Mohon tunggu...
Didin Sahidin
Didin Sahidin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ayo memaknai hidup menjadi lebih hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taqlid Why Not?

26 Juni 2010   12:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:16 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Para pembaca yang sejahtera, kini saya hadir kembali menyapa anda semua untuk menghidupkan iklim akademik ditengah-tengah kita semua yang kini mulai surut. Mari kita tingkatkan dan kembangkan kegiatan akademik kita. Hal itu karena kegiatan akademik seperti menulis, diskusi, debat atau yang semacamnya adalah salah satu metode untuk membangun “bangunan” intelektual kita agar kokoh, kuat dan kritis dalam membaca, menanggapi dan memberi solusi terhadap problematika kehidupan yang semakin pelik dan kompleks.

Selanjutnya mari kita lanjutkan…. apa sebenarnya yang akan dibahas pada tulisan kali ini. Yupz, seperti judul diatas yaitu Menyegarkan Kembali Pemahaman “Taqlid” Dalam Pengembaraan Ilmu saya mencoba untuk menafsirkannya kembali secara berbeda.

Para pembaca yang berakal dan berbahagia, walaupun mayoritas ahli agama menyatakan bahwa taqlid itu adalah perbuatan yang tidak boleh atau dalam bahasa ekstrimnya adalah “haram” dilakukan, tetapi apa salahnya kita menyegarkan kembali pembahasan taqlid, khususnya dalam pengembaraan ilmu dalam tulisan yang sederhana ini.

para pembaca yang budiman, perbuatan taqlid memang ditanggapi oleh banyak ahli agama sebagai perbuatan yang tidak baik apalagi dalam pengembaraan ilmu. Hal itu karena

taqlid dapat mendorong manusia untuk mengikuti segala hal yang sudah ada tanpa kita “pelajari” sebelumnya, tanpa kita ketahui asal usulnya, tanpa kita ketahui sejarahnya atau kita menerima sesuatu dengan apa adanya. Bahkan yang paling berbahaya (kata ahli agama) dapat memberikan dorongan untuk tidak menggunakan “akalnya”, sehingga pada akhirnya akal tersebut menjadi tumpul, karatan dan tewas ditelan masa. Tidak ada kemajuan, yang ada kejumudan. Tidak ada perubahan, yang ada hanya kebodohan. Dan tidak ada ke-kritisan yang ada hanyalah “copy faste”.

Akan tetapi, jika memang efek taqlid berbahaya seperti diatas, tidak ada salahnya kita pertanyakan kembali apakah memang taqlid tidak bisa dilakukan untuk upaya perubahan dengan cara “plagiatisme” kreatif atau melahirkan gagasan baru dengan bantuan gagasan sebelumnya. Atau bagaimana sebenarnya kita memperlakukan “gerakan taqlid” dalam rangka pengembaraan ilmu.

Yupz, btw…. Pernahkah kita merasa bahwa sebenarnya tanpa disengaja kita senantiasa meniru orang lain dalam hidup ini. Apakah kita pernah melihat seorang anak laki-laki berjalan seperti cara berjalan ibunya. Anak perempuan berbicara seperti gaya bicara ayahnya. Atau diantara kita yang melakukan peniruan seperti yang dilakukan oleh orangtua kita. Mungkin gaya bicara, berjalan, bekerja, makan, minum, tidur, duduk, berdiri, sosialisasi atau bahkan petuahnya. Maka, sebenarnya kita dengan sadar sejak “langkah pertama” kita telah melakukan upaya imitasi. So, sebenarnya upaya taqlid seperti contoh diatas adalah sesuatu yang positif yang telah memberikan inspirasi untuk kita dalam rangka ”menggerakan diri kita” seperti yang dilakukan oleh orangtua kita. Oleh karena itu, (taqlid dalam hal ini) bukan sesuatu yang negative untuk kita lakukan.

Lebih jauh lagi, pernahkah kita mencoba mencari tahu kenapa McDonald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Indomart, dan sejenisnya bisa menjamur dimana-mana dan berhasil dengan sukses, khususnya yang dilakukan oleh cabang-cabangnya.

Adapun rahasianya adalah duplikat atau taqlid. Yupz, cara itulah yang sesungguhnya dilakukan oleh waralaba. Mereka melakukan gerakan taqlid dalam rangka menduplikasi keberhasilan orang lain. Bangunan yang sama, kursi yang sama, simbol-simbol yang sama, piring yang sama, kentang goreng yang sama dan adonan yang sama. So, jika cabang yang pertama sukses, mengapa kesuksesan yang sama tidak diulangi di tempat lain.

Lantas bagaimana dalam pengembaraan ilmu (meningkatkan pengetahuan)? Tenang… semuanya ada disini, di dalam tulisan sederhana ini. semoga…..

Yupz, seperti tadi diatas, bahwa gerakan taqlid adalah upaya untuk inspirasi dan setelah menjadi inspirasi, baru kemudian mengembangkannya. Seperti halnya tadi di depan, dalam meningkatkan pengetahuan, ilmu dan intelektual juga sama yaitu memerlakukan peniruan atau taqlidisasi. Akan tetapi taqlid dalam interpretasi yang “sedikit” berbeda yaitu mencari atau menjadikan idola kita sebagai sumber inspirasi. Idola dalam arti orang yang kita kagumi dan wajib berprestasi. Btw… siapa idolamu???

So, kita harus meniru semua perilaku subyek kita. Bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berpikir, bagaimana dia mengatur dirinya, dan pelajari pengalamannya, serta tiru semua aktivitas positifnya. Kenapa mesti seperti itu ?? hal itu karena sejatinya inspirasi akan menanamkan kepercayaan diri, membangunkan keyakinan dan kekuatan di dalam diri dan tanpa kita sadari membantu kita menjadi yang terbaik.

Tetapi memang harus diingat bahwa intelektualitas adalah asset terbesar seseorang, ambisi untuk mencapai intelektualitas tergantung dari kemampuan kita, dimana saja dan dari siapa saja. Oleh karena itu ada satu kalimat yang menarik untuk kita renungi yaitu, Belajar dari orang yang dapat memberikan kontribusi untuk diri kita sama bernilainya dengan emas yang berat. Dengan kata lain, inspirasi adalah langkah awal, inspirasi menjadi bahan bakar dan energy yang dapat kita gunakan untuk meningkatkan kemampuan kita. Finally, mari kita dakwahkan gerak Taqlidisasi….. setuju…??? Kalau tidak saya menantang pembaca untuk “mendebatkannya”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun