Mohon tunggu...
Didin Sahidin
Didin Sahidin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ayo memaknai hidup menjadi lebih hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kala Marhaen Tak Menikmati Panen

2 Juli 2013   23:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:06 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1372781100332566602

Suatu pagi, seorang pria mengunjungi petani yang sedang mencangkul

"Milik siapa tanah yang sedang bapak cangkul”, ujar pria itu. “Tanah ini punya saya tuan. Tanah ini saya dapatkan dari warisan turun temurun”, jawab sang petani. Pria tersebut mengangguk sambil merenung. “Apakah hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan bapak ”, tanya pria itu kembali. “Sekedar cukup untuk makan keluarga”, jawab petani sambil menyeka keringat.

Percakapan di atas adalah percakapan antara Soekarno dengan petani yang bernama Marhaen. Seorang petani muda, berpakaian lusuh yang sedang mencangkul tanah seorang diri. Nama Marhaen kemudian oleh Soekarno dijadikan simbol dari rakyat yang bernasib malang. Marhaenisme, demikian Soekarno menyebutnya. Memiliki tanah tapi mungil. Rumah juga kecil. Hidup seadanya, hanya sekedar untuk memperpanjang usia.

Hari ini, ketika Indonesia sudah lepas dari sel penjajahan, kaum marhaen masih nampak secara jamak. Mereka belum merasakan manisnya kemerdekaan. Banting tulang mencari rejeki yang mini masih menjadi rutinitas sehari-hari. Adut salah satunya, pria asli dari kabupaten Ciamis Jawa Barat. Usianya sudah memasuki kepala tujuh. Hidup seorang diri karena sang pendamping hidup telah dipanggil Tuhan lebih dulu. Memiliki anak lima, dua laki-laki dan selebihnya perempuan. Masing-masing sudah berkeluarga dan berprofesi sebagai kuli bangunan serta membuka warung kecil-kecilan. Lima puluh tahun lebih, Adut mengais rejeki dari profesi sebagai petani. Mengolah sawah untuk berbagai kebutuhan keluarga sampai anak-anaknya menikah.

Akan tetapi, seiring waktu berlalu kini kehidupannya terpelanting jatuh. Pada awalnya memiliki dan mengolah sawah secara mandiri, tapi kini justru menjadi buruh tani. Makan sekedarnya yang penting perut terisi. Rumahnya tak terawat, genting bocor dan tiang-tiang penyangga rumahnya sudah lapuk dimakan usia. Tak direnovasi karena tak ada biaya.

Zero Sum Game

Menjadi pertanyaan besar kemudian, kenapa kemiskinan masih membelenggu kaum Marhaen seperti Adut ? Kenapa lingkaran kemiskinan masih tetap mereka jalani ? Jawaban gamblang dikemukakan oleh Lukman M Baga, Peneliti sekaligus Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syari’ah, IPB. “Para petani hari ini masih berusaha sendiri-sendiri. Meraih peluang sendiri. Untung juga sendiri.” ujarnya saat menjadi pembicara Indonesia Bangun Desa, Selasa 14 Mei 2013. Menurut Lukman, para petani di Indonesia masih terperangkap dalam pola Zero Sum Game. Masing-masing petani tak saling bekerjasama, terkotak-kotak, bahkan kadang saling sikut. Akibatnya, usaha tak berkembang sehingga menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dihadapan pasar. Pasar menguasai petani dan petani tak bisa apa-apa kecuali mengikuti aturan pasar. Dan kalaupun berusaha, petani hanya sekedar bermain di usaha kecil yang remeh temeh dan di pasar yang terbatas pula.

#to be continued

Kota Hujan, 29 Juni 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun