Pandemi yang terus berkepanjangan dan seolah tidak akan pernah berakhir, sedikit banyak telah membuat gesekan-gesekan di masyarakat. Masyarakat yang kemudian terbagi atas dua kubu: yang percaya bahwa korona merupakan sesuatu yang nyata dan begitu mematikan, dan yang menyakini bahwa corona hanyalah sejenis virus flu biasa seperti virus-virus flu lainnya. Ada juga sebenarnya yang menganggap bahwa korona sama sekali tidak ada. Itu hanyalah rekayasa isu semata.
Dari dua pandangan yang berseberangan, memunculkan juga dua sikap yang saling berlawanan. Salah satunya berkenaan dengan penggunaan masker. Bagi mereka yang menganggap korona sebagai sebuah ancaman, masker adalah salah satu APD yang wajib dikenakan. Sementara bagi pihak yang menganggap korona layaknya virus flu lainnya, menggunakan masker bukanlah suatu kewajiban.
Perbedaan sikap terhadap penggunaan masker inilah yang seