Mohon tunggu...
Didi Rul
Didi Rul Mohon Tunggu... -

An ordinary man with an extraordinary dream.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Saya (masih) Belum Mau Kembali ke Indonesia

6 Mei 2011   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 2259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_105511" align="aligncenter" width="510" caption="Suasana di suatu kafe di Swanston Street Melbourne. Sumber: http://www.streetsblog.org"][/caption]

Setelah saya memposting tulisan kawan saya sebelumnya di Kompasiana (http://politik.kompasiana.com/2011/05/03/laporan-dialog-antara-perhimpunan-pelajar-indonesia-australia-dengan-komisi-viii-dpr-ri-di-melbourne/), saya menerima beberpa komentar dari kompasianer yang intinya menanyakan mengapa saya tidak pulang saja ke Indonesia dan menggantikan para Anggota Dewan tersebut? Bahkan ada yang menyindir kalau saya ini hanya ingin enak sendiri di Negara orang dan mengolok-olok negeri sendiri dari jauh. Baiklah, mungkin sekilas komentar di atas ada benarnya. Tapi coba perhatikan, jangan hanya melihat saya saja yang merantau ke luar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Saya rasa banyak di antara Kompasianer sekalian yang asalnya dari daerah pergi merantau ke Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Bukankah begitu? Baik itu kuliah menuntut ilmu, bekerja, berdagang dsb...Sekarang saya balik bertanya: "Kenapa anda tidak kembali ke daerah asal anda dan membangun kampung anda sehingga menjadi lebih baik?" Berapa banyak WNI yang di luar negeri setelah mereka selesai masa kuliah/belajarnya memutuskan untuk menetap dan tidak kembali ke Indonesia? Apakah mereka tidak nasionalis? Apakah mereka tidak peduli dengan Indonesia? Mereka sangat peduli. Salah satu contohnya mungkin seorang kompasianer bernama Bambang. Setelah lulus program S-3 dari negeri jiran, ia mencoba melamar menjadi dosen di universitas-universitas negeri di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi? Karena sangat rumitnya birokrasi di negeri sendiri akhirnya ia memilih kembali ke negeri jiran tempat ia belajar dahulu dan menjadi dosen di sana (baca selengkapnya disini: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/06/jadi-pensyarah-dosen-di-malaysia/). Contoh lainnya adalah Prof .Dr. Ken Kawan Soetanto pemegang gelar 4 Doktor sekaligus lulusan Tokyo University, Waseda University, Tohoku University dan Tokyo Institute of Technology, dalam acara Kick Andy yang ditayangkan pada tanggal 4 Desember 2009, Bung Andy F Noya mengatakan mengapa beliau tidak ingin kembali ke Indonesia? Apa jawaban beliau: "No Future, So What?". Beliau menjelaskan jika di Indonesia tidak ada bidang yang bisa digarap sesuai dengan keahliannya (baca selengkapnya disini: http://politikana.com/baca/2009/11/29/no-future-so-what.html). Tetapi meskipun Prof. Ken Soetanto tidak (baca: belum) bersedia kembali ke Tanah Air, beliau juga menolak kewarganegaraan yang ditawarkan oleh Pemerintah Jepang saking cintanya kepada Indonesia. Luar biasa! Contoh lain lagi yang paling terkenal adalah Prof. Dr. Ing B.J Habibie. Siapa yang tidak kenal dengan orang satu ini? Seorang Profesor yang berhasil mengharumkan nama bangsa dengan Pesawat N-250? Tetapi apa yang Pemerintah RI lakukan? Pesawat ciptaannya di"barter" dengan beras ketan ketika transaksi dengan Thailand. Apakah ini waras? Mungkin, sekali lagi mungkin lho yaa...hal itu yang membuat Habibie memilih untuk bekerja di Jerman dan mengaplikasikan ilmunya di sana karena lebih dihargai. Kepedulian terhadap Indonesia tidak harus dilakukan dengan cara pulang ke Indonesia kemudian bekerja di Indonesia. Memang idealnya demikian, tetapi jika di Indonesia tidak ada "lahan" yang bisa digarap, apakah kami-kami ini harus pulang dan memaksakan diri untuk bekerja di bidang yang tidak kami sukai atau di tempatkan di suatu posisi dimana kami ini bukanlah ahlinya?  