Lagi-lagi denger dari media setempat bahwa Malaysia mengklaim kebudayaan Indonesia. Kali ini adalah tarian tor tor dari Mandailing. Pertama-tama saya denger berita ini saya pikir kalo Pemerintah Malaysia memanfaatkan lemahnya Pemerintahan SBY untuk terus terusan nyerobot kebudayaan kita(Emang pemerintah kita lemah? Jawab sendiri ya). :)
Ya begitulah, bukan kali ini aja kita berseteru dengan Malaysia. Mulai dari permasalahan rebutan pulau, nasib TKI yang tidak dimanusiakan, pelanggaran perbatasan, sepak bola, sampai pada klaim kebudayaan.
Melihat rekam jejak perseteruan itu, pasti berita klaim tarian tor tor ini sangat emosional. Bahkan di media twitterpun ramai sampai masuk Trending Topic World Wide dengan hashtag #TortorPunyaIndonesia.
Tetapi ternyata ada berita yang luput dari media yang meliput berita itu, entah disengaja atau tidak. Bahwa tarian tersebut diajukan oleh Persatuan Halak Mandailing Malaysia, perhimpunan warga keturunan Mandailing di Malaysia kepada pemerintah Malaysia untuk mengakui tarian tor tor dan Gordang Sembilan. Tujuannya adalah agar tarian tersebut diakui keberadaannya di Malasia seperti juga kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia.
Jadi pada intinya pendaftaran tari Tot tor dan Gordang Sembilan itu sebagai peninggalan nasional Malaysia, bukanlah klaim kepemilikan ataupun asal budaya yang didaftarkan di UNESCO. Dalam UU Warisan Nasional 2005 Malaysia, pengakuan “national heritage” tidak identik dengan klaim kepemilikan nasional. Dengan dimasukkannya Tor-tor sebagai warisan kebangsaan Malaysia bukan untuk klaim Negara melainkan demi pelestarian agar budaya itu tidak hilang.
Ramli Abdul Karim Hasibuan, Presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia juga menegaskan bahwa warisan budaya bukan berarti klaim pemerintah, “Dalam akta tahun 2005 tersebut dikatakan, kebudayaan yang terdaftar dipelihara atau dipertahankan, tetapi kepemilikannya tetap kepada asal usul negara yaitu Indonesia. Tidak dimiliki oleh pemerintah Malaysia.”
Hal tersebut bagi saya merupakan hal positif dimana kebudayaan kita dihargai di negara orang. Kebudayaan harus kita pandang sebagai suatu yang inklusif sehingga tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan apabila kebudayaan kita ada di negara lain. Ambil contoh saja pizza yang merupakan makanan khas Italia tetapi kita ketahui bahwa penjual global dari makanan ini adalah restoran Amerika Serikat yaitu Pizza Hut. Apakah orang yang makan pizza di pizza hut tidak tahu bahwa pizza adalah makanan khas Italia?
Ambil sisi positif bahwa kita harus mencintai kebudayaan kita sendiri. Jangan ketika sudah tidak kita jamah, kebudayaan itu sudah ada dipangkuan bangsa lain, dan akhirnya kita marah-marah tidak jelas kepada siapa.
Jayalah Negeri Ini. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H