Mohon tunggu...
Didik Suyuthi
Didik Suyuthi Mohon Tunggu... -

didik suyuthi adalah seorang jurnalis lepas. Mengawali kariernya selama 7 tahun dengan bekerja di grup Jawa Pos, kini dia lebih sering menulis opini, dan membuat karya tulis pendek lainnya sebagai citizen journalist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

NU dan Politik Tanpa 'Politik'

15 Februari 2013   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:17 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh Didik Suyuthi

Sikap netral NU dalam pilgub Jatim sebagaimana ditegaskan melalui pleno PWNU Jatim 16 Januari lalu, adalah titik awal dimana mistifikasi politik NU dimulai. Netralitas dalam pilgub hanyalah upaya formal kelembagaan untuk memenuhi garis khittah 1926. Saya memaknai, kalimat lain dari sikap kelembagaan PWNU ini secara operasional sebenarnya juga mempersilakan para pengurusnya, baik di syuriyah, tanfidziyah, dan mustasyar, untuk bermain secara individu di pusaran pilgub Jatim. Sebab dalam konteks ini peraturan NU tidak memiliki garis terang yang bisa mengikat individu-individu pengurus untuk tidak berpolitik praktis.

Masalahnya, mayoritas dari pengurus Syuriyah, tanfidziyah, dan mustasyar PWNU Jatim itu adalah para kyai berpengaruh. Sebut saja yang berada di jajaran syuriah seperti KH Miftachul Akhyar sebagai Rais, KH Agoes Ali Masyhuri Tulangan (Wakil Rais), KH Syafruddin (Katib), KH Abdul Matin, KH Nuruddin, KH Hasyim Abbas, KH Abdurrahman Nafis, KH Farihin, dan masih banyak lagi. Mereka ini masing-masing adalah pimpinan pondok pesantren dan tokoh ulama yang sudah membasis di Jawa Timur. Dari unsur Tanfidziah ada KH Mutawakkil Alallah sebagai Ketua, merupakan pengasuh Pondok Pesantren besar di Genggong, Probolinggo. Lalu KH Jazuli Nur yang merupakan kyai muda berpengaruh di Bangkalan. Dari unsur Mustasyar ada KHA Sadid Jauhari yang merupakan penerus pimpinan Pondok Pesantren Assunniyyah, Kencong, Jember. Ada KH Abd Ghofur Sunan Drajad Lamongan, dan lain-lain.

Belajar dari pilgub Jatim 2008, atas nama kekuatan patronase pesantren, banyak bahkan mayoritas kyai-kyai struktural PWNU Jatim secara terang-terangan memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu. Sampai-sampai muncul istilah Kyai Kaji untuk menyebut penyokong pasangan Khofifah-Mudjiono dan Kyai Karsa untuk menyebut pasangan Karwo-Gus Ipul. Ketua Tanfidziyahnya sendiri, KH Ali Maschan Moesa, saat itu bahkan nekad maju sebagai cawagub berpasangan dengan Soenaryo. Ada beberapa kelemahan NU secara jam’iyah yang menguatkan perilaku ‘perselingkuhan’ kyai seperti ini. Pertama, AD/ART NU memang tidak mengatur secara tegas larangan bagi pengurus untuk dukung-mendukung atau menjadi cagub-cawagub. Tata tertib di NU hanya sebatas mengatur bagi pengurus yang mencalonkan diri menjadi cagub-cawagub untuk non-aktif. Secara operasional kelembagaan, sistem politik NU juga tidak mengatur secara tegas mekanisme dan operasionalisasi politik yang sesuai dengan ruh perjuangan NU.

Mistifikasi Politik NU

Kalau yang di struktural saja memiliki kebebasan terlibat dalam “politik praktis”, apalagi yang non-struktural. Mereka yang di basis kultural tentu lebih leluasa dalam menyalurkan “syahwat politiknya”. Bagi kyai-kyai yang berpengaruh luas, mereka justru tidak perlu repot-repot menyalurkan “syahwat politik” itu. Sebab mereka pasti akan begitu laris diperebutkan oleh pasangan cagub-cawagub yang berkontestasi. Disinilah puncak mistifikasi NU itu terjadi. Tanpa disadari, upaya-upaya apapun dari para petualang politik untuk “membeli” fatwa politik sang kyai pasti dilakukan, karena memang “fatwa” ini yang dibutuhkan. Logikanya, umat yang awam pasti ta’dzim pada perintah sang kyai. Masyarakat Jatim boleh jadi sudah semakin rasional seiring berbagai pengalaman pilkada dan pemilu. Akan tetapi pilihan politik tidak selalu berangkat dari pertimbangan rasio dan akal. Politics is the art of possibility. Melihat peta pemilih Jawa Timur yang mayoritas kaum santri, agaknya seperti diungkapkan Geertz (1960) kyai dan tokoh pesantren sebagai aktor perantara budaya (cultural-broker) masih memiliki peran penting yang bisa mempengaruhi pilihan politik umat (publik).

Situasi seperti ini sejalan dengan thesis Geertz (1977) yang menyebut “A world wholly demystified is a world depoliticized”. Menurut dia, tak ada dunia politik yang tak mengalami mistifikasi, baik itu di negara maju yang dikenal demokratis maupun di negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia yang peradapan masyarakatnya lekat dengan sejarah mistisisme. Dalam hal ini, harus kita dudukkan secara bijak bahwa kecenderungan mistifikasi politik adalah hal yang lzaim sebagai upaya membentuk realitas sosial untuk meraih dan menggalang dukungan publik.

Politik Tanpa “Politik”

Secara kelembagaan, sikap PWNU Jatim sudah benar. Hanya, sikap netral ini pada pelaksanaannya bisa menjadi tidak benar apabila tidak diikuti oleh sikap moral para pengurusnya sebagaimana ditegaskan dalam semangat khittah 1926. Yang harus diingat, sejarah peneguhan khittah 1926 bukan sekedar sejarah perceraian NU dari politik praktis. Sejarah yang dirumuskan melalui Munas Alim Ulama 1983 dan dikukuhkan lagi dalam Muktamar NU Situbondo 1984 ini adalah sejarah penting dimana NU mulai menggelorakan “politik tanpa politik” atau unpolitical politics.

Apa itu Politik Tanpa “Politik”? NU sebagai organisasi kemasyarakatan dengan jumlah massa jama’ah terbesar di Indonesia tidak bisa dan tidak mungkin lepas dari kepungan politik praktis. Karena itu harus didudukkan secara clear juga bahwa perceraian NU dari politik praktis dalam amanat khittah 1926 bukan lantas mengunci diri dan larut dalam pusaran politik praktis itu. Maksud dari Politik Tanpa “Politik” disini adalah bahwa NU kembali pada peran dan fungsi politik tertingginya sebagai pelindung umat, sebagai jam’iyah yang menghadirkan cara pandang dan solusi yang selalu segar di setiap fase politik apapun yang berkembang. Sebuah peran dan fungsi politik yang dibungkus dalam dua model politik NU –Kerakyatan dan Kenegaraan-.

Dalam konteks pilgub Jatim 2013 yang akan berlangsung sebentar lagi, peran dan fungsi inilah yang semestinya dilakukan oleh para kyai NU. Terutama mereka yang masih duduk di kepengurusan struktural. Mereka yang berada di basis kultural boleh “bermain” dalam laga pilgub Jatim. Dengan catatan, kekuatan patron kyai atas santri (umat) harus benar-benar didaya-gunakan untuk sebesar-besar kebaikan umat dalam pengertian luas. Political bargaining bukan semata untuk kesejahteraan kerajaan pesantren masing-masing. Dengan kata lain, Para kyai kultural NU otonom dalam memimpin jama’ah, tetapi tetap dalam koridor ketentuan dan tujuan besar jam’iyah.

Jika ini tidak dilakukan dalam pilgub Jatim mendatang, politik NU akan selamanya menjadi sistem politik tradisional yang meminjam istilah romo Subangun, selalu menjadi cacah (kelompok jelata) yang selalu kalah dalam pertarungan politik kontemporer. Bagaimanapun NU Jatim adalah representasi dari NU secara keseluruhan (supreme body of NU). Jangan sampai yang menjadi kritik Ahmad Tohari (2008) terbukti. Meski sudah puluhan tahun hidup sebagai organisasi, dalam analisa dia, NU belum juga mampu membangun diri sebagai sebuah sistem (jam’iyah), tetapi tetap saja bertahan sebagai jama’ah. (*)

Anak muda NU, mantan Wartawan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun