(baca lengkap agar tak gagal faham)
Semenjak saya mulai memperoleh hak suara di momentum-momentum pemilihan umum. Kira-kira di tahun 2009. Belum pernah sama sekali, sampai hari ini saya "rela" mencoblos. Memberikan hak suara saya pada politisi atau calon pejabat publik di tingkatan apapun dan manapun.Â
Mulai dari panggilan mencoblos di momen PILKADES, PILBUP, PILGUB, PILEG hingga PILPRES. Tak pernah saya "sudi" datang meski sudah menjadi rahasia umum dan kultur. Bahwa mencoblos calon pejabat itu ada "ganti bensin" -nya. Lumrah disebut shodaqoh calon pejabat pada rakyat.
Barangkali bermuara dari fakta "abu-abu" itulah. Yang sedari dulu membuat mindset saya tentang mencoblos itu bergejolak. Bahwa, apakah demokrasi kapital akan terus  ada di bumi Indonesia. Atau memang budaya "shodaqoh" calon pejabat ke rakyat ini adalah budaya yang wajar(lah). Seperti era para raja Nusantara yang gemar berbagi dikala masa raja penerus tiba ke dunia.
Namun di tahun 2020 ini, Â terasa sangat berbeda. Apalagi semenjak saya "uzlah" di dusun kelahiran. Seorang Ketua RW menawari saya menjadi anggota KPPS. Pioner terbawah KPU RI. Ada rasa ego. Masak saya harus mau sih.
Jangankan jadi panitia pemilihan. Memilih saja saya ogah. Apalagi kelas politik dusun. Tawaran menjadi pelaku demokrasi kecamatan-kabupaten saja saya kurang menggubris kala itu.Â
Entah dapat "hidayah" apa. Saya pun mengiyakan akhirnya. Menjadi anggota KPPS. KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA. Kenapa harus kata "pemungutan" yah, yang di pakai KPU. Seolah suara kita-kita ini sampah saja. Tapi soal bahasa kita bahas di lain waktu saja deh.
Kembali ke KPPS. Sebuah panggilan hati barangkali. "Mas, kita kekurangan pemuda yang bisa dan mau buat jadi KPPS," ujar Pak RW. Okelah. Saya jalani. Disela-sela aktivitas saya sebagai writerpreneur. Kebetulan tiga tahun belakangan.Â
Saya memang mulai ingin merasakan atmosfir masyarakat di dusun kelahiran. Ada rasa haru ketika bisa bermanfaat untuk orang terdekat di bumi rahim kita. Terutama ketika ilmu kamu mendapat sambutan dan amanah. Ketika jabat hangat warga desa berbagi senyum-senyum tulus mereka.
Saya akhirnya belajar banyak tatkala menjadi anggota KPPS pedusunan. Meski saya tak pernah mencoblos apalagi panitia coblosan negara. Pengalaman saya hanya mencoblos dan mem-panitiai PEMILIHAN KETUA OSIS & PRESIDEN BEM KAMPUS.
Saya meyakini. Pejabat, tokoh masyarakat atau pendidik paling ikhlas Indonesia itu ada di level RT-RW. Saya pula meyakini. Pasukan KPU RI paling ikhlas dan legawa demi negara itu level KPPS. Tugas mereka ternyata cukup padat tak hanya hari H pencoblosan belaka. Tapi tau sendiri, mereka-mereka bergerak tanpa peduli dibayar berapa.