Sidang Gugatan 11 Triliun, Siapa Berbohong Terkait Keberadaan Jaminan Penggugat, BI atau Kemenkeu ?
Sidang gugatan 11 triliun terhadap Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) yang diajukan Andri Tedjadharma kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (18/11/2024). Sidang kali ini menghadirkan saksi ahli keperdataan dan kenotariatan, Dr Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
Made mengatakan aneh jika jaminan yang disertakan dalam perikatan perjanjian hilang atau tidak diketahui keberadaannya saat perjadi pengalihan piutang (cessie) kepada pihak ketiga.
"Dalam suatu peralihan cessie semua asesoris perikatan wajib diserahkah termasuk jaminan. Ini aneh kalau jaminannya kemudian hilang atau tidak diketahui keberadaannya. Dalam hal ini kedua kreditur harus bertanggung jawab karena ada hak keperdataan seseorang yang dilanggar", jelas Made.
Sementara menurut kuasa hukum penggugat, I Made Parwata SH, dalil-dalil yang disampaikan dalam gugatan memang sudah sesuai dengan fakta-fakta yang sebenarnya.
"Kami bersyukur bahwa apa yang disampaikan saksi alhi dalam persidangan itu adalah menguatkan kebenaran dari dalil-dalil yang sudah kami tuangkan dalam gugatan dan itu tidak terbantahkan baik secara logika maupun yuridis karena memang begitulah faktanya", ujar Parwata.
Menurutnya adanya piutang yang ditagih oleh negara adalah berdasarkan hasil dari perbuatan atau peristiwa perdata sehingga harus tunduk dengan hukum keperdataan bukan bersandar pada hukum publik.
"Tindakan yang telah dilakukan tergugat dalam hal ini sebagai penguasa yang mengedepankan hukum publik yang bersandar pada Peraturan Pemerintah (PP) yang mana nyata-nyata PP tersebut herarkis diatasnya atau undang-undangnya sudah mengatur secara jelas dan tegas tetang keperdataan seharusnya mereka tunduk dengan hukum keperdataan tersebut", tegas Parwata.
Perikatan yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini Bank Indonesia dengan PT Bank Centris Internasional (BCI) adalah perikatan perdata.
 "Perikatan bagi kedua belah pihak menjadi undang undang itu adalah prinsip dasarnya. Karena itulah mereka tidak boleh melakukan tindakan tindakan upaya paksa berdasarkan cessie kemudian menerapkan pp 28 yang merupakan hukum publik", lanjutnya