Semenjak perbincangan pagi itu. Nilna semakin merasa teramat lelah dengan kondisi hidupnya. Sorot matanya di sore itu sungguh telah berbeda.Â
Tatapan penuh tanda tanya. Mata seorang yang akan bertindak nekat. Tentu ia bukan sedang akan bunuh diri. Lirikannya genit penuh hujam. Pancaran auranya sayu. Tidak seperti sediakala. Hingga sampai tengah malam, ia semakin tak kuasa menahan rasa gelisahnya.Â
Nilna merasa, dengan mendapati orang pintar kenalan Yuk Erna itu. Barangkali nasibnya bisa kembali seperti saat ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswi dulu itu. Yah. Diantara penjual kopi di kawasan itu, hanya Nilna-lah yang bergelar sarjana. Sehingga ia merasai, sebenarnya derajatnya tak pantas menjadi babu di warung Yuk Erna itu. Nilna pernah kuliah di salah kampus pendidikan ternama---di kota provinsi.
Di bawah temaram lampu lima watt di bilik kamar kecilnya yang bernuansa redup. Nilna kembali mengingat masa kejayaannya sebagai bidadari pemuas birahi paling di cari, di kalangan mahasiswa, pengusaha hingga para birokrat papan atas. Nilna mulai mengenal dunia esek-esek bahkan sejak masih kuliah. Meski saat itu ia masih menjajakan layanannya secara rahasia, dari mulut-mulut rahasia dan dunia online. Ia dulu bahkah tanpa sering mencari pelanggan. Kolektor pemilik akses mahasiswi berkode ayam kampus lah yang lebih sering menawarinya duluan.Â
Nilna ingat. Bagaimana dulu ia tak seusang saat ini. Dulu dengan mudah ia beli ini itu. Shooping, traveling dan rutin ber-spa. Memoles tubuh mulusnya bagai ratu-ratu kecantikan artis ibukota. Tubuhnya bersih, mulus dan molek, ia bisa rutin membeli peralatan bersolek di manapun dan dengan harga berapapun. Nilna mampu. Wajahnya ia paes dengan make up kelas wahid, produk impor dari negeri pemuja kecantikan yang ia ketahui dari toko-toko online sesui trend kekinian.
Berlabel perempuan panggilan "high class". Ia bebas menjajakan servis rahasianya itu lewat Facebook, Twitter, Bigo Live, Instagram, Whatapps dan sederet sosmed era teknologi abad 21 itu. Menjadi ajang ia pula bebas mengumbar pesonanya. Bahkan dulu, tarif servis sekali beraksi dalam satu malam, Nilna bisa meraup puluhan juta. Melayani panggilan ke hotel maupun di villa-villa berstempel 'Lampu Hijau'. Uang itu ia bisa hambur-hamburkan di pusat clubing atau kasir pusat-pusat hedonisme pergaulan ala mahasiswa sosialita.
Malam ini, ia sangat rindu pada masa-masa itu. Di tengah pergulatan batin yang merintih, keibaan diri, ia tiba-tiba nekat menuju ke kamar Yuk Erna. Nilna akhirnya nekat bertanya alamat dukun paling sakti itu langsung pada sang juragan warungnya itu. Nilna, gadis kopi yang pernah di labeli para pria hidung belang sebagai 'The Best Nigt Butterfly' itupun akhirnya memutuskan bertanya pada Yuk Erna.
"Serius kamu Nil. Mau ke dukun itu?"
"Iya Yuk."
"Untuk apa?"
"Ada temen lamaku yang jadi artis ibukota pengen masang susuk Yuk. Adu diminta tamya-tanya dulu. Nama dukun itu siapa Yuk. Dan alamatnya dimana Yuk. Terus apa syaratnya kalau menemui beliau?"