Mohon tunggu...
Didin Sahidin
Didin Sahidin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ayo memaknai hidup menjadi lebih hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY : (S)atu (B)ukti (Y)aitu : Pemimpin Minus Negarawan...

1 April 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:55 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Enam puluh tujuh tahun sudah Indonesia merdeka. Tak terhitung, para pahlawan berguguran demi kita sebagai anak bangsa. Entah ia adalah seorang guru, petani, ibu rumah tangga, tentara, atau rakyat jelata, namun pengorbanannya tak bisa kita lupakan demi tegaknya negara tercinta Indonesia. Mereka tak berpikir akan seperti apa kelak dimasa depan. Mereka tak memikirkan kedudukan atau jabatan, hanya satu harapan yaitu tegaknya Indonesia menjadi sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari ketiak bangsa asing. Mereka adalah rakyat biasa namun berjiwa negarawan. Berjuang bukan demi pribadi atau golongan melainkan demi negara.

Hari ini, kita melihat ironi ketika Indonesia merdeka. Orang nomor satu di Indonesia justru tak memberi teladan yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang negarawan justru tak mencerminkan kenegarawanannya. Masih segar dalam ingatan kita ketika bapak presiden kita memimpin rapat terbatas bersama para menteri mengingatkan agar para menterinya untuk fokus terhadap tugasnya dan jangan merangkap jabatan seperti fungsionaris partai. Namun, himbauan tinggal himbauan. Ibarat menjilat ludah sendiri, SBY justru merangkap jabatan, sebagai seorang presiden, ketua umum partai Demokrat, ketua majelis tinggi dan ketua dewan pimpinan partai Demokrat.

Bukankah pemimpin adalah seorang yang patut diteladani ? apakah seperti ini pemimpin yang pantas memimpin kita ? Guna tidak menimbulkan polemik, buru-buru para pengikut golongannya melontarkan pernyataan bahwa SBY dibantu oleh ketua pelaksana harian. Artinya, kegiatan kepartaian tidak dijalan langsung oleh SBY, melainkan dijalankan oleh ketua pelaksana harian. Dengan kata lain SBY hanya nahkoda simbolik saja. Intinya yang diperlukan adalah selain menyelamatkan kemungkinan karamnya bahtera Demokrat, tetapi juga kepentingan untuk mengamankan kursi di pemilu 2014 karena tanda tangannya amat sangat dibutuhkan untuk dibubuhkan kepada para calegnya sebagai syarat untuk mengikuti pertarungan pemilu nanti.

Dari sana kita bisa melihat betapa tidak negarawannya seorang presiden kita. Kepentingan kepartaian menjadi minat utama untuk diurusi dibandingkan urusan negara. Supaya tidak menimbulkan polemik lagi, para pengikutnya kemudian bersuara bahwa presiden tetap menjalan perannya sebagai presiden karena urusan partai hanya dijalankan ketika weekend. Lucunya negeri ini. Presiden kita ternyata seorang partimer job. Logika yang primitive saja susah untuk diterima bahwa urusan partai tidak akan mengganggu urusan negara. Hai bos, mana ada manusia bisa fokus untuk dua pekerjaan sekaligus. Apalagi jabatan keduanya adalah jabatan pucuk suatu organisasi besar (negara).

Mungkin masih bisa kita tolerir jika keadaan negara kita aman, sentosa, adil dan jaya. Fakta dilapangan masih jauh dari itu semua. Lihat saja misalnya dalam masalah keamanan. Mulai dari masalah Mapolres OKU, penyerangan LP Cebongan, penganiayaan Kapolsek Dolok sampai masalah lain yang tidak menjadi headline berita. Bukankah itu bukti bahwa persoalan masih menggelayut dibumi pertiwi kita. Bahkan, jika tidak segera diselesaikan, peristiwa atau kasus-kasus tersebut bisa menjadi pemantik perpecahan diantara anak bangsa bahkan negara kita. Seharusnya persitiwa tersebut mesti menjadi perhatian serius bukan justru partainya yang lebih diurus. Amat naïf republic kita tercinta didirikan dengan penuh pengorbanan seluruh anak bangsa tanpa mengenal golongan dan aliran dibiarkan terkoyak hanya karena penguasa justru lebih peduli akan kepentingan partainya. Bukanlah lebih negarawan sang penguasa nomor satu negeri ini justru menjadi perekat dan tampil sebagai ketua umum republic ini agar tidak terjadi perpecahan ditubuh negara. Bukan justru sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun