Mohon tunggu...
Didno
Didno Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Youtuber

Guru yang suka ngeblog, jejaring sosial, nonton bola, jalan-jalan, hobi dengan gadget dan teknologi. Info lengkap didno76@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Bukan Karyawan

17 Oktober 2016   20:52 Diperbarui: 17 Oktober 2016   21:01 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru sedang mengajar (Foto Pribadi)

Di Indonesia setiap pengangkatan menteri baru identik dengan munculnya kebijakan baru. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan baru tetapi dampak baik buruknya harus dipertimbangkan terlebih dahulu secara matang bukan hanya sekedar “ini kebijakan saya loh”. 

Begitu juga dengan wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi yang berencana akan membuat kebijakan Full Day School, tentu akan membuat pro dan kontra. Apalagi Mendikbud berencana memberlakukan wajib hadir delapan jam bagi guru di sekolah terutama bagi guru yang sudah mendapat sertifikasi atau tunjangan profesi.

Maksudnya memang baik untuk membuat pendidikan di Indonesia lebih baik, pelajarnya lebih cerdas, dan memiliki karakter. Tapi pernahkah Bapak Menteri mengajar hadir selama delapan jam di sekolah atau mengajar selama delapan jam di kelas?.

Guru bukan karyawan yang harus berada di tempat kerja selama delapan jam. Saat guru mentransfer ilmu kepada peserta didik, energi yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan karyawan biasa yang bekerja di kantoran. Pasalnya guru berkerja tidak hanya fisik yang bekerja tetapi juga otak.

Sementara karyawan di perusahaan swasta atau BUMN bekerja 8 jam perhari sebanding dengan pendapatan gajinya yang besar, sementara untuk guru, tidak semua guru mendapatkan penghasilan yang besar. Bahkan untuk guru honorer mereka hanya mendapatkan upah jauh di atas gaji asisten rumah tangga. Padahal mereka lulusan perguruan tinggi, di pundak merekalah penentu nasib bangsa beberapa tahun ke depan.

Jika Anda pernah mengajar atau presentasi satu jam saja maka Anda sudah akan merasa lemas dan capek. Apalagi guru yang bekerja dengan mahkluk hidup dengan segala tingkah laku dan karakter yang berbeda-beda. Mereka mempunyai bermacam-macam kebiasaan dari yang ngobrol dengan teman, sering nyletuk saat dijelaskan oleh guru, bergurau, sering keluar dengan alasan ke toilet, beli pulpen, merokok di toilet atau kantin, membawa obat terlarang di tas, dan lain sebagainya.

Apalagi karakter siswa sekarang berbeda dengan karakter siswa yang dulu. Ini tentu karena kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang menurut saya keliru. Seperti kebijakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang sudah ditentukan dan terkesan terlalu tinggi. Tidak boleh ada siswa yang tinggal kelas, kurikulum yang berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain.

Mari kita tentok satu persatu, sebagai contoh adanya kebijakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang menurut saya keliru. Contohnya pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah nilai di rapot harus dipatok 80 padahal tidak semua anak bisa membaca Al Qur’an, bahkan membaca Iqro pun masih terbata-bata. Tetapi karena KKM-nya harus 80 maka di rapot tertulis minimal 80.

Belum lagi pelajaran lain seperti halnya Bahasa Inggris yang KKM-nya harus 75. Padahal disuruh membaca Bahasa Inggris saja masih belum bisa, diminta untuk menulis dalam Bahasa Inggris belum bisa, apalagi diminta untuk berbicara dalam bahasa Inggris.

Kekeliruan berikutnya adalah keharusan siswa naik kelas baik siswa yang bermasalah karena kehadiran, sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik, atau karena nilainya kurang pun harus naik kelas. Padahal saya setuju dengan kebijakan tinggal kelas untuk siswa dan siswi yang memang belum layak untuk naik kelas. Sehingga akhirnya seperti sekarang, masih ada anak SMP yang belum bisa membaca, aneh bukan?. Padahal waktu saya sekolah dulu anak SD kelas 3 itu sudah lancar membaca.

Belum lagi pelajaran hitung-hitungan yakni Matematika. Zaman saya sekolah dulu anak SD sudah hafal perkalian satu angka dari 1 x 1 sampai 9 x 9 itu sudah di luar kepala. Tetapi sekarang anak SMP kelas 9 pun masih ada yang gelagepan saat ditanya 4 x 6 berapa?. Ini sungguh ironi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun