Apa Yang Dimaksud Dengan Istilah Brain Rot?
Istilah "brain rot" secara harfiah berarti "pembusukan otak", tetapi dalam konteks percakapan sehari-hari atau di internet, biasanya digunakan secara kiasan untuk menggambarkan kondisi di mana otak seseorang seolah-olah mengalami penurunan fungsi atau kebingungan karena terlalu banyak terpapar konten yang tidak bermutu atau monoton.
Istilah ini sudah ada sejak 2004, tapi baru benar-benar populer pada 2023, terutama di kalangan meme internet. Banyak orang tua menggunakannya untuk menyebut budaya internet Generasi Alfa (anak-anak yang lahir setelah 2010), yang dianggap kecanduan teknologi hingga mengganggu kemampuan mereka berinteraksi dengan dunia nyata.
Nah, yang sedang kita bicarakan ini adalah sesuatu yang diam-diam mempengaruhi banyak dari kita, yaitu brain rot.
Misalnya suatu ketika kita sedang belajar untuk persiapan menghadapi ujian. Buku sudah siap untuk dibaca, secangkir kopi dan laptop sudah ada di meja. Kita sudah berniat belajar dengan serius. Tapi, saat kita hendak membuka buku yang akan dibaca, ponsel tiba-tiba bergetar. Ada pesan dari teman yang mengirimkan video reel Instagram yang terlihat lucu. "Cek sebentar deh", begitu buka Instagram, maka ditontonlah reel tersebut. Lalu scroll ke reel berikutnya, lalu berikutnya lagi. Tanpa sadar, kita terjebak, menonton anjing menari, trik memasak yang mungkin belum pernah dicoba, dan video prank yang bikin tertawa terbahak-bahak. Waktu pun berlalu begitu cepat. Dan ketika kita melihat jam dan, wow, sudah satu jam berlalu. Buku-buku masih tergeletak begitu saja, kopi sudah dingin, dan kita bahkan lupa apa yang seharusnya dipelajari. Itu dia, brain rot sedang bekerja.
Kesulitan Kembali Fokus
Setelah sadar, kita berusaha kembali untuk belajar, tapi kok rasanya sulit sekali fokus? Mungkin dibutuhkan sekitar 30 menit untuk kembali fokus setelah ada gangguan seperti itu? Setiap kali memeriksa ponsel, justru membuat diri kita semakin terhambat. Kejadian ini tidak hanya mempengaruhi waktu belajar kita, tetapi mulai merembet ke aktivitas lainnya. Misalnya, ketika akan istirahat makan siang. Saat makan, tanpa sadar kita kembali scrolling di ponsel, kali ini buka YouTube. Begitu makan selesai, satu jam lagi sudah berlalu. Ketika merencanakan untuk jogging agar badan lebih segar, tapi kini malah merasa malas dan tidak termotivasi. Akhirnya, kita memilih untuk melewatkan jogging dan hanya bersantai di sofa. Kita buka Netflix dan mulai menonton serial baru. Tiga episode berlalu tanpa terasa, dan sekarang sore sudah habis begitu saja.
Keesokan paginya, Siklus Terus Berlanjut. Kita bangun merasa lesu, karena tidur terganggu semalam karena begadang untuk mengejar waktu yang hilang. Susah rasanya tubuh bangun dari tempat tidur, kita merasa tidak siap menghadapi hari. Siklus ini terus berulang. Mungkin ini terdengar berlebihan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa penggunaan internet dan media sosial yang berlebihan bisa menyebabkan overload kognitif yaitu kondisi di mana otak merasa kewalahan dengan terlalu banyak informasi. Otak kita tidak dirancang untuk menangani banjir informasi yang datang terus-menerus dari dunia maya.
Dampak Buruk Media Sosial pada Otak
Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang sering menghabiskan waktu di internet memiliki aktivitas otak yang lebih sedikit di area yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan kontrol impuls. Ini berarti semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya, semakin sulit bagi otak untuk berpikir jernih dan membuat keputusan yang baik. Selain itu, orang yang sering menggunakan media sosial cenderung memiliki kecemasan dan depresi yang lebih tinggi. Setiap like, komentar, dan notifikasi memicu pelepasan dopamin, zat kimia yang sama yang dilepaskan ketika kita makan makanan favorit atau menang dalam permainan.
Rasanya menyenangkan, jadi kita terus kembali kecanduan. Tapi inilah masalahnya: semakin sering kita menggunakan media sosial, semakin besar keinginan untuk merasakan kepuasan yang sama. Ini bisa menyebabkan kecanduan digital di mana otak kita terbiasa dengan suntikan dopamin yang konstan dan akhirnya membutuhkan lebih banyak lagi untuk merasakan efek yang sama.
Bagaimana Solusinya!
Kita bisa melakukan hal sederhana: unfollow akun-akun yang membuat kita merasa kurang baik. Gantilah dengan akun-akun yang memberi inspirasi positif. Selain itu, coba lakukan hal-hal yang benar-benar membuat kita merasa lebih terhubung dengan dunia nyata. Misalnya, ajak teman untuk ngobrol langsung, berjalan-jalan, atau bahkan ikut komunitas yang bisa memberi kita pengalaman baru.
Kegiatan lain yang bisa menghindarkan kita dari brain rot adalah melibatkan diri dalam aktivitas yang memerlukan perhatian penuh dan membawa kebahagiaan, seperti membaca buku, bermain olahraga, atau mencoba hobi baru. Ini jauh lebih bermanfaat daripada hanya sekadar me-like sebuah postingan atau membagikan meme. Luangkan waktu untuk bertemu teman secara langsung, ngobrol santai, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Koneksi nyata jauh lebih berarti daripada dunia maya.
Mungkin di dunia yang serba cepat ini, kita sering terjebak dalam keasyikan dunia digital, tapi dengan langkah-langkah sederhana seperti mengatur waktu, menjaga kualitas interaksi sosial, dan memberi diri kita waktu untuk beristirahat, kita bisa keluar dari siklus brain rot. Dengan begitu, kita bisa menikmati hidup dengan lebih seimbang dan menyenangkan.