[caption id="attachment_195407" align="alignnone" width="566" caption="Si Abu.. kalo lagi manja suka naik-naik minta digendong..kckkckckk..."][/caption]
Dua pekan yang lalu, seperti biasa sepulang ngaji weton di Masjid sebelah selalu kusempatkan bermain Badminton dihalaman belakang.Walau harus bermain tanpa lapangan dengan kontur tanah tak rata dan sedikit berkerikil ditambah lagi jejalan tali jemuran dan kandang ayam, kesemua itu sama sekali tak menyurutkan cinta baruku pada Badminton. Dan meski tak jarang bermain tanpa partner, tetap saja aku bersemangat. Seperti pagi itu, kupantul-pantulkan sendiri kok kedinding dan sesekali ke udara yang tentu saja membuat leherku sedikit pegal karena harus terus mendongak menantang langit lepas.Tiga puluh menit bermain sudah membuat keringat bercucuran, inilah yang aku suka. Setidaknya keringat telah membantu mengeluarkan toksin ditubuh dan membuatku terasa lebih bugar lagi segar.
Usai permainan, akupun bergegas naik ke atas, berniat melepaskan dahaga yang sedari tadi tak bisa diretas. Namun baru saja lima enam kali kulangkahkan kaki, mataku dikejutkan oleh pemandangan tak biasa. Tiga ekor anak kucing tergeletak kaku tak bernyawa di gundukan pasir. Sementara seekor lainnya tampak mengeong keras seolah meratapi kematian saudaranya. Aku yang tak pernah menyukai kucing, tiba-tiba menjadi trenyuh, tak kuasa menahan haru. Duhai...kemana induk kucing-kucing ini pergi? Apakah anak-anak kucing ini telah dibuang induknya hingga dibiarkan mati kelaparan dan kedinginan? Segera ku gendong kucing malang itu, tetapi tangan ini geli sendiri karena kucingnya benar-benar masih bayi, begitu kecil hanya seukuran genggaman telapak tangan. Lalu kuletakan tubuhnya di atas bangku kayu, sementara kutinggal aku bergegas keatas dan menuntaskan dahaga. Saat hendak kebawah, tak lupa kusambar sekotak susu dan sebotol Aqua. Lalu kembali turun menemui meong malang yang terlihat pasrah, terlalu lemah.
Tak sampai lima menit, kuangsurkan larutan susu ke meong kecil. Awalnya tak bereaksi, namun terus kucoba menyorongkan wadah lebih dekat lagi, lagi dan lagi hingga tepat didepan moncongnya yang mencucu lucu. Dan si meong-pun mulai mengendus, lalu menyesapi susu dengan tatapan sayu. Aih.. lucu sekali! Kuamati bulu badannya yang masih tipis berwarna abu-abu. Lalu kaki-kaki kecilnya yang terlihat mungil menggemaskan. Dan saat kulirik arloji ditangan, kulihat jarum jam tepat di angka tujuh, mau tak mau aku harus meninggalkannya. Waktunya aku mandi dan bersiap pergi. Ah.. good bye my sweet Kittens!
Hingga sepekan kemudian, kulihat si Abu sudah terlihat tumbuh lebih besar dan kian lincah. Dan yang membuatku melongo udah kayak kebo, dia terlihat begitu riang bermain dengan teman barunya. Berlarian kesana kemari seolah saling mengejar, dan tak jarang kulihat si Abu bergayut mesra ketubuh temannya. Bahkan sempat heboh saat kulihat si Abu begitu manja menaiki tubuh temannya, si Abu minta digendong rupanya. Bagaimana tidak terheran-heran? Teman yang dimaksud bukanlah sesama anak kucing, melainkan seekor bebek berbulu putih yang memang sudah tiga bulan ini merana sendiri. “Wah enaknya bebeknya dipotong terus dipanggang nih...” Demikian celoteh temanku saat itu ketika melihat si bebek geal geol berjalan sendirian. Tapi kini si bebek sudah punya teman, lebih tepatnya anak. Ya, anak kucing yang haus kasih sayang seorang Ibu, dan seekor bebek yang juga merindukan sosok teman. Jadilah mereka mesra bersama sepanjang hari. Dan saat malam menjelang, mereka bahkan masih terlihat bersama. Sementara si bebek menyosori sisa makanan dengan paruhnya yang moncong, si Abu berjalan disampingnya menirukan gerakan yang sama.
[caption id="attachment_195412" align="alignnone" width="621" caption="Si abu suka sekali manjat sana sini.. yang lucu kadang minta manjat lewat si leher bebek yang jenjang (sayang gag kejepret)..dan kalau sudah capek.. ia tidur pulas meringkuk mesra dikaki emaknya... :D"]
Sampai tiga hari berlalu, kulihat halaman belakang semakin riuh rendah dengan meongan anak kucing. Saling bersahutan selayaknya irama orkresta. Oalala... ternyata anak kucing liarnya bertambah tiga. Siapa lagi yang membuang kucing-kucing malang disini? Kenapa lagi-lagi mereka tak berinduk dan mirip cindil? Sangat kecil dan mungil. Kali ini 2 anak kucing berbulu coklat muda kombinasi hitam-putih, dan yang satunya hitam pekat dengan belang putih. Anehnya, meskipun sudah banyak teman, si Abu lebih suka menyendiri dan lebih memilih si bebek jadi temannya bermain. Mungkin dia sudah merasa nyaman. Dan kebiasaan ini di ikuti oleh si hitam belang putih. Tidak jarang kulihat mereka bermain bersama si bebek. Karena sudah terbiasa, keherananku perlahan pudar. Sementara dua anak kucing lainnya yang berbulu belang-belang lebih suka tidur-tiduran dan sekedar jalan. Apakah warna bulu mempengaruhi? Entahlah.
[caption id="attachment_195408" align="aligncenter" width="555" caption="Si hitam yang suka pecicilan.. liat giliran suruh action malah pasang pose ngantuk ckkckkc...."]
Dan hari ini, Minggu pagi menjelang siang kudapati kucing-kucing coklat muda tengah asik tidur-tiduran. Sementara si hitam terlihat lincah bermain dan memanjat. Di pojok sana dibawah meja, si Abu sedang berteduh mesra dengan si bebek. Arrggghhh..sayang sekali aku sudah tak punya kamera. Terakhir kameraku terjatuh dan rusak. Maka dengan segera, nekat kuambil hape Nokitu disaku baju, dan klik..klik... beberapa adegan berhasil kuabadikan. Walau tidak setajam kamera DSLR. Tak apalah. Setidaknya bisa kubagikan pada sahabat Kompasiana.
[caption id="attachment_195410" align="alignnone" width="619" caption="Si belang coklat yang hobi tidur... Nampak akur mimi susu rame2... seneng deh ngliatnya :)"]
Well, betapa cinta itu anugerah terindah. Sungguh cinta tak memandang perbedaan. Betapa Tuhan memberi cinta pada setiap mahluknya. Keharuan menyeruak saat menyaksikan dengan mata kepala betapa mempesona cinta platonik di antara mereka, seekor bebek dan seekor kucing liar. Mereka yang terlahir binatang pun masih mempunyai cinta, dan kita manusia kenapa harus kehilangan banyak cinta? Dimana nyaris semua manusia menabur kebencian, menanam permusuhan hingga damai dan kebahagiaan susah sungguh untuk direngkuh. Ah, bebek dan kucing: cintamu, tulusmu, ceritamu sungguh telah membuka mata hatiku. Bahwa cinta itu indah jika saja kita ikhlas memberi tanpa harus berharap untuk selalu menerima. Marilah kita jaga anugerah cinta dari-Nya, semoga senantiasa semakin memperkuat cinta kita kepada sang Pencipta. Maha cinta dari segala cinta. Sekali lagi, Thank you my dear Ducky and Kitty! Terimakasih sudah mengajarkan makna cinta yang sesungguhnya!
[caption id="attachment_195411" align="alignnone" width="614" caption="biar siang bolong juga si hitam suka ikut2tan si Abu nangkring manis di punggung bebek.. Sementara si hitam tidur.. sibebek tak berhenti berkwek.. Protes? :D"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H