Usai keliling silahturahmi Lebaran,Saya parkir motor. Saya mau ambil uang di ATM. Jumlahnya tak seberapa. Bahkan, angkanominal rekening saya gampang menerbitkan rasa haru. Apalagi, sudah terkuras habis untuk Lebaran. Saat kembali ke tempat parkiran, lalu naik motor. Tiba-tiba ada anak muda sangar yang langsung narik pegangan belakang motor.
Sebenarnya, saya ingin beri ongkosparkir. Tapi, di kantong emang gak ada duit receh. Lalu ku ulurkan bungkus rokok Djarum, diambilnya tiga batang dengan kasar, sembari ngedumel, nendang motor saya. Heem, padahal di tempat itu terpampang jelas : Parkir Gratis. Saya menelan ludah. Hela napas, nahan emosi sembari jalankan motor.
Berlalu sambil mendendangkan lagulawas, 'Preman” nya Ikang Fawzi yang pernah hit belasan tahun silam. Sini preman, sana preman pak cik pak preman preman. Bukan cuma di parkiran, pasar atau terminal. Preman preman dan pengemis memang berkeliaran dimana saja.
Akhirnya saya paham, regime sekarang, bukan sekadar alat Negara biasa. Ia mungkin preman, pencoleng atau pengemis yang menyaru sebagai aparat berseragam. Premanisme, pencoleng dan pengemis memang berkeliaran dimana-mana.Persis seperti saat membeli gas LPG di pangkalan, BBM atau melunasi tagihan PDAM dan Listrik. Saya kok merasa dipalak oleh preman preman dalam sebuah systemyang legal terstruktur.
Premanisme tak hanya saya temukan di ruang-ruang terbuka publik. Premanisme juga akrab saya temui dalam kantor swasta atau belantara birokrasi pemerintah. Bahkan, kantor yang berbau bau agama. Misalnya, sekian tahun silam, saat nama adik saya tertempel resmi di papan kantor Kementrian di daerah. Hanya gara gara tak mau setor upeti pada kepala kantor, nama adik saya yang semula nangkring di rangking 2 langsung lenyap. Dalam hitungan jam, langsung digeser orang yang sudi “nyumbang” uang jutaan rupiah pada preman merangkap pengemis yang menyaru Kepala Kantor dan sekretariskantor. Saat ku tanya, mulut kepala kantor dan sekretarisnya yang berpeci hitam, yang fasih berbusa busa mencuplik ayat suci itu begitu lihai mengelak. Lebih lincah dari tikus got ..!.
Alhasil, nasib adik perempuan saya yang berotak cemerlang dan lurus menempuh segala prosedur, aturan tes dan seleksi pun, Terpuruk !. Punah segala doa puasa sunah dan belajar diktat diktat tebal sepekan sebelumnya, hanya gara gara kuasa preman berkopiah di kantorkementrian itu. Huuhh…
Fenomena yang pernah saya alami itu,tentu bukan rahasia. Banyak pegawai kantor kementrian yang tertekan dengan watak pencoleng pejabat kementrian. Banyak yang tahu, tapi merasa lebih baik bungkam dan membiasakan diri. Jika melawan, bisa bisa lebih runyam.
Apakah kita bisa sepakat, bahwa kita benci premanisme ??. Baik premanisme kelompok atau premanisme regime. Dari premanisme manusia kasar bertato sampai premanisme santun berseragam. Dan kita tahu, nusantara adalah hamparan surga bagi seluruh rakyat. Sayang, belantara birokrasi menyulapnya jadi ajang pungli para pencoleng yang serakah.
Jika watak premanisme terus hidup sebagai tradisi, Indonesia benar benar harus masuk ruang unit gawat darurat. Sejatinya saya berharap negara hadir mengatasi ini. Negara seharusnya jadi polisi yang mengawasi segala prilaku modus premanisme. Bukan sebaliknya, malah aparatnya serampangan menaikkan tarif dasar listrik, Gas LPG dan PDAM yang kian mencekik.Saya cuma bisa terpekur, membenarkan slogan "Teruslah bekerja, Jangan berharap pada negara."
Rasanya, untuk merawat Indonesia,kita tak usah bermuluk muluk dengan deretan slogan publikasi pencitraan. Regimeini punya masalah "premanisme" yang akut. Yang sebenarnya, adalah metamorphosis lain dari kanker kronis watak pencoleng alias koruptor !. Dankita setiap saat bayar pajak untuk “sodakoh take home pay ” mereka !
Jelaslah sudah, yang harusnyabelajar keras jadi satria, jadi nasionalis, pancasilais, menjaga NKRI dan kebhinekaan itu justru merekalah. Para pemimpin, politisiyang berdesakan di kursi birokrasi. Yang diongkosi APBN dan APBD. Mulai dari Presiden, menteri cabinet, para dirjen sampai manusia manusia bakaran sampah di labirin birokrasi daerah.