Bangunan candi yang terlihat dari kejauhan tersebut tidaklah berbentuk binatang tikus. Bahkan ketika didekati, sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan hewan pengerat tersebut. Lalu kenapa bangunan candi itu disebut dengan Candi Tikus? Dari cerita si penjaga candi, bahwa pada tahun 1914, bupati Mojokerto, lokasi candi ini berada, bernama RAA Kromojoyo Adinegoro, melakukan perang pada hawa tikus yang disebut-sebut sering menyerang pertanian rakyatnya. Ketika tikus-tikus tersebut dikejar, ternyata si tikus menghilang ke sebuah lubang yang berbentuk gundukan besar. Dikarenakan si bupati ingin sekali membasmi tikus-tikus, dibuka lah gundukan tersebut, yang ternyata adalah sebuah candi. Sejak itu, candi penemuannya disebut dengan Candi Tikus.
NJ Krom dalam bukunya berjudul "Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa)" menyatakan bahwa Candi Tikus diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 -- 1380), dan dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama terdiri dari batu merah dengan bentuknya yang kaku, dan tahap kedua batu andesit dengan bentuk lebih dinamis.
Bentuk bangunan candi yang berada di tengah-tengah kolam, menyerupai pemandian atau pertirtaan. Berukuran segi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,2 cm terbuat dari batu merah. Letak candi lebih rendah dari permukaan tanah disekitarnya, dengan selasar di permukaan atas selebar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun 1 m, juga ada selasar mengelilingi kolam. Pintu masuk candi terdapat di sisi utara berupa tangga selebar 3,5 m menuju dasar kolam. Terdapat pula dua buah tangga berukuran 3,5 m x 2 m di sisi kanan dan kiri. Pada bagian luar candi terdapat pancuran berjumlah tiga buah dan berbentuk Padma atau teratai terbuat dari batu andesit.
Selain itu, Candi Tikus merupakan sumber air yang tidak habis, dan dipercaya memberi kesejahteraan pada masyarakat di sekitarnya. Konon, ada seorang petani yang panen padi nya selalu habis di makan hama tikus, dan kemudian melakukan meditasi untuk meminta petunjuk penyelesaian masalahnya tersebut. Didalam meditasinya, si petani ditunjukkan untuk mengambil air dari Candi Tikus dan disebarkan di sawahnya. Ternyata, ketika air dari Candi Tikus di sebarkan di sekitar sawahnya, tikus-tikus tidak beraksi di sawahnya lagi.
Candi Tikus sampai saat ini masih sering menjadi tempat penelitian, sekaligus wisata sejarah, terutama mengenai kerajaan Majapahit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H