Tanggal 23 Juli 2018 lalu diperingati Hari Anak Nasional. Peringatan tersebut menjadi momentum untuk evaluasi dan perbaikan dalam perlindungan hak anak. Sebab saat ini masih banyak kekerasan pada anak baik kekerasan psikis maupun verbal.
Kekerasan tersebut tidak saja terjadi di lingkungan sekolah, teman sepermainan, komunitas, atau di sekitar rumahnya. Â Tetapi kekerasan juga bisa saja terjadi di lingkungan keluarga yang dilakukan oleh orang tua atau saudara kandung atau saudara tirinya.
Saya punya pengalaman menarik tentang kekerasan verbal dari cerita salah satu orang tua siswa yang menceritakan pengalamannya. Berikut ceritanya :
Pada suatu hari, sebut saja Ibu Susan dan Amran yang baru memiliki satu anak yang masih berusia 7 tahunan yang bernama Loli (Nama bukan sebenarnya). Walaupun perbedaan adat dan kebiasaan antara Sunda dengan Indramayu tidak menyurutkan mereka untuk membina rumah tangga.Â
Tetapi setelah lahir anak kedua mereka mulai muncul berbagai permasalahan salah satu penyebabnya adalah Ibu Susan tidak betah tinggal di Indramayu karena hawanya yang panas. Tetapi sang suami berusaha untuk meyakinkan isterinya bahwa tinggal di Indramayu juga bisa nyaman dengan melengkapi rumahnya dengan pendingin ruangan atau kipas angin. Tetapi rupanya sang isteri memiliki alasan lain yakni tidak mau tinggal bareng mertuanya. Sehingga sang suami mulai naik pitam mendengar alasan isterinya tersebut.
Pertengkaranpun tak terelakan terjadi antara suami isteri tersebut. Karena sama-sama marah mereka tidak sadar anak pertamanya mendengar semua pertengkaran ayah dan ibunya tersebut. Loli tampak menangis terisak melihat dan mendengar kedua orang tuanya bertengkar di hadapannya.
Rupanya sang anak mengingat semua perkataan kasar ayah dan ibunya tersebut sehingga terekam hingga lubuk hatinya paling dalam. Loli yang waktu itu duduk di bangku SD kelas 2 tersebut mengalami perubahan psikologis setelah bapak dan ibunya bertengkar di hadapannya.
Loli tampak menjadi anak pendiam dan tidak mau berbicara dengan siapapun termasuk kepada orang tuanya. Melihat perubahan perilaku anaknya tersebut, ibunya mendekati Loli sambil mengelus-elus kepalanya dan mengajak dia berbicara. Tetapi hanya beberapa patah kata saja yang keluar dari bibirnya.
Ibunya tidak tahan melihat perilaku anaknya dan membawa anaknya ke dokter anak yang ada di daerahnya. Berdasarkan diagnosa dokter, anaknya mengalami traumatik yang sangat berat karena melihat bapak dan ibunya bertengkar. Mendengar penjelasan dokter tersebut dia pun berusaha untuk mengubah sikapnya dihadapan anak-anaknya.
Begitu juga dengan suaminya yang mulai memberikan perhatian khusus kepada anak pertamanya tersebut. Sayangnya trauma yang mendalam tersebut tidak hilang begitu saja. Bahkan terbawa hingga dia sekolah di tingkat SMP.
Loli tidak mau bergaul dengan teman-temannya yang ada di kelasnya, seringkali dia menyendiri, perilakunya seperti anak-anak dan suaranya sangat pelan sekali saat disuruh membaca atau menjelaskan oleh gurunya kepada teman-temannya. Â