Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merespon Geliat Modernitas: Kartini-Kartini 2013

22 April 2013   06:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:49 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1366588536850176041

KARTINI-KARTINI Malam Kartini-Kartini Yang berserak di remangnya: perempuan-perempuan dijalan-jalan.. Terlihat sumringah tertawa-tawa... Tetapi tidak dengan hatinya: mereka sekarat lamat-lamat.. MEREKA: Kartini-Kartini.. Penggalan puisi diatas tertuang begitu saja ketika saya terinspirasi dengan  keruwetan Kartini, yang menggambarkan jati diri perempuan dari zaman ke zaman. Bahwa perempuan lekat sekali dengan keterpasungan, ketidakadilan pun ketidaksetaraan dan kerap dinomorduakan. Begitu pula R.A. Kartini, yang terlahir  pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara. Sebagaimana adat-istiadat pada saat itu, setelah lulus SD Kartini tidak berkesempatan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan.  Dan karena pernikahannya itulah, keinginannya untuk melanjutkan sekolah di Belanda pupus sudah. Bagimanpun, seorang Kartini selalu menyikapi kodratnya sebagai perempuan dengan kewajaran dalam artian ia masih bersikap toleran dan mempunyai cita-cita yang merepresentasikan suara wanita pada zamannya. Sehingga pemikiran-pemikiran Kartini untuk mengubah pandangan masyarakat Indonesia terhadap perempuan pribumi dapat diterima dan banyak menjadi inspirasi. Yang diinginkan Kartini adalah bahwa wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Dengan berani ia menggugat budaya Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini menggambarkan penderitaan wanita Jawa akibat kungkungan adat yang tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Dan melalui perkenalannya dengan Estelle Zeehandelaar, ia mengungkap keinginannya -yang bisa dibilang- sederhana untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Melihat pemikiran Kartini yang memang “sederhana”, saya berpendapat bahwa Kartini adalah sosok perempuan biasa, yang justru dengan ke-biasa-annya menjadikan dia pribadi yang luar biasa. Dalam keterkungkungan jiwa, seorang Kartini mampu menjadi sosok bebas yang bertanggung jawab, ia menunjukan bahwa represi dominan patriarki hanya bisa memenjarakan badan, tapi tidak dengan jiwanya. Kalau tidak, tentulah semangat Kartini tidak akan pernah mampu menginspirasi. Dan saat ini, setelah genap 134 tahun bergulirnya era Kartini, teknologi telah menjadi satu bagian penting yang dengan mudah bisa diakses oleh kalangan perempuan. Hal ini sangat berpengaruh pada pengetahuan dan wawasan yang dimiliki Kartini-Kartini Indonesia. Yaitu dengan berkembangnya daya pikir setiap individu. Kita bisa melihat fakta bahwa wanita dapat belajar memalui situs-situs online yang memberikan informasi mengenai hal-hal yang dicari. Melalui proses ini, pendidikan dapat ditempuh dengan teknologi. Memang, tidak akan ada ijazah seperti layaknya sekolah formal. Tetapi pendidikan juga bukan hanya sebatas duduk dan mendengarkan. Melainkan proses belajar keingintahuan seseorang, baik formal atau pun nonformal. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Kartini yang terus menjadi pembelajar melalui buku-buku bacaan tanpa harus sekolah. Gambaran diatas hanyalah sekelumit bagian dari kehidupan wanita Indonesia di era digital. Bagi mereka perempuan yang dibekali pendidikan memadai tentu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, penghargaan yang mutlak. Kenyataannya masih banyak Kartini-Kartini Indonesia yang berjejal menantang kehidupan. Mereka yang tidak menikmati kemajuan, mereka yang tidak mampu mengakses teknologi informasi. Mereka perempuan-perempuan yang marak menjadi pemberitaan di televisi dan koran-koran, mereka yang hidup dijalanan, mereka yang berstatus PSK, TKW yang disiksa majikan, mereka yang menjadi korban trafficking, yang mengalami pelecehan seksual, juga sadisnya tindakan KDRT hingga membuat nyawa melayang. Utamanya kasus kekerasan seksual yang kian kemari kian unjuk gigi. Apakah ini semua salah satu bagian dari dampak kemajuan teknologi? Bagaimana sejatinya Kartini-Kartini modern menyikapinya? Tentu saja, ini menjadi PR bagi saya, anda dan kita semua, bagi para Kartini Indonesia masakini yang sejatinya mengoptimalkan teknologi secara positif. Bukannya menghabiskan pulsa untuk sekedar chatting dan browsing sebagai penggenap kebutuhan rekreasi , bukan