Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilema Resep DOKTER CINTA [Sarat WAJIB Pra Pascasarjana?]

26 Juni 2012   11:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_197196" align="alignnone" width="528" caption="Surat Ket. Sehat dokter dan Segepok pil dengan Resep Cinta :)"][/caption]

Matahari mulai meningggi sementara langit cerah berhias awan putih berserakmenebas gerah terik siang yang menyapa. Seharusnya aku sudah dirumah, dikamar sendiri bersemedi menekuri postingan Kompasiana yang luap manfaat lagi melenakan.Tapi tidak untuk hari itu, aku disibukkan dengan urusan administrasi S2 yang harus dilengkapi. Sebenarnya badanku sedang  tidak fit, tapi mau bagaimana? Deadline menyisa dua hari lagi, maka dengan ditemani ponakan kuselesaikan segala urusan saat itu juga. Membelah kota, menyusuri ramainya jalanan menuju Bank nasional dimana harus kutransfer sejumlah uang pendaftaran. Sepulang dari Bank kami langsung mampir ke warnet terdekat, meng-entry data dan mem-print out formulir untuk kemudian menempelkan foto close-up dikanan atas dan membubuhkan tanda tangan dipojok bawah. Beres sudah.

Selesai urusan di warnet, kami berputar menuju Utara ke arah Kantor pos pusat dimana bisa ku kirimkan semua berkas ke tempat tujuan. Sesaat sebelum kuberikan kepada petugas express delivery, kuperiksa lagi semuanya dengan seksama.Dan saat hendak ku masukkan ke amplop cokelat, baru kusadari masih ada satu berkas belum terpenuhi. Surat keterangan sehat dari Dokter. Arrghh.. kenapa aku bisa lalai dan melupakannya. Padahal aku sempat berencana membuat janji bertemu dengan Dokter tapi kenyataannya malah selalu menundanya sejak tiga bulan yang lalu. Terpaksa pengiriman ku batalkan, lalu segera beranjak pergi dengan sedikit perasaan kecewa.

Sementara kulihat Guess coklat yang melingkar ditangan, jarumnya sudah menunjuk angka 3.00. Dan aku belum makan siang, artinya kami harus istirahat sejenak untuk sekedar mengisi perut yang sudah keroncongan. Maka 10 menit kemudian kusuruh ponakan membelokkan kendaraan ke pelataran warung makan Jepang di seberang Toga. Halaman yang luas dan tempatnya yang homey membuatku tidak kapok untuk mampir ketempat ini. Seperti biasa, suasana nyaman meneduhkan menyambut kedatangan kami berdua. Aku memilih duduk di meja depan berdekatan dengan pintu keluar, menghadap jalan dimana mataku bebas menikmati panaroma sekitar. Segera kupesan dua porsi Black Sauce Chicken Ninniku, Onion Ring dan sepiring Shrimp Sushi Crunchy. Lalu kupilih Orange Float untukku dan segelas Strawberry Tea untuk ponakan. Sambil menunggu pesanan, kami mengobrol banyak hal dari kontroversi kebijakan Menkes hingga kasus Olga yang bikin gila. Walau aku tantenya, sepintas aku lebih mirip kakaknya karena usianya yang hanya terpaut 4 tahun lebih muda. Tidak heran jika kami sering jalan berdua.

[caption id="attachment_197197" align="aligncenter" width="341" caption="REGANEMURA: Menu Jepang Ala Boss dengan Harga Anak Kost :)"]

1340709630760798295
1340709630760798295
[/caption]

Kenyang menikmati makan siang, kuputuskan untuk pergi menemui dokter langganan. Waktunya meminta surat keterangan sehat agar besok tak lagi ditunda pengiriman berkasnya. Dan meskipun tidak membuat janji terlebih dahulu, aku sudah hapal jadwal Dr. Ida, yang selalu buka praktek dirumahnyapukul 4.00 sore dan baru tutup saat malam menyapa. Kali ini aku kesana sendirian, setelah sebelumnya mengantar ponakan pulang. Sesampai dihalaman, rumahnya tampak sepi, tidak seperti biasanya. Namun sedikit merasa lega saat kulihat di kaca jendela terdapat papan segi empat dengan tulisan huruf kapital tebal-tebal “BUKA”. Ternyata hari ini aku sedikit mujur karena tak ada satupun pasien yang mengular mengantri. Tidak sampai lima menit menunggu, pintu praktek terbuka nampak pasien keluar, seorang Ibu muda dengan raut muka lelah menggandeng anaknya.

‘Assalamualaikum Bu Ida” salamku saat memasuki kamar praktek yang berdinding serba putih. “Wa’alaikumsalam Dik Uyun, apa kabar Dik? Sakit ya?” renyah Dr. Ida menjawab sapaku seraya menjabat tangan dengan mimik muka yang amat bersahabat. Ya dokter separuh baya ini memang terkenal sangat ramah dan santun terhadap pasiennya. Jilbab yang membungkus kepala dan busana muslim yang dikenakannya kian menambah keanggunannya. ‘Eh tidak Bu, kedatangan utamaku kesini mau minta surat keterangan sehat dari... Hattsyyyyyyyy... Hattsyyyyyyyy..” Nah lho sambil bersin-bersin kujelaskan maksud kedatanganku. “Lho untuk kerja atau kuliah lagi Dik? Ya apa tho, minta surat keterangan sehat malah sakit gitu?” Sontak Dr. Ida tertawa. Ya aku memang sedikit tidak enak badan waktu itu, karena itu siang tadi sengaja kuajak ponakan agar aku tidak terlalu lelah. “Untuk kuliah Bu...” saat menjawabnya kulihat Dr. Ida sibuk menuliskan nama lengkapku. Berhenti sebentar, lalu menanyakan usia.

Saat menuliskan umur, kulihat bu dokter sedikit mengamatiku dan bertanya. “Masih single kan ya? Aku hanya mengangguk dan kembali Bu dokter berucap lembut “Dik Uyun jangan lupa banyak-banyak baca surat Al-Anbiya 89 ya!” Aku sedikit tidak ngeh dan baru mengerti saat Bu Ida kembali mengulang pernyataannya. Dan sontak aku tertawa, yang kutau itu do’a nabi Zakaria saat meminta diberi keturunan. Aku masih terhanyut dalam tanda tanya saat Bu Ida mengarahkanku kepembaringan untuk periksa tekanan darah. Ditariknya lengan baju kananku hingga naik ke lengan atas, dengan sigap dipasangkannya tensimeter dilingkaran tangan. Aku sedikit deg-degan karena sudah cukup lama tak berurusan dengan peralatan medis. Usai memeriksa tensi, kini giliran menyingkap baju depan dan dengan stetoskop ditangan, perlahan Dr. Ida memeriksa denyut jantung. Lalu menyuruhku membuka mulut lebar-lebar dan diperiksanya rongga dan lidahku dengan alat semacam senter. “Hiks mengerikan sekali sih prosedurnya sampe harus nganga kek zombie begini” ujarku dalam hati. Untungnya cuma itu saja. Yang lain-lain sekedar ditanyai batuk dan pilekku saja.

Kemudian dibungkusnya beberapa pil dan kapsul dengan cekatan. “ Tensi darahnya normal Dik Uyun. Alhamdulillah tidak apa-apa” Jawab Dr. Ida saat kutanyakan tentang kesehatanku. Namun sesaat kemudian Bu dokter mengingatkan “Bener lho Dik, sebaiknya Dik Uyun nikah dulu toh kuliah S1-nya sudah kelar, eh sudah punya calon kan?” kali ini Dr. Ida berkata dengan sedikit mendesak. Dan aku hanya senyam-senyum tanpa terucap sepatah kata. “Resepnya ya ayat 89 tadi ya, dibaca sesering mungkin biar dekat jodohnya”. Olaalaaa Bu dokter, kenapa Ibu begitu cemas dengan kejombloanku. Aku sendiri masih enjoy-enjoy saja.

“Dik Uyun tau kan? Kalau Al anbiya itu doanyaNabi Zakaria agar diberi keturunan. Doa ini juga manjur untuk segera menemukan jodohnya. Juga baik sekali dibaca untuk meminta keturunan yang shalih.” Dengan panjang lebar kembali Dr. Ida membeberkan rahasia Al-Anbiya 89. “Melanjutkan S2 juga penting, tapi yang terpenting dapat jodoh dulu Dik... Kalau perempuan mah jangan ditunda-tunda nikahnya ya?” Waduh kali ini benar-benar kena deh. Aku hanya tersenyum sambil tetap pasrah terpaku dibangku dan berhadapan muka dengan sang Dokter, menanti tausiah berikutnya. “Kalau bisa, jika sudah punya calon ya disegerakan ya Dik, kudoakana semoga membawa berkah”. Aamiin... dalam hatiku.

Dan sebelum Bu Ida kembali meneruskan ceramahnya, segera aku balik bertanya “Lah Ibu dulu emang nikah muda ya?” lalu kualihkan pandangankuke jemarinya yang masih menekuri boto-botol obat. “Wah aku dulu nikahnya umur 29, dan baru lima tahun kemudian punya momongan soalnya sampai 2 kali keguguran”. Nah lho usiaku belum juga menanjak di angka 29 tapi Dokter ini sudah was-was dengan kesendirianku. Hehe. Tapi lamunanku buyar saat Dr. Ida kembali berujar “Bener enak nikah muda Dik Uyun, Ndak apa-apa nikah dulu saja sambil kuliah nerusin S2, anakku sekarang yang sulung juga sudah nikah dan sekarng S2 di Jogja”. Akhirnya demi menghargai argumennya, sengaja kuanggukan kepala lalu kujawab dengan senyum dikulum “Iya Ibu Ida, doakan saja ya, semoga jodohnya segera datang dan nikah mudanya kesampaian”. Sang dokterpun terlihat sumringah dan mengamininya.

Lantas, sebelum pulang diangsurkannya surat keterangan sehat yang kuminta dan dua plastik kapsul untuk pilekku. Opss tunggu dulu, kuperhatikan kertas yang menempel di plastik obat, Dr. Ida benar-benar serius dengan petuahnya. Sebab dengan jelas bisa kulihat tulisan ceker Ayamnya disana: Al-Anbiya ayat 89 jangan lupa ya Dik! Glodak! Arrghh..........Bu Ida... Engkaukah Dokter cinta itu? Terimakasih atas resep dan tausiahnya Bu dokter, semoga harapan Bu Dokter di ijabah Gusti Pangeran. Mengenangkan peristiwa ini, kembali aku teringat dengan postinganku beberapa waktu yang lalu.

Ya, menikah adalah sunah Rasul yang harus digenapi ketika usia dan mental mencukupi. Bagaimanapun tidak lantas mengharuskan kita wanita dipukul rata untuk menikah diusia yang sama. Umur 25 tahun, JEDOR! Pokoknya perempuan harus sudah menikah. Titik tanpa koma. Begitukah? Semua kembali ke masing-masing toh menikah bukan berkutat pada masalah usia, melainkan kesiapan kita untuk menghabiskan sisa hidup kita dengan seseorang yang kita anggap paling tepat. Mr. Right yang mampu menjadi imam keluarga hingga maut menyapa. Tidak sekedar pelampiasan cinta sesaat sehingga malah berujung di pengadilan seperti halnya para artis yang doyan kawin-cerai. Pernikahan sejatinya mereka yang menerima ketidak sempurnaan dan memaknai cinta dengan sebaik-baiknya. Ketika ketidak sempurnaan TIDAK lantas dijadikan sebagai tameng untuk kurangnya rasa cinta. Ketidak sempurnaan itu justru dijadikan sebagai bahan untuk lebih mencintai. Dan tentu saja tidak semudah kita membalik telapak tangan.

Kembali kutuliskan quote-nya Sophia Bush yang dengan gamblang mengatakan: Marriage is not about age; it’s about finding the right person. Dan fenomena ini seringkali meneror wanita yang menanjak usia 30-an dan masih sendiri. Kita wanita seringkali jadi terganggu dengan pertanyaan “Kapan menikah?” “Tidak takut jadi perawan tua?” “Lihat teman-teman sudah bayak yang punya momongan lho, lah kamu kapan?” Kalau terjebak dalam lingkaran tanya yang menyudutkan seperti ini, ingatlah selalu kalimat di atas. Perlu digarisbawahi kalau perlu di cetak tebal dengan huruf kapital besar-besar bahwa menikah bukanlah perkara usia, namun bagaimana menemukan sosok yang nyaman dan bisa mendampingi kita seumur hidup. Jangan pernah kita mengambil keputusan untuk menikah hanya karena tuntutan. Apalagi hanya karena RESEP DOKTER seperti yang kualamai tempo hari. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun