau harus beradaptasi dengan sempitnya lahan, dengan mengurangi makan.
Meskipun film ini hanya berdurasi singkat, namun penelitian mengenai perubahan iklim tersebut tidaklah dilakukan dalam waktu singkat. Gambaran dalam film tersebut memberikan gambaran singkat betapa keras kerja para ilmuwan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim di dunia.