Gubernur Jendral Valckenier mengeluarkan perintah menggeledah rumah orang-orang Cina dan melakukan pembunuhan secara besar-besaran dalam tiga hari kedepan. Gelombang pengungsian besar-besaran pun terjadi. Mereka mengungsi ke daerah-daerah sekitar Batavia, sampai dengan pesisir utara Jawa seperti Cirebon, Tegal, dll. Sedangkan orang-orang Cina tersisa ada yang bergabung dengan pasukan dari Jawa untuk melawan Belanda, dan ada yang kemudian di pindahkan ke satu kawasan di luar benteng Belanda, yang sekarang disebut Glodok.
Orang-orang Cina yang tinggal di kawasan tersebut tidak boleh memakai pakaian Eropa atau suku lain, tidak boleh berbaur dengan suku lain, hanya boleh memakai pakaian Tiongkok dan berkuncir, serta kemana-mana harus menggunakan surat ijin dari penguasa setempat. Sejak saat itu, akulturasi menjadi hal yang langka, kecuali yang sudah menjadi Islam sampai kemudian tidak diberlakukannya kembali pembatasan kawasan, yaitu sekitar abad ke-19. Di saat ini juga terdapat pembedaan orang Cina Totok dan Peranakan. Orang Cina Peranakan merupakan orang Cina yan sudah memeluk agama Islam, dan sudah berbaur dengan suku lain. Mesjid Jami Kebun Jeruk Jakarta, merupakan bukti bangunan peninggalan orang Cina Muslim.
Sedangkan di Kalimantan, tepatnya di daerah Sambas, pada tahun 1750-an, dibukanya penambangan emas di kawasan tersebut mengundang banyak orang-orang Cina menjadi buruh di pertambangan tersebut. Buruh-buruh ini sebagian besar kemudian menikah dengan perempuan-perempuan Dayak. Setelah era pertambangan selesai pada 1770-an, para buruh yang sudah tinggal di Sambas beralih profesi menjadi petani, dan beranak pinak, sampai terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Â
Pada perkembangannya, terutama tahun 1800-an orang Cina berperan dalam usaha pemberian modal bagi orang non Cina (biasa disamakan dengan tengkulak/rentenir), pemungut pajak-pajak yang ditetapkan pemerintah, dan sebagai pemodal untuk usaha-usaha yang dijalankan pemerintah Belanda, seperti pabrik gula dll. Karena peran ini-lah kemudian orang-orang Cina dianggap tidak 'berteman' dengan etnis lainnya. Di beberapa daerah, sentimen terhadap orang Cina pun meningkat, dan mulai menguat juga stereotipe orang Cina yang 'licik', 'culas', 'pelit' dan lainnya, yang negatif. Orang Cina juga mulai dipandang sebagai 'orang asing'.
Kemudian, ada istilah Cina Totok, Peranakan, dan juga Holland Sprechen, yang kemudian dipopulerkan oleh pemerintah kolonial Belanda, untuk membedakan orang Tionghoa dengan suku atau bangsa lainnya. Istilah inipun dipakai terus menerus, bahkan sampai sekarang setelah beratus-ratus tahun lamanya. Jadi, Tionghoa pribumi atau non pribumi?
Dari cerita saya diatas, sudah jelas kalau Tionghoa itu pribumi. Artinya, tidak boleh membedakan dari etnis pribumi lainnya di Indonesia. Indonesia sudah menandatangani konvensi Hak Sipil Politik (Sipol), dan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob), yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak warganya bukan berdasar etnisitas. Hak-hak ini juga dijamin dalam UUD 1945 dan dasar negara, Pancasila. Apabila masih ada yang mengangkat isu etnisitas atau SARA menjadi masalah utama dalam suatu pemilihan kepala daerah, berarti sudah melanggar hukum negara. Sin Cun Kionghi....Selamat Merayakan Hari Raya Imlek atau Sincia...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H