Mohon tunggu...
sholikhulhadi SandangSarwono
sholikhulhadi SandangSarwono Mohon Tunggu... Human Resources - Pimpinan LSM _LKPS ARUMPUKATTAYLOR PATI, bergerak di bidang sosial, hukum dan kemasyarakatan , pengawalan kasus ko_insidental
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

capicorn

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Keberadaan Bondo Deso

3 Juli 2019   12:12 Diperbarui: 3 Juli 2019   12:27 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secuplik Sejarah Keberadaan Bondo Deso,  Keberadaan tanah bondo deso tidak terlepas dari eksistensi tanah komunal. Berdasarkan catatan D.H. Burger, pada tahun 1929, pamong desa mulai kepala desa, carik, kamitua, kebayan, kepetengan, hingga modin memperoleh tanah komunal. Pada tahun-tahun berikutnya, sawah komunal yang kurang terurus berubah bentuk menjadi sawah bondo deso, suatu lembaga modern yang setiap tahun disewakan bagi keuntungan kas desa (S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2008: 108).

Di wilayah perdesaan, hak garap atas tanah komunal mengacu pada dua sumber, yaitu pemberian dan pelelangan. Tanah komunal yang diberikan kepada warga biasanya disebut norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya. Sedangkan tanah-tanah yang memperoleh hak garap berdasarkan pelelangan umumnya dinamakan titisara, bondo deso atau kas desa.

Para warga yang berhak menerima hak garap berdasarkan pemberian (redistribusi) adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan berikut: telah berumah tangga, mempunyai rumah dan pekarangan, serta mengikuti kerja wajib desa. Terhadap tanah titisara, bondo deso, dan kas desa, setiap warga mengantongi peluang untuk mendapatkan hak garapnya melalui suatu pelelangan. Pemegang hak garap wajib membayar sejumlah uang yang akan dimanfaatkan bagi keperluan pemeliharaan desa, semisal perbaikan jembatan, pelebaran jalan, renovasi masjid, dan sebagainya (Ilyas Ismail, 2011: 143).

Kepemilikan Aset
Sertifikasi tanah bondo deso di Buko, Wedung, menjadi contoh sekaligus pilot project bagi desa-desa lainnya. Hal ini dikarenakan, di beberapa tempat, masih banyak aset desa yang terbengkalai sehingga rentan memancing konflik dan problematika sosial. Dalam taraf tertentu, situasi demikian kerap merugikan desa.  

Merosotnya kekayaan desa antara lain disebabkan berkurangnya aset. Hak desa digerogoti oleh pihak tak bertanggung jawab yang memaksakan kepentingan pribadi. Tergerusnya nilai-nilai komunal oleh nilai-nilai individual menjadikan sebagian orang mudah mengorbankan kepentingan bersama. Belum lagi para pemodal yang ingin mengembangkan investasi sekaligus melancarkan kapitalisasi. 

Industrialisasi genap membuat tanah-tanah di desa menyempit.,  Lahan-lahan kosong telah dikapling sedemikian rupa oleh kaum urban yang bernafsu mengeruk keuntungan hingga wilayah pedalaman. Akibatnya, kaum petani merutuki penderitaan lantaran sawah mereka beralih fungsi menjadi mall dan pusat perbelanjaan. Mereka terperosok dalam kubangan pengangguran dan terbelit oleh beban utang. Ketiadaan modal membuat mereka seolah terusir dari tanah kelahiran.  Fakta  menandakan munculnya kesadaran pamong untuk melindungi aset desa( Bondo deso). 

Mereka berharap pemasukan yang mengalir ke desa berjalan sebagaimana mestinya agar pembangunan senantiasa terlaksana. Bagaimanapun, kesejahteraan orang desa salah satunya ditopang oleh terpeliharanya tanah bondo deso. Rupiah yang dihasilkan darinya bisa dimanfaatkan untuk mengolah sumber daya alam, mengembangkan potensi lokal, serta memberdayakan masyarakat perdesaan.

Globalisasi menuntut orang-orang desa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Mereka dihadapkan pada realitas dengan ciri dan karakteristik yang berbeda dengan masa silam. Apabila tetap terkungkung dalam alam tradisional, tentu mereka akan dilindas oleh roda waktu. Saat arus modenitas tak mampu dibendung, sertifikasi  tanah bondo deso merupakan keniscayaan. Konvensi dalam masyarakat perdesaan tidak selamanya didasarkan pada kepercayaan, melainkan juga mekanisme "hitam di atas putih". 

Dalam beberapa aspek, pemikiran masyarakat mulai bergeser. Pola pikir lapuk ditinggalkan dan tergantikan oleh pemikiran progresif. Futurisme membimbing mereka dalam bersikap, berperilaku, serta mengambil keputusan. Mereka tidak lagi terikat pada kondisi lampau, tetapi mulai mengarahkan perhatian pada kehidupan masa depan. Tak heran jika akhir-akhir ini terdapat kecenderungan bahwa mereka menghendaki kepastian hukum, terutama menyangkut kepentingan publi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun