Di suatu pagi, suasana di sekitaran Pasar Simpang Dago tak ada yang berubah. Pedagang tetap sibuk menggelar dagangannya, baik di lapak pasar, maupun di trotoar. Beberapa di antaranya ada yang menggelar di pinggir jalan, bersinggungan dengan parkir sepeda motor.
Namun,  pagi yang  tetap dihiasi oleh sinar mentari yang menyembul di antara mendung itu, tetap tak bisa menyembunyikan kemuraman wajah pedagang. "Semua gara-gara Corona." Begitulah keluh kesah singkat seorang ibu pedagang di  kawasan Pasar Simpang Dago Kota Bandung yang sempat terdengar oleh penulis di suatu pagi.
Ketika itu wabah virus Corona belum secara masif  melanda  wilayah Indonesia. Mobilitas orang per orang pun belum dibatasi seperti halnya sekarang ini. Namun, situasi saat itu nyatanya telah memukul perekonomian wong cilik.
Wabah Corona memang membuat  beraneka macam dagangan yang  dijual digelar si ibu di trotoar depan toko baju itu nyaris tidak laku. Dagangan mulai dari bumbu dapur, tahu sumedang, hingga ubi itu masih menumpuk. Bahkan nyaris tak tersentuh pembeli.
Setali tiga uang, di depannya ada ibu penjual ayam potong yang berulang kali menata ayam potong dagangannya. Sementara tidak satu pun pembeli yang terlihat di lapaknya yang di hari-hari biasa selalu berebut minta dilayani terlebih dulu.
Di sebelahnya, lelaki penjual ikan asin malah menghabiskan waktu dengan memainkan telepon pintarnya. Tak jauh darinya, pria paruh baya yang berjualan tempe duduk termangu di depan tumpukan tempe yang tak kunjung  laku dijual semenjak lapaknya dibuka sebelum subuh.
Sementara, matahari berlahan tetapi  pasti  terus menanjak. Sinarnya kian terik bertanda pagi akan segera pergi.
Sepinya pembeli juga  dirasakan  warung-warung makanan  di  kawasan  Cisitu Kota Bandung. Roda perekonomian yang biasanya  menggeliat, tak tampak lagi berubah agak lengang. Warung makanan yang tetap buka, tidak dijubeli  pembeli, bahkan cenderung kosong.
Demikian pula penjaja makanan yang menggunakan gerobak dorong  yang tetap memaksa buka, juga tak dihampiri pembeli. Mereka malah lebih banyak  mengobrol antarsesama pedagang sekadar membunuh rasa jenuh dan menghabiskan waktu.
Sementara warung makan lainnya pun memilih tutup  ketimbang harus  merugi  bilamana memaksakan diri  tetap  beroperasi. Kerugian demi kerugian yang bukan  tidak mungkin membuat usaha mereka harus gulung tikar.
Apa yang  penulis  deskripsikan  di atas merupakan salah satu fenomena  di kalangan wong cilik yang ikut menanggung  efek meluasnya wabah Corona di Indonesia. Kebijakan work from home (WFH) maupun diberlakukannya  perkuliahan  secara daring memang terasa  dampaknya bagi mereka.