pula berlomba berkonde berkebaya, BUKAN. Melainkan membuka nurani dan mata hati bahwa saatnya menyuarakan kembali pemikiran pembaharuan seorang Kartini. Bahwa Kartini era digital Indonesia sedianya mampu memanfaatkan kebebasan yang ada dengan maksimal dan bertanggung jawab. Dengan bantuan teknologi, wanita Indonesia dapat memberdayakan kemampuan dan pikirannya untuk saling berbagi ilmu dan mendapatkan income melalui teknologi. Memberdayakan banyak perempuan yang mampu membebaskannya dari keterbatasan ekonomi. Sehingga kedepannya tidak ada lagi berita tentang Kartini Indonesia yang harus menderita mengais rezeki di negeri orang. Tidak ada lagi Kartini yang harus menjual tubuh demi sebotol susu untuk anak-anaknya. Tidak ada lagi cerita tentang Kartini Indonesia yang hilang akal sehingga lebih memilih membuang jabang bayi semata alasan ekonomi. Well, di era globalisasi ini dengan adanya social media yang memfasilitasi, semakin mudah bagi kita para Kartini untuk menuangkan ide-ide gemilang dan bersinergi. Menyatukan para Kartini yang memiliki kemampuan berbeda ke dalam suatu sistem kerja sama terpadu guna mencapai kesuksesan bersama. Itulah yang harus kita manifestasikan saat ini. Karena kasus-kasus pelecehan, KDRT, trafficking, sosial, dan semua yang terkait dengan keperempuanan dan dunianya hanya bisa diselesaikan dengan sinergi para perempuan sendiri. Kita para Kartini dapat menyuarakan segala persoalan dan mencari solusi dengan memanfaatkan jejaring sosial, media dan semua akses teknologi. Maka, tidak ada lagi alasan untuk bersikap acuh dan hidup dalam kepentingan diri. Sebab sejatinya Kartini dan para pejuang bukan sosok yang hidup untuk dirinya sendiri. Bisa dibilang Kartini sekarang -sebagian- telah menikmati apa yang disebut persamaan hak, apa yang disuarakan sebagai emansipasi perempuan. Tapi perjuangan belum berakhir, masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Dari itulah saya mengajak segenap perempuan untuk tetap bersinergi dan berkarya. Menjadi Kartini era digital Indonesia yang sadar terhadap fitrahnya sebagai istri dan ibu namun menyimpan semangat  kemajuan yang melampaui adatnya. Ini memang sudah tanggal 22 April pasca puncak selebrasi Kartini yang sejatinya selalu dirayakan pada hari ke-21 di bulan April. Bagaimanapun, menurut saya setiap hari adalah hari emansipasi bagi setiap perempuan di Indonesia. Sehingga, walau tulisan ini sejatinya sudah dibuat genap setahun yang lalu, saya justru menyengaja untuk memposting dan membaginya di akun Kompasiana. Kenapa? Mungkin ada baiknya jika kita sedikit berkontemplasi mengenai Kartini. Apatah yang membedakan sosok Kartini dan pahlawan wanita Indonesia lainnnya yang juga tak kalah mengagumkan seperti Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu? Mereka -tentu saja- sama-sama memperjuangkan  privilege kebangsaan negara. Sama-sama menorehkan perjuangan panjang seumur hidupnya untuk bangsa kita tercinta, negara Indonesia. Hanya saja, Seorang Kartini menuangkan gagasannya, melawan ketidak-adilan dan kesemena-menaan dengan pena bukannya pedang ataupun Samurai. Ya, dengan menulis pemikiran-pemikiran seorang Kartini menjadi tak lekang dan terus dikenang, dimana gagasannya bahkan masih relevan sampai sekarang. Pemikirannya yang universal mampu menerobos batas-batas etnisitas dan primordialisme. Sehingga tidak mengherankan jika tulisan Kartini banyak memberi pengaruh bagi tokoh-tokoh pergerakan di masa awal. Karena itu, di zaman yang makin sarat dengan fasilitas menulis baik secara manual maupun digital, siapapun kita, Kartini era kini, entah pelajar, dokter, mahasiswi, Manager,  Ibu rumah tangga, buruh migran, pengusaha ataupun guru -dan apapun profesinya, jadilah Kartini pengusung pena untuk tetap menuliskan ide dan cerita kita untuk disebarkan, untuk dikenang, yang mampu memberi banyak inspirasi dan nutrisi positif bagi semua. Berusahalah menjadi Kartini era kini yang  konsisiten untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat yang menjebatani kita para Kartini untuk bisa menjadi agen perubahan, menjadi wanita-wanita mandiri yang berdikari dan saling bersinergi. Dan untuk segenap perempuan Indonesia: SELAMAT HARI KARTINI, untuk hari kemarin, hari ini dan seterusnya... Salam unjuk PENA, Salam Kompasiana! Taken from my last-year note, April 21, 2012 The picture was taken from here

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun