Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Melarat di Indonesia Boleh Memilih: Bunuh Diri Atau Dipelihara Negara?

8 Juli 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah Bank Darah di tempatmu, yang darahnya dihisap habis secara misteri? Hingga harus bangsamu menghisap banyak darah rakyat, dan melepas bebas kaum Konglomerat? mereka bilang untuk menyelamatkan Bank darah, menyelamatkan Negara! Sebab kalau tidak diselamatkan, negerimu akan kehabisan darah, kehabisan gairah! adakah?! [SATIRE]

DIDOWARDAH-Pasal 34 ayat 1 UUD 45 sejak 67 tahun yang lalu masih belum berubah, masih sama tulisannyabahwa: Fakir miskin & anak-anak terlantar DIPELIHARA oleh Negara. Sepertinya pernyataan tersebut benar adanya, sebab dalam prakteknya esesensi DIPELIHARA maksudnya adalah DILESTARIKAN.Akibatnya keberadaan kaum fakir dan PROLETAR di negara kita makin menggila.Padahal semangat pasal tersebut sejatinyaharus selaras dengan penjaminan kesejahteraan sosial yang dituliskan, yang dijanjikan, tidak sekedar sebagai penghias Undang-Undang. Namun fakta berbicara lain, kaum tertindas kini kian menggurita. Menjejali pemberitaan di TV dan koran-koran, hingga rakyat menjadi terbiasa dengan jerit penderitaan kaum bawah yang memilukan, yang nanar menggelepar di tanah air sendiri. Dan ruwetnya negara kita, semakin menjadi oleh tindak-tanduk atase, pejabat pemeritah dan politikus bermental bandit yang mencandui korupsi. Lengkap sudah.

Seolah menepis issue rakyat jelata, Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sumringah mengungkapkan terjadi penurunan jumlah orang miskin di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Disebutkan di portal KOMPAS, jumlah orang miskin berkurang 890.000 atau turun 0,53% dari posisi bulan Maret tahun lalu dibanding Maret tahun ini. Yakni dari 30,1 juta jiwa pada Maret 2011 bergeser sedikit menjadi 29, 13 juta jiwa pada Maret 2012. Lebih spesifik lagi, di perkotaan jumlah penduduk miskin berkurang 399.500 jiwa dan di pedesaan berkurang sebanyak 487 ribu jiwa. Dan pertanyaannya adalah: sudahkah data itu selaras dengan teatrikal nyata? TIDAK sama sekali.

Tanya kenapa? Karena faktanya data BPS yang menggembirakan tersebut tidak sebanding dengan kenyataannya di lapangan. Anda yang hobi menekuri koran pasti mafhum dan mengamini statemen ini. Jika perlu, silahkan disurvey sendiri. Setiap membaca berita selalu ada cerita dengan alasan sama yang ulang-berulang, diantaranya dua tiga orang tua yang nekat menggantung diri denganmengajak anak dan keluarganya, bayi terbungkus kardus ataupun kresek yang dibuang dijalanan, pasangan suami-istri membakar diri berjamaah, suami yang nekat bunuh diri setelah sukses menghabisi istri sendiri yang kesemuanya itu bermotif sama: faktor kemiskinan. Mereka lebih memilih menghabisi nyawa sendiri karena himpitan ekonomi. Miris sekali bukan?

Dan kebanyakan kita malah salah-kaprah menertawakan kekonyolannya. Tapi cobalah sesekali berpikir dan merenung, apakah kita sudah jauh lebih baik dari mereka? Kita yang mengaku berduit lebih, memamerkan kekayaan dan sederet mobil mewah sementara di luar sana masih banyak yang susah, menyabung nyawa untuk bertahan hidup lebih lama. Sementara kita diam tak acuh seolah itu bukan urusan kita, tidak menjadi tanggung jawab bersama. Dalam kasus Ibu yang bunuh diri selepas menghabisi anaknya misalnya, bisa jadi merupakan manifestasi cinta kasih yang berakhir tragedi. Dimana dia lebih memilih mengakhiri hidupnya agar tak lagi merasakan beratnya tanggungan hidup diri dan buah hatinya. Hingga terpaksa turut menghabisi anaknya karena sang Ibu tak menginginkannya hidup susah menderita dan merepotkan orang lain. Kalau sudah begini siapa yang patut disalahkan?

Dipihak lain, praktek korupsi malah kian merajalela. Begitu ganasnya tindak korupsi di Indonesia hingga anggaran Kitab Sucipun ikut diembat. Mereka pelaku koruptor, seolah sudah hilang akal hilang kepala sehingga cukup berani menjadikan dana pengadaan Alqur’an dan proyek madrasah yang notabene untuk kemaslahatan umat sebagai ladang korup yang menggendutkan kekayaan personal. Dan pada akhirnya gap pemisah antara si miskin dan si kaya semakin renggang jauh terpisah. Yang selanjutnya memicu kecemburuan sosial dan memantik tindakan nekat kalangan bawah untuk berontak dengan ragam cara.

[caption id="attachment_199445" align="aligncenter" width="408" caption="Peraturan Paling Bijak?"]

1341719958707597763
1341719958707597763
[/caption]

Mengabsen Kaum Proletar

Kembali ke topik, menguliti kemelaratan di Indonesia memang tak akan pernah ada habisnya, tapi bukan berarti kita termasuk bangsa yang absen dari kaum Jet-set. Sebab perekonomian di Indonesia saat ini berada di titik paradoks yang membawa pada kondisi si kaya semakin bertambah kaya sedangkan si miskin menjadi semakin nelangsa. Berlawanan arah dengan banyaknya kasus bunuh diri dan kejahatan karena himpitan ekonomi, di lain pihak sekedar walimatul 'ursy mereka rela merogoh kantong hingga ratusan juta bahkan  miliaran rupiah. “Ah pesta kami kan sebagai ungkapan tanda syukur” demikian dalil wajib yang selalu mereka lontarkan. Well, kalau ingin bersyukur kenapa harus berbagai dengan sesama kaum kaya? Cobalah sesekali menyambangi panti, dan merangkul kaum fakir, mengajak mereka menikmati pesta mewah yang mungkin hingga Izrail membetot nyawa, belum tentu mereka pernah mencicipi lezatnya aneka hidangan high-class di saat pesta. Nyesek.

Fakta lain, ketidaksesuaian data BPS terjadi karena tolok ukur versi mereka yang terlalu rendah. Apa yang dipakai BPS sebagai standard nilai batasan kategori miskin sangat berbeda dengan standard Bank Dunia. Perbedaan tersebutlumayan signifikan. Ketika di Amerika memaknai dan memakai garis batas miskin, maka yang dilihat adalah mereka yang pengeluarannya kurang dari $2 (sekitar Rp.19 Ribu) per hari, sementara BPS hanya menggunakan patokan Rp.8000 per hari. Tentunya tidak mengherankan jika angka kemiskinan di Indonesia bisa sedikit ditekan, bukan dilapangan memang melainkan sekedar di atas kertas.

Kasus lokal teranyar yang kudengar, ini sudah Juli di hari ke-4 (04/07-08/07) sejak berita penggelontoran dana Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) di Kota Malang macet hingga mengorbankan 43 ribu pasien miskin ditolak untuk berobat di RSSA setempat. Kabarnya penghentian pelayanan Jamkesda tersebut dipicu oleh tunggakan klaim Jamkesda Kabupaten yang mencapai angka 6,8 miliar hingga Juni 2012. Karena itu, sejak lima hari yang lalu (03/07/12) pihak RSSA menghentikan layanan untuk para pengguna Jamkesda Kota Malang. Sudah pasti, buntut dihentikannya layanan tersebut, sebanyak 76 penderita cuci darah terancam. Sejumlah pasien Jamkesda yang datang dari berbagai pelosok tempat di Kabupaten Malang terpaksa harus balik kucing, karena tidak bisa dilayani di loket Jamkesda. Dan petugas rumah sakit menggiring dan mengarahkan mereka agar pindah ke loket pasien umum.

Penghentian layanan RSSA terhadap pasien Jamkesda kabupaten benar-benar membuat warga miskin (asli) kelabakan. Tentu tidak bagi mereka yang mendadak miskin. Berpura-pura miskin demi mendapatkan kartu Jamkesda sehingga bisa mendapatkan pelayanan cuma-cuma yang sebenarnya mereka mampu membayar dengan biaya sendiri. Inilah satu contoh korupsi kelas krupuk dari kaum menengah. Korupsi di Indonesia memang sudah bertengger manis di stadium paling akut, menggerogoti mental bejat seluruh kalangan, menjadi trend disetiap lapisan. Dari sekedar tukang parkir, tengoklah, bahkan saat berhenti sebentar sekedar menunggu teman sementara masih duduk manis di jok sepeda, mereka tanpa sungkan memalak saya. Hallo.. This is it, Indonesia!

Dan masih seputar kasus Jamkesda, tempo hari (05/07/12) puluhan pasien Jamkesda menangis di kantor DPRD Malang. Mereka berdemo, mengeluhkan penghentian dan tidak memaksimalkan pelayanan di tiga rumah sakit yang ditunjuk Pemkab Malang setelah RSSA. Aksi ini berlanjut dan membuahkan hasil tak sia-sia pada Sabtu kemarin (07/07/12). Sebab sejak mulai saat itu, mereka bisa berobat kembali dengan fasilitas Jamkesda. Sehingga keharuan pun tak dapat disembunyikan, puluhan warga yang nglurug berjamaah melakukan sujud Syukur di pelataran Pemkab. Dikabarkan, sementara ini anggarannya menggunakan dana talangan yang masih bersisa sekitar 4 miliar.

Pemegang kartu Jamkesda boleh berbahagia, tapi tidak bagi pemegang kartu SPM (Surat Pernyataan Miskin). Mereka yang memegang kartu SPM harus gigit jari karena diwajibkan memverifikasi ulang kartu terlebih dahulu. Tentu saja pasien cuci darah pengguna SPM menangis tersedu-sedu. Mereka khawatir nyawanya tak tertolong lantaran kartunya harus diverifikasi ulang. Bukankah verifikasi ulang membutuhkan waktu cukup lama? Tentu ini menjadi momok bagi mereka. “ Gagal ginjal itu tidak bisa ditunda, terus bagaimana nasib suami saya,” ratap Bu Eti, warga Ngijo, Karangploso dengan histeris bercucuran air mata sesaat ketika diberitahu petugas bahwa dia harus memverifikasi kartu SPM-nya. Begitulah Indonesia, selesai masalah satu, timbul seribu masalah baru. Bukti bahwa kaum miskin masih berserak banyak memenuhi penjuru kota, menjejali pelosok desa. Dan pembuktian bahwa Indonesia sudah lumayan berprestasi sebab sudah berhasil menurunkan quota poenduduk miskinnya ternyata hanya isapan jempol. Jauh dari panggang api.

Sedang Sakitkah Mental Bangsa Kita?

Sebelum menjawab kalimat diatas, marilah kita mengkaji kembali apa sih hakikatnya kita hidup di dunia? Bukannya penulis sedang menggeser ranah ke Filsafat yang berat. Bukan. Sekedar berpikir sederhana bahwa hakikat kebahagiaan hidup adalah berbagi dengan sesama. Tapi sepertinya bangsa kita memang sedang sakit. Sakit dan sekarat sehingga menimbulkan wabah akut yang melahirkan bejibun oknum bejat yang menghalalkan segala cara untuk meraup kekayaan. Sementara mereka yang kaya dengan cara halal pun seolah menutup mata dengan pemandangan kaum miskin yang kian merunyak banyak.

Andai saja kita yang cukup kaya mempunyai sedikit empati untuk berbagi dengan mereka yang kekurangan, tentu cerita Ibu yang bunuh diri berjamaah dengan anak-anaknya sudah menjadi lagu lama. Andai saja kita yang dicukupkan rizki oleh-Nya mempunyai sedikit kasih untuk membantu tetangga yang papatentu cerita tentang nenek tua yang nekat mencuri coklat demi mengganjal perut hanya akan menghias kolom fiksi. Dan andai saja kita yang punya kelebihan harta mau bekerja sama dan sedikit menyisihkan rupiah untuk kemashlahatan umat dengan pembangunan sarana pendidikan tentu saja tak ada lagi kisah tentang anak yang menggelandang di jalan-jalan, mencicipi ragam kejahatan sebab tak sempat mencecap bangku sekolah. Seandainya saja!

Jadi jawaban pertanyaan diatas sudah jelas. Tidak lagi perlu dibahas dan dipertanyakan. Realita sudah gamblang menjawab dan membuktikan. Namun menariknya, menyikapi kasus maraknya bunuh diri dikalangan kaum melarat, kita mungkin bisa sedikit berkontemplasi. Mari mencoba mengutip Alqur’an –yang juga tak luput jadi sasaran korupsi- dalam Surat Al-Isra:31 dijelaskan mengenai pelarangan orang tua untuk membunuh anaknya sebab takut terjerembab pada kemiskinan. Lalu diperkuat oleh ayat lain untuk tidak membunuh anak saat orang tua berada pada kondisi serba kekurangan (Al-An’am: 151). Karena Tuhan menyerukan, orang tua tidak perlu khawatir terhadap urusan memberi nafkah anak-anaknya karena Dia pasti akan memenuhinya. Menelisik firman Tuhan, sudah seharusnya masyarakat sadar diri dan menjadi tidak rapuh mental dan tipis iman terhadap janji Tuhan. Tidak lain dan tidak bukan salah satunya adalah karena faktor lingkungan sekitar. Dimana masyarakat sudah luap dengan keakuan tingkat tinggi sehingga kurang peka terhadap sesama.

Well, gagal menghayati petuah Tuhan juga bisa ditengarai dengan gagalnya para Ustadz dalam menyampaikan kalam-Nya. Mereka, para ustadz berdakwah dengan penuh pamrih dan formalitas. Bahkan sekarang semakin mudah saja menemukan ustadz yang memasang banderol puluhan juta untuk sekali Khotbah. Lalu dengan bangga memerkan kekayaan dan tanpa sungkan mengekploitasi kehedonisan mereka didepan umatnya. Yang selanjutnya dengan perut kenyang dan harta beregelimang mereka berkoar di mimbar-mimbar mengajak umatnya (yang notabene melarat) untuk tetap bersabar dan bertawakal menjalani pahitnya hidup. Dogmatis sekali bukan?

Dan yang lebih penting, inikah indikasi kegagalan pemerintah kita? Dimana dengan jelas pemerintah sudah menghianati Pasal sendiri. Melihat kenyataan bahwa pemerintah gagal membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan lebih kerap berkiblat pada kaum kapitalis. Pemerintah yang lebih senang membela dan melindungi tikus koruptor untuk kemudianmencekik kaum melarat. Padahal tanpa dicekik pun, rakyat kecil Indonesia sudah kembang-kempis menahan beban berat kemiskinan. Dan rakyat semakin panas saja saat gonjang-ganjing wacana tentang rencana pemerintah yang akan mengucurkan dana 1 miliar dollar US atau setara dengan Rp. 9,3 triliun ke IMF. Dalihnya dana tersebut digunakan untuk membantu penanggulangan krisis di Eropa. Oh My God! Saya bahkan sampai sesak napas saat membaca pemberitaan ini. Maksudnya pemerintah apa coba? Mau mem-butter up pihak asing gitu? Olala.. mbok ya dilihat dulu kondisi negeri sendiri Bapak!! Kalau sudah begini, pemerintah kita terkesan menganggap permasalahan krisis Nasional  selesai, sudah terakomodasi secara keseluruhan. Dus, sebelum benar-benar terjadi, alangkah baiknyan jika rencana tersebut dibatalkan dan dialihkan untuk penanggulangan kemiskinan di negeri sendiri. Jika tidak, orang miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia selamanya akan ajeg dipelihara dan dilestarikan negara. Sungguh, ini menjadi PR yang serius untuk pemerintah.

Ada Banyak Opsi Pencerahan

Kita sebagai warga negara yang baik, sebagai masyarakat yang santun dan humanis, sudah seharusnya menyingsingkan lengan turut serta meminimalisir masalah ini. Mulailah dari hal-hal yang sederhana. Yup.. Mulailah dengan berbagi. Tidak harus menunggu kaya untuk berbagi dan toleran terhadap sesama. Sementara mereka yang memang sudah berelebih harta justru semakin diberikan banyakopsi untuk mengentaskan orang-orang miskin. Mulai dari lebih banyak memberi, bersedekah, dan menyumbang, sampai kepada menghilangkan monopoli, Berhenti menjadi rentenir serakah, mendistribusikan kekayaan lewat pembukaan-pembukaan lapangan kerja baru dan mengaryakan lebih banyak lagi orang-orang yang miskin secara finansial.

Menutup tulisan ini, saya sontak teringat dengan semboyan negeri kita. Yang serigkali dikatakan mendiang Bung Karno sebagai “Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo” sebuah ungkapan sederhana namun sarat arti dan makna. Yang mengantarkan kita pada kesadaran akan kekayaan potensi yang dimiliki negeri kita. Kekayaan yang seharusnya membawa ketentraman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sungguh, sebuah kalimat yang menjadi semboyan dan memiliki kekuatan makna di dalamnya.Tapi oleh karena keserakahan, kerakusan, ketamakan mereka yang berkuasa, berpengaruh tapi licik dan penuh intrik, maka semuanya hanya tinggal mimpi. Dan mimpi itu masih terus tergerogoti oleh segelintir orang yang punya kekuatan dan kekuasaan. Makanya jangan heran kalau banyak yang mati kelaparan di tanah yang kaya, melakukan aksi  bunuh diri di tanah surga. Ibaratnya, rakyat kecil sekarang ini adalah seekor anak ayam yang mati di lumbung padi.

*Malang, 08 Juli 2012, Minggu Panjang Di Sudut Kamar

[caption id="attachment_199447" align="aligncenter" width="450" caption="JAMU TOLAK MISKIN"]

1341720322716058544
1341720322716058544
[/caption] SOURCE IMAGES FROM HERE, THERE AND THERE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun