Mohon tunggu...
Didik Suyuthi
Didik Suyuthi Mohon Tunggu... -

didik suyuthi adalah seorang jurnalis lepas. Mengawali kariernya selama 7 tahun dengan bekerja di grup Jawa Pos, kini dia lebih sering menulis opini, dan membuat karya tulis pendek lainnya sebagai citizen journalist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi Tanpa Syarat dan Penguatan Sistem Presidensial

22 Mei 2014   13:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pertarungan Pilpres 2014 sarat dengan berbagai simbol politik baru. Mengangkat isu penguatan sistem presidensial, pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang sejak awal mengaskan konsep kerjasama tanpa syarat sebagai coercive rule ingin memastikan bahwa sistem presidensial berjalan. Koalisi ramping dengan hanya 39 % kekuatan parlemen (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura) kemudian menjadi pilihannya.
Dengan bahasa sedikit berbeda, pasangan Prabowo Subianto  Hatta Rajasa mencoba menawarkan model kepemimpinan yang tegas sebagai opsi baru memperkuat sistem presidensial. Bedanya, koalisi lebih tambun dengan merangkul semua kekuatan lebih ditekankan. Dengan model akomodasi politik seperti ini di atas kertas pasangan Prabowo Subianto  Hatta Rajasa mengantongi 47% kekuatan parlemen meliputi Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan Golkar.
Dari bahasa-bahasa simbol tersebut dapat ditafsirkan bahwa dua poros capres-cawapres ini sebenarnya menghendaki suatu sistem pengelolaan pemerintahan yang sama. Hanya caranya saja yang berbeda. Keduanya sama-sama ingin memastikan pemerintahan presidensial yang terbentuk nanti benar-benar kuat, tidak tersandera oleh tarik-menarik kepentingan partai pendukung. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa dan bagaimana sebenarnya sistem presidensial yang dianut di negeri ini? Konsep mana yang bakal lebih menjamin kepemimpinan nasional efektif dalam kerangka sistem presidensial?
Kepemimpinan efektif dalam konsep presidensial murni secara sederhana dapat didefinisikan, bahwa seorang presiden senantiasa berada dalam suasana konsensus, bebas mengorganisasi kabinet, tanpa ada tekanan, atau kontrol, ditengah-tengah partai pengusungnya. Seorang presiden dapat menjalankan kepemimpinan eksekutif secara efektif setidaknya membutuhkan dua syarat penting. Pertama, presiden tidak berada dibawah bayang-bayang parlemen. Untuk memastikan hal ini, the rulling party membutuhkan minimal 50 plus 1 dukungan parlemen. Sebagai catatan, dukungan tidak mesti selalu bermakna kekuatan yang direpresentasi lewat jumlah kursi koalisi di parlemen.
Syarat kedua, harus dipastikan bahwa para menteri di kabinet fokus bekerja dan bertanggungjawab hanya kepada presiden. Belajar dari model koalisi pemerintahan di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, ada baiknya seorang presiden mempertegas ketentuan mengenai larangan dualisme jabatan baik itu di parpol maupun di level organisasi sederajat yang lain.
Mengacu pada dua syarat ini, poros Joko Widodo  Jusuf Kalla di atas kertas belum aman dari bayang-bayang intervensi parlemen. Namun relatif memiliki keunggulan dari sisi pengelolaan dan optimalisasi kabinet. Sebagai pengamat saya lebih mengunggulkan pasangan ini dengan dua pertimbangan. Pertama, konsep kerjasama koalisi tanpa syarat yang dibangun dari awal memungkinkan bagi duet Joko Widodo  Jusuf Kalla untuk lebih optimal dalam menyusun kabinet secara profesional yang mengarah pada zaken cabinet. Kedua, Gaya berikut kapasitas kepemimpinan tidak berjarak yang sejauh ini ditampilkan Joko Widodo dengan kekuatan solidarity maker-nya juga menjadi modal penting suksesnya memimpin kabinet.
Sebaliknya, poros Prabowo Subianto  Hatta Rajasa di atas kertas lebih unggul karena memiliki dukungan 47% kekuatan parlemen. Secara formal posisi ini lebih menjamin bagi pemerintahan yang dibentuk dari potensi 'gangguan' parlemen. Dengan catatan, komunikasi yang dibangun di antara partai koalisi nantinya lebih sehat, dan tidak mengulang model 'setgab' yang terbukti kurang produktif pada pemerintahan kemarin.
Sedikit kekhawatiran justru muncul pada syarat kedua. Sebagai pemerhati, saya belum bisa meyakini sepenuhnya bahwa gaya kepemimpinan Prabowo Subianto bakal mampu menyusun dan mengendalikan kabinet secara efektif ke depan. Alasan pertama, proses pembentukan kabinet kemungkinan besar akan sulit mengarah pada zaken cabinet. Situasi ini sudah tergambar dari proses negosiasi yang terjadi antara Prabowo dengan partai-partai pengusung menjelang terbentuknya koalisi. Sebagaimana diungkapkan di media, taruhlah, Prabowo sudah menawarkan pos 'Menteri Utama' kepada Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Pikiran saya, posisi ini terkesan serampangan diberikan, lantaran belum pernah ada dalam sejarah konstitusi Indonesia. Jika benar direalisasikan nanti, tentu akan sangat bertolak belakang dengan semangat penguatan sistem presidensial, karena presiden harus membagi peran di pemerintahan secara signifikan bukan hanya dengan wakilnya, tetapi juga dengan menteri utama.
Dalam ketatanegaraan kita, amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar1945 Jelas mengamanatkan semangat penguatan sistem prsidensial. Disana disebutkan bahwa tujuan negara itu adalah tanggung jawab pemerintah sehingga sistem pemerintahan negara merupakan hal yang pokok guna mewujudkan kedaulatan negara. Dalam hal ini semangat penguatan sistem presidensial merupakan suatu gagasan yang dimaksudkan agar presiden sebagai pemimpin eksekutif tidak terlalu dipengaruhi oleh hal-hal terkait politik praktis yang mengganggu. Dalam sistem presidensial, seorang presiden bukan hanya pemimpin Negara dan pemimpin pemerintahan. Realitasnya, seorang presiden kian dituntut untuk tampil sebagai teladan langsung bagi rakyatnya. (*)
@didiksuyuthi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun