Mohon tunggu...
Didin Sahidin
Didin Sahidin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ayo memaknai hidup menjadi lebih hidup.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Di Kala Usia Senja, Waktu Habis Untuk Kembali

27 Maret 2011   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah interview di Primagama Quantumkids Timoho, motorku kubawa menuju JEC (Jogja Expo Center). Disana satu acara telah aku tunggu selama sekitar 1 bulan lamanya. “Kompasiana Nangkring Jogja” itulah acaranya. Namun ditengah perjalanan, entah mengapa setelah aku melihat sebuah masjid yang berada disebelah kiriku, aku merasa terpanggil untuk beristirahat sebentar disana. Dengan mengikuti suara hati itu, kubelokkan motorku menuju masjid tersebut. Masjid Al-Munawwarah namanya.

1 menit menunggu, melihat suasana disekeliling terlihat lengah, kurebahkan badanku ini diatas teras masjid. Kurasakan dingin adem mengerubuti punggungku. Ditambah semilir angin yang meniup-niup kulitku. Menyibakkan rambutku. Sehingga suasana disekilingku terasa nyaman dan tenang.

Tak kurang 7 menit beerlalu kuhabiskan sembari tiduran. Beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Sambil melihat sekiling, Nampak sesosok nenek-nenek terlihat berjalan mendatangiku. Menghampiriku dan kemudian berbicara dengan bahasa Jawa halus. Namun remang-remang aku mengerti maksdunya. Intinya ia mengatakan “nak beli makanan ini ya”.

Sekilas melihat nenek tersebut, terlintas dalam pikiranku akan hidup berat yang harus ia jalani dimasa tuanya. Betapa sedihnya nasib nenek tersebut. Menjalani masa tuanya dengan berjualan makanan keliling. Membawa bakul dipunggung dan membawa bakul sembari dirangkul.

Melihat kondisi nenek tersebut, aku pun mengiayakannya untuk membeli sedikit makanan yang dijualnya. Dua makanan manis aku beli seharga Rp. 1000. Cukup sedikit memang tapi hanya itu yang bisa aku beli mengingat kondisi keuanganku semakin menipis.

Tak berapa lama setelah aku membeli, sepasang muda-mudi entah suami isteri atau “pasangan sejoli” juga membeli makanan nenek tersebut.

Sembari melihat nenek tersebut melayani pembeli, aku sempat berpikir “masih ada nenek-nenek yang mesti berjuang untuk tetap hidup dizaman kiwari. Padahal seharusnya umur tua diisi dengan memetik hasil perjuangannya dikala masih muda. Atau justru hal itu terjadi karena anak-anaknya sudah tak peduli lagi kepada ibunya yang tak lain adalah nenek tersebut”. Ironis kalau memang kenyataannya seperti itu.

Banyak pikiran yang bermunculan melintasi isi pikiranku waktu itu.

“tidak ada yang namanya bekerja itu mudah”

“tidak ada yang namanya mencari uang itu mudah”

“tidak ada yang namanya menjalani hidup ini terasa mudah”

Oleh karena itu sangat disayangkan, jika kita selagi muda menggunakan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna. Bermalas-malasan. Hanya berpikir masa kini, tak berpikir ke depan. Tidak menghargai waktu. tidak menghargai usia. Apalagi tidak menghargai “pemberian” illahi dan orang tua. Namun sesuai apa yang dikatakan oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya yang berjudul “Ranah Tiga Warna” bahwa

“berlelah-lelahlah karena manisnya hidup akan terasa jika kita telah lelah berjuang”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun