Mohon tunggu...
Didit SuryoTri
Didit SuryoTri Mohon Tunggu... Freelancer - Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai Kerja Manusia

23 Juli 2020   18:20 Diperbarui: 23 Juli 2020   18:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan pada makan siang hari itu menjadi berbeda dengan "partner hidup" saya, pasalnya perbincangan tersebut menyebabkan saya berpikir kembali terkait bagaimana kita menjadi dan memaknai manusia. Bahwa memaknai manusia dan segala tingkah polahnya memang tak pernah selesai untuk diperbincangkan oleh manuisa itu sendiri, karena memang manusia bukan mahkluk "jadi", manusia adalah makhluk yang "menjadi". 

Asumsi saya pada akhir perbincangan itu adalah bahwa kita sebagai manusia memang tidak pernah diukur dari kemanusiaan (nilai-nilai) itu sendiri, akan tetapi dari pekerjaan yang dilakukannya. 

Bagaimana bisa kita sebagai sesama manusia, memandang manusia dengan hanya melihat dari pekerjaannya? Seperti apa konstruksi pemikiran yang terbangun?

Stigma Kerja

Bekerja/kerja merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Menjadi sebuah keniscayaan karena untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam mempertahankan hidupnya itu, manusia harus bekerja. Bekerja juga merupakan salah satu wujud eksistensi kemanusiaan bagi seseorang. Bekerja disini saya maknai sebagai kerja dalam arti yang luas, bukan sekedar melakukan sebuah rutinitas dengan upah (gaji) pada tiap hari, minggu atau bulannya.

Permasalahan mengenai stigma atau labelisasi manusia tak hanya berkaitan dengan identitas (suku, ras, agama, warna kulit, dll) tetapi juga berkaitan dengan pekerjaan apa yang manusia lakukan, bahkan pekerjaan adalah merupakan salah satu tolok ukur kemanusiaan itu sendiri. 

Sebagaimana dapat kita lihat dalam kehidupan keseharian masyarakat kita, bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih dihormati dari pada kuli panggul, seorang pegawai bank lebih disegani dari pada petani, atau seorang pegawai kantoran lebih disanjung dari pada tukang tambal ban. 

Penilaian masyarakat kepada seseorang, saat ini bukan dilihat dari perbuatan seseorang tersebut apakah baik (mulia) atau tidak baik, sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatannya atau tidak. 

Penilaian kepada seorang manusia hari ini dilihat dari pekerjaan yang dilakukannya, karena tidak lain bahwa pekerjaan manusia sekarang ini juga telah ter-stigmatisasi. Misalnya saja, seorang petani adalah orang yang tinggal di desa, dengan pendidikan rendah (bodoh), tak punya keterampilan khusus karena bertani dianggap tak membutuhkan ilmu, dan kehidupannya miskin. 

Hampir mirip dengan petani, stigma-stigma yang seolah sudah "dari sananya" itu juga melekat pada buruh pabrik, kuli panggul, tukang tambal ban, atau kerja-kerja rendahan yang tidak membutuhkan ijasah formal sampai perguruan tinggi. 

Akan berbeda penilaiannya terhadap seseorang dengan pekerjaan yang dikerjakan di kantoran, dengan baju rapi dan sepatu, dan dengan upah bulanan tetap. Orang-orang demikian akan terstigma sebagai orang yang pintar, ahli, sopan, dan paling penting mereka orang yang mapan (kalau tidak kaya).

Dalam masyarakat Indonesia telah berkembang stigmatisasi bahwa orang yang bekerja adalah orang yang mendapatkan gaji, biasanya bulanan atau mingguan. Orang yang tidak dibayar bukan pekerja atau disebut pengangguran. 

Secara umum demikianlah konstruk pemikiran masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan di dalam masyarakat Jawa, ada sebuah anggapan bahwa belum menjadi seseorang apabila dia belum mendapatkan pekerjaan (tentunya dengan upah).

Bekerja dengan mendapat upah merupakan sarana yang dianggap bagi sebagian masyarakat merupakan sarana untuk dapat mencapai kebahagiaan. Oleh sebabnya, kebahagiaan diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan, dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut uang adalah alatnya. Mungkin juga adalah satu-satunya alat. 

Maka, pendek pemikirannya, untuk bisa bahagia maka haruslah punya uang sebagai syarat. Dan untuk punya uang maka seseorang haruslah bekerja. Celakanya logika ini akan merembet pada hal-hal lainnya. Untuk bekerja orang harus mempunyai keterampilan (skill) dan kepintaran. Agar dapat mempunyai keterampilan dan kepintaran seseorang akan memperolehnya dengan bersekolah (pendidikan). 