Seorang kawan pernah berkelakar bahwa perusahaan di Indonesia itu tidak butuh lulusan S-2, apalagi dari luar negeri. Mereka hanya mencari lulusan S-1 lokal supaya bisa dibayar murah, nurut, dan tidak kritis terhadap perusahaan. Kemudian lagi untuk menjadi PNS seperti yang telah diketahui pelamarnya sangat banyak, "upeti" yang dikeluarkan juga banyak, toh kalaupun diterima pekerjaan yang akan dikerjakan hampir tidak ada. Job descriptionnya tidak jelas. Bisa-bisa ilmu yang saya miliki tumpul karena sering tidak terpakai. Untuk membuka lapangan kerja sendiri juga dibutuhkan modal yang tidak sedikit, dan saat ini saya tidak punya. Banyak kepedulian yang dilakukan oleh kami-kami ini masyarakat dan pelajar Indonesia di Australia, khususnya Melbourne untuk mengharumkan nama bangsa. Contoh yang paling sederhana adalah dengan cara belajar, berprestasi, dan tidak macam-macam selama kuliah. Karena jika kami, para pelajar ini berprestasi di negeri orang ini maka yang akan dikenal bukan hanya nama kami, tetapi juga nama negara dimana kami berasal. Contoh lainnya adalah: Penyelenggaraan acara Festival Indonesia di Melbourne (www.festivalindonesia.com.au) yang diadakan setiap tahunnya oleh Konsulat Jendaral Republik Indonesia untuk wilayah Victoria dan Tasmania bekerja sama dengan masyarakat Indonesia di Melbourne. Di sinilah kami berperan sebagai duta budaya memperkenalkan keanekaragaman budaya, seni dan masakan khas Indonesia kepada dunia agar mereka tahu kalau ternyata angklung itu asalnya dari Jawa Barat, rendang itu masakan khas Sumatera Barat, batik itu pakaian resmi khas Indonesia, sehingga tidak diklaim oleh negara tetangga. Banyak hal yang menyebabkan saya betah tinggal di negara ini, misalnya: sarana infrastruktur yang baik, kesempatan kerja yang sama terbuka untuk semua orang, lingkungan yang bersih, toleransi antar sesama yang tinggi, dan tentunya tidak ketinggalan pula gaji atau pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup hingga kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Di sinilah saya menjumpai suatu negeri sekuler yang masyarakatnya "Islami" contohnya ya itu dengan terjaganya kebersihan lingkungan, menghormati penyandang cacat dengan cara tidak memarjinalkan mereka (di sini ada fasilitas khusus untuk penyandang cacat mulai dari tempat parkir kendaraan, tempat duduk di dalam kereta dan bis, toilet umum, dan juga pintu masuk khusus ke suatu gedung), budaya tepat waktu, dan juga kejujuran sebagian besar masyarakatnya. Selama saya tinggal di Melbourne, tidak pernah saya merasa ditipu ketika bertransaksi/belanja di tempat apapun. Sampai ke hal uang kembalian yang paling kecil nominalnya sekalipun pasti mereka akan kembalikan. Tidak ada istilahnya pembulatan nominal hanya karena tidak ada uang kembalian. Di sini pula saya merasakan suasana yang sangat egaliter. Banyak kenalan/kawan saya yang memiliki titel atau gelar akademik tetapi tidak pernah digunakan ketika berkenalan (Contoh: Dr. Anu, ataupun Si Anu, PhD). Begitupula dengan gelar-gelar lainnya. Bahkan seorang profesor pun bersedia makan di kafetaria kampus berdiskusi hangat dengan mahasiswanya. Seorang kawan saya, masih muda dan pernah berhaji pun tidak pula mencantumkan titel "H. Fulan bin Fulan". Jadi saya merasa duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi. Saya juga sadar, bagaimanapun nikmatnya hidup di negeri orang masih lebih baik hidup di negeri sendiri, berada ditengah-tengah keluarga dan kawan-kawan. Saya juga berencana untuk kembali ke Negara saya suatu hari nanti jika saya sudah memiliki "kekuatan" (baca: uang, relasi bisnis, network yang luas, pengalaman kerja, dan ilmu pengetahuan) untuk melakukan perubahan. Mungkin untuk Kompasianer yang beragama Islam paham bahwa mengapa Rasulullah Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Karena memang pada saat itu kondisi di Makkah sangat tidak kondusif. Setelah ia berkonsolidasi dengan sesama umat Islam dan membangun kekuatan, maka ia kembali ke Makkah untuk melakukan suatu perubahan. Sekarang saya ini sedang dalam tahap membangun dan mengumpulkan "kekuatan" tersebut. Karena tanpa itu semua niscaya tidak akan mungkin saya bisa melakukan perubahan. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun