Oleh : Didi Suradi
Pagi ini dilalui oleh anak-anakku sama seperti biasanya. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. semua sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Iseng-iseng saya tanya pada si sulung yang kelas satu SMP, Tahu gak 5 Oktober itu hari apa?, dia menggeleng. Saya tanya lagi, tahu gak 30 september dan 1 Oktober itu hari apa? dia mengangguk dan menjawab ragu. Peristiwa G30 S PKI katanya setengah gak yakin.
Saya jadi ingat sewaktu sekolah dulu. setiap tanggal-tanggal tersebut, sekolah selalu mengadakan upacara. saya masih ingat betul setiap nasehat yang diucapkan guru-guru waktu itu. bahwa kita harus selalu waspada terhadap bahaya latin komunis, bahwa Pancasila itu begitu sakti dan mampu mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa meskipun berbhineka, dan semangat kesatria dari TNI harus tertanam pada diri kita supaya kita memiliki sikap kepahlawanan.
Tapi apa yang terjadi pada anak-anak saya sekarang? rasanya mereka tidak pernah mendapat nasehat-nasehat seperti itu dari guru-gurunya. bahkan saya perhatikan anak-anak sekolah pada umumnya, mereka lebih asyik memikirkan dirinya masing-masing daripada memikirkan bangsanya. lalu bagaimana rasa nasionalisme bisa tertanam?
Mungkin mereka mencontoh para pemimpin bangsa yang suka muncul di acara-acara televisi. mereka lebih senang berdebat dan berargumentasi daripada memberikan solusi buat kemajuan bangsa. Atau juga contoh pejabat yang korupsi? menyedihkan!
Selebihnya, pendidikan di sekolah kurang menanamkan sikap nasionalisme bagi peserta didiknya. pendidikan lebih menekankan aspek kognitif. Penanaman karakter terganjal oleh tontonan tidak berbobot di televisi dan contoh buruk yang ditampilkan para tokoh.
Baiklah, saya akan mulai dari rumah sendiri, anak-anak saya harus diselamatkan. Mereka harus memiliki nasionalisme dan kepedulian sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H