[caption caption="R.A. Kartini | Sumber gambar www.frewaremini.com "][/caption]
Bulan April adalah bulan yang sangat dinanti-nanti oleh seluruh wanita di Indonesia. Mengapa? Karena di bulan tersebut ada suatu momentum yang menjadikan kehidupan wanita Indonesia begitu berharga. Tanggal 21 April adalah tanggal kelahiran R.A. Kartini, seorang pahlawan wanita yang memperjuangkan harkat dan martabat kaum wanita di Indonesia. Berkat perjuangannya perempuan Indonesia memiliki hak yang sama dengan para pria. Namun sejauh manakah kita memahami dan memaknai perjuangan R.A. Kartini tersebut?
Selama ini fenomena yang terjadi ketika memperingati hari Kartini adalah kita kaum wanita Indonesia lebih sibuk mempersiapkan baju kebaya daripada menghayati perjuangan R.A. Kartini dalam kehidupan kita. Hari Kartini memang identik dengan kebaya maka tak heran kaum ibu jauh-jauh hari sudah mempersiapkan kebaya apa yang akan dipakai. Memang tidak salah tapi terkadang tanpa disadari momen itu dijadikan ajang pamer dan penguatan terhadap identitasnya. Inikah jiwa Kartini?
R.A. Kartini adalah sosok wanita yang sederhana, yang tidak membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Bahkan beliau memperjuangkan nasib rakyat jelata agar memiliki kesempatan memperoleh pendidikan layaknya kaum ningrat. Beliau tidak menampilkan gaya hidup seorang bangsawan berdarah “biru”.
Jadi alangkah piciknya apabila ada seorang atasan yang menilai bawahannya sebagai orang yang tidak peka dan kurang cerdas karena tidak berkebaya di hari Kartini. Dan betapa mirisnya ketika seorang anak TK (Taman Kanak-kanak) menangis karena tidak diperbolehkan mengikuti karnaval di hari Kartini hanya karena orang tuanya tidak mampu membawanya ke salon untuk berdandan “ala Kartini”. Bukan itu yang diajarkan ibu kita Kartini kepada kita.
Memaknai perjuangan R.A. Kartini akan terlihat jelas ketika kita memaknai “emansipasi” yang diperjuangkan beliau. Emansipasi yang diajarkan R.A. Kartini adalah adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu, memperluas wawasan dan memiliki peran dalam memajukan bangsa. Bukan emansipasi yang menuntut persamaan peran dan fungsi dalam kehidupan antara kaum wanita dengan kaum pria. Pada dasarnya akan selalu ada perbedaan peran dan fungsi wanita dan pria, seperti disebutkan dalam Al-Quran “ Laki-laki adalah pemimpin wanita.....”.
Hal itu berlaku selamanya tidak bisa dipungkiri. Jadi merupakan hal yang keliru ketika seorang wanita mengartikan emansipasi dengan memosisikan dirinya sebagai pria apalagi sebagai pemimpin keluarga. Peran dan fungsi wanita dan pria tidak untuk saling menggantikan tapi untuk saling melengkapi. Seorang istri bisa berganti peran sebagai pencari nafkah apabila suami sudah tidak mampu menafkahinya dengan alasan meninggal dunia atau cacat sehingga tidak lagi mampu untuk bekerja.
Terkadang dengan alasan emansipasi seorang istri berani memerintah suami untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga yang seharusnya dilakukan istri (lain halnya ketika suami dan istri sepakat untuk kerjasama mengerjakan tugas-tugas di rumah).Bahkan ia begitu bangga ketika suaminya dikelompokkan sebagai ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Naudzubillah......
Jadi pada hakikatnya perjuangan R.A. Kartini adalah bertujuan agar kaum wanita menjadi sosok yang berilmu dan tidak bodoh. Dengan ilmunya diharapkan para wanita mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak. Seorang ibu adalah pendidik manusia yang pertama. Seorang wanita membutuhkan ilmu untuk mengajar dan mendidik anak-anaknya. Bagaimana seorang ibu bisa memberikan ilmu kepada anaknya kalau dia sendiri tidak memiliki ilmu? Bagaimana seorang ibu menjadikan anaknya berakhlak mulia sedangkan ia sendiri tidak memahami apa itu akhlak mulia?
Jadi pada kesimpulannya memaknai perjuangan Kartini bukanlah mengingatnya secara lahiriah belaka dengan berkebaya setiap tanggal 21 April. Akan tetapi, makna perjuangan R.A. Kartini adalah pendidikan yang sama bagi kaum wanita agar kaum wanita menjadi sosok yang berilmu untuk bisa mendidik dan menciptakan anak-anak yang berilmu, berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa. Bukankah sering dikatakan bahwa “ Tegaknya suatu negara berawal dari sebuah keluarga”. Itulah makna perjuangan R.A. Kartini yang sesungguhnya.
Penulis : Vivi Trijatah Handayani