Alat ukur yang digunakan oleh sekolah untuk menyatakan peserta didik mempunyai keterampilan dan kepintaran adalah dengan buku hasil belajar (biasanya rapor, indeks prestasi) dan bukti kelulusannya adalah ijasah. Terbentuklah konstruk masyarakat lainnya yaitu ijasah menunjukkan keterampilan dan kepintaran.  Apabila seseorang tidak punya ijazah maka dia dianggap tidak terampil dan tidak pintar.

Hal ini, mengakibatkan konstruk pada masyarakat yang terbentuk yaitu sekolah hanya untuk mendapatkan ijasah, bukan untuk menyadarkan (sebagaimana Freire) atau pencerahan (sebagaimana Socrates). Orientasi dalam sekolah adalah hasil bukan proses. 

Maka, selama dalam buku hasil belajar tertulis nilai (angka) yang tinggi, bagaimanapun proses mendapatkannya menjadi tidak penting. Dengan curang atau jujur sama saja, tidak ada yang benar-benar peduli. 

Pedidikan yang idealnya menjadikan manusia semakin memanusia justru mengalami anomali, mengarahkan manusia memenuhi hasrat-hasrat ekonomi, menuju pada homo economicus.

Memanusia dan Bahagia

Kebanyakan manusia berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan dimaknai sempit sebatas pemenuhan kebutuhan materi. Satu-satunya pemenuhan kebutuhan itu dengan bekerja. Maka yang terjadi saat ini, dengan bekerja (menumpuk kapital) justru manusia telah menjadi budak dari pekerjaannya. 

Manusia kehilangan kemanusiaannya dengan memenuhi tuntutan kerja, ter-alienasi dengan dirinya sendiri.  Manusia telah menjadi mesin (l'homme machine). Ukurannya jelas,, dengan menjadi budak pekerjaan manusia telah kehilangan kebebasannya, dituntut memenuhi rutinitas tanpa makna, kecuali hanya demi mendapat upah.

Manusia, alih-alih bekerja (dapat uang) untuk memperoleh kebahagiaan, justru manusia itu malah tenggelam dalam ketidakbahagiaan, penderitaan dan penuh tekanan dengan pekerjaannya. Karena manusia, bekerja bukan atas pilihan-pilihan sendiri melainkan karena keterpaksaan. Terpaksa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat materi.

Dan akhirnya, dalam keterpaksaan itu manusia tidak akan menemukan kesenangan/kebahagiaannya. Kerja yang hanya mengejar upah untuk memenuhi kebutuhan merupakan kerja yang tak bermakna atau kerja yang kehilangan "nilai"-nya.

Pemaknaan (be)kerja bukan hanya bagaimana manusia itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Maka kerja haruslah kerja yang mengandung "nilai". Kerja yang mengandung "nilai" adalah wujud kemanusiaan itu sendiri, sebagai esensi bukan sebatas eksistensi belaka. Esensi sebagai manusia yang bebas merdeka. 

Kerja manusia tidak hanya dalam bentuk profesi (karyawan, buruh PNS dsb) dan mendapatkan upah (uang), akan tetapi bisa juga dalam bentuk pengabdian dalam usaha-usaha memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan kepuasan hati, kesenangan bahkan kebahagiaan sebagai timbal baliknya.

Maka menjadi manusia itu tidak harus memenuhi segala kebutuhan materinya, apalagi kebutuhan-kebutuhan semu yang diciptakan oleh pasar demi perkembangan sistem ekonomi kapital yang hanya mementingkan keuntungan materi (uang). 

Karena pasar menuntut manusia hanya memikirkan bagaimana mendapat uang, dengan cara-cara apapun, bahkan yang melanggar nilai-nilai manusia itu sendiri. 

Menjadi manusia cukup dengan menikmati setiap kehidupan dengan landasan kebebasan sebagai pengejewantahan "pilihan merdeka" manusia. Sebagaimana tercantum dalam teks Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI Bab II mengenai Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan "...seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis...". Jadi kita manusia, akan selalu menilai manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya bukan dari pekerjaan apa yang dilakukan, atau bahkan seberapa banyak upah didapatkan.

Mari memanusia kemudian mati bahagia, dengan menikmati dua gelas es teh. Ada yang mau bergabung?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun