Mohon tunggu...
Didik Teguh R
Didik Teguh R Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Preman

1 Juli 2017   23:13 Diperbarui: 2 Juli 2017   01:38 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai keliling silahturahmi Lebaran,Saya parkir motor.  Saya mau ambil uang di ATM. Jumlahnya tak seberapa. Bahkan, angkanominal rekening saya gampang menerbitkan rasa haru. Apalagi, sudah terkuras habis untuk Lebaran.  Saat  kembali ke tempat parkiran, lalu naik motor. Tiba-tiba ada  anak muda sangar yang  langsung narik pegangan belakang motor. 

Sebenarnya, saya ingin beri ongkosparkir. Tapi, di kantong emang gak ada duit receh. Lalu ku ulurkan bungkus rokok Djarum, diambilnya tiga batang dengan kasar, sembari ngedumel, nendang motor saya. Heem, padahal  di tempat itu terpampang jelas : Parkir Gratis. Saya menelan ludah. Hela napas, nahan emosi sembari jalankan motor. 

Berlalu sambil mendendangkan lagulawas,  'Preman” nya Ikang Fawzi yang pernah hit belasan tahun silam.   Sini preman, sana preman  pak cik pak preman preman. Bukan cuma di parkiran, pasar atau terminal. Preman preman dan pengemis memang berkeliaran dimana saja. 

Akhirnya saya paham, regime sekarang, bukan sekadar alat Negara  biasa. Ia mungkin preman, pencoleng atau pengemis yang menyaru sebagai aparat berseragam. Premanisme, pencoleng dan pengemis memang berkeliaran  dimana-mana.Persis seperti saat membeli gas LPG di pangkalan, BBM atau melunasi tagihan PDAM dan Listrik. Saya kok merasa dipalak oleh preman preman dalam sebuah systemyang legal terstruktur.

Premanisme tak hanya saya temukan di ruang-ruang terbuka publik. Premanisme juga akrab saya temui dalam kantor swasta atau belantara birokrasi pemerintah. Bahkan, kantor yang berbau bau agama. Misalnya,  sekian tahun silam,  saat nama adik saya tertempel resmi  di papan kantor Kementrian di daerah. Hanya gara gara tak mau setor upeti pada kepala kantor, nama adik saya yang semula nangkring di rangking 2 langsung lenyap. Dalam hitungan jam, langsung digeser  orang yang sudi “nyumbang” uang jutaan rupiah pada preman merangkap pengemis  yang menyaru Kepala Kantor dan sekretariskantor. Saat ku tanya, mulut kepala kantor dan sekretarisnya yang berpeci hitam,  yang fasih berbusa busa mencuplik ayat suci itu begitu lihai mengelak. Lebih lincah dari tikus got ..!. 

Alhasil, nasib adik perempuan saya yang berotak cemerlang dan lurus menempuh segala prosedur, aturan tes dan seleksi pun, Terpuruk !. Punah segala doa puasa sunah dan belajar diktat diktat tebal sepekan sebelumnya, hanya gara gara kuasa preman berkopiah di kantorkementrian itu. Huuhh…

Fenomena yang pernah saya alami itu,tentu bukan rahasia. Banyak pegawai kantor kementrian yang tertekan dengan watak pencoleng pejabat kementrian. Banyak yang tahu, tapi merasa lebih baik bungkam dan membiasakan diri. Jika melawan,   bisa bisa lebih runyam.

Apakah kita bisa sepakat, bahwa kita benci premanisme ??. Baik premanisme kelompok atau premanisme regime. Dari premanisme manusia kasar bertato sampai premanisme santun berseragam. Dan kita tahu, nusantara  adalah hamparan surga bagi seluruh rakyat. Sayang, belantara birokrasi menyulapnya jadi ajang  pungli  para pencoleng yang serakah. 

Jika watak  premanisme terus hidup sebagai tradisi, Indonesia benar benar harus masuk ruang unit gawat darurat. Sejatinya saya berharap negara hadir mengatasi ini. Negara seharusnya jadi polisi yang mengawasi segala prilaku modus premanisme. Bukan sebaliknya, malah aparatnya serampangan menaikkan tarif dasar listrik, Gas LPG dan PDAM yang kian mencekik.Saya cuma bisa terpekur, membenarkan slogan "Teruslah bekerja, Jangan berharap pada negara."

Rasanya, untuk merawat Indonesia,kita tak usah bermuluk muluk dengan deretan slogan publikasi pencitraan. Regimeini punya masalah "premanisme" yang akut. Yang sebenarnya, adalah metamorphosis lain dari kanker  kronis watak pencoleng alias koruptor !. Dankita setiap saat bayar pajak untuk “sodakoh take home pay ” mereka ! 

Jelaslah sudah, yang harusnyabelajar keras jadi satria, jadi nasionalis, pancasilais,  menjaga NKRI dan kebhinekaan  itu justru merekalah. Para pemimpin, politisiyang berdesakan di kursi birokrasi. Yang diongkosi APBN dan APBD.  Mulai dari Presiden, menteri cabinet, para dirjen sampai manusia manusia bakaran sampah di labirin birokrasi daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun