Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PUASA: Manifestasi API, TUNGKU, KAYU dan PERIUK

17 Agustus 2012   17:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apatah yang membuat berbeda ketika gema puasa menghampiri memeluk tubuh penuh seluruh?

Membebaskan jiwa dari segala nista dan nafsu dunia, cukupkah itu semua bagi kita?

Aku yang baru separuh nalar mencoba mengasapi makna puasa

kini harus memaksakan lobus frontal di batok kepala untuk mengejakan banyak hikmah,

menemukan banyak petuah yangtidak sekedar dimamah mentah-mentah

Selagi duduk terpaku dipelataran,

kusaksikan ringkih tubuh lelaki tua: memunguti batangan kayu bakar dikejauhan

Berjalan mendekat dengan sepetak senyum marun merona

Ketika samarmenangkap bayang istrinya

Yang masih setia menunggu di dekat perapian,

dengan menjinjing sebakul beras: siap ditanak, siap dimakan untuk empat nyawa

Tentu saja sewaktu nanti tiba saatnya berbuka

Dan adakah yang lebih indah ketika perlahan kita tersadar?

Bahwa eksistansi api, tungku, kayu, periuk dan beras adalah hakikat puasa

Hakikat kita bertahan dari segala godaan

Bukan lagi sekedar menahan haus dan lapar,

melainkan meleburkan kobaran nafsu yang menyisakan cinta dan kebaikan

Seperti halnya api yang mengubah beras dan menjadikannya nasi

Dimana periuk harus menahan panas, terbakar dan mendidih

Disaat reranting kayu harus menahan sakit, hangus dan mengabu

Menumbal badan demi menyambung nyawa manusia

Sementara tungku senantiasa tangguh menopang dan menguatkan

Yang pada mereka kita juga harus belajararti kesabaran

Sebab saat nasi terhidang di meja makan

Kita masih harus menunggu sewayah surya tenggelam ditelan senja: sewaktu adzan maghrib menyapa semesta

Untuk kemudian satu-persatu buliran nasi berpindah ke perut, memberikan cukup tenaga guna bertahan hidup

Begitu seterusnya: ulang-berulang

Menciptakan siklus yang sama hingga satu bulan

Yang pada akhirnya kita paham

Hakikat puasa yang sebenarnya adalah makan!

Terdengar naif bukan?

Sebelum menyoja , menyiapkan rentetan argumen yang membuih didih

Alangkah bijaknya jika sebentar saja kita mau membuka telinga: menyesapi sabda sang Profesor dan melakban mulut sendiri dari segala praduga keji

Bahwa kita bisa saja menahan nafas di bentang samudera hanya untuk 10 menit

Menahan minum di tengah sahara hanya untuk 120 jam

Tapi saat harus menahan makan,

kebanyakan tiap-tiap insan hanya bisa membilang hari dengan rerata 30,

Tidak lebih

Dan seirama fitrah manusia,

genap satu bulan Tuhan perintahkan kita berpuasa guna menjadi pribadi yang bertaqwa

Dengan bahasa sederhana:menahan makan

Yang sejatinya mampu menahan perut kita dari memakan harta haram lagi merugikan

Menahan otak kita dari asupan makanan tanpa gizi tanpa nutrisi

Menahan hati dari mengkomsumsi kejahatan dan kebathilan

Melainkan memakan harta yang sudah menjadi hak kita

Harta yang halal lagi baik

Memberi asupan positif bagi isi kepala

Yang membebaskan kita dari racun hedonis

Dan membanjiri hati dengan sarat makanan peneduh jiwa,

sebagai pendamai hidup kita

Sebab segala apa yang kita makan pasti akan mendarah daging

Melahirkan sifat dan kepribadian

Sehingga laku dan tingkah kita semasa puasa adalah refleksi dari apa yang kita makan, apa yang kita tanam

Dan malam ini,

saat esok di hari puasa ke-30 datang menjelang: semoga apa yang sudah kita tanam selama 29 hari berbuah Sorga,

dimana penyerahan kita pada yang Esa berakhir dengan kaffah dan luap berkah

Sebagaiamana laku api, tungku, kayu dan periuk yang membawa cinta dan kebaikan pada lelaki tua dan keluarganya!

Aamiin Allohuma Aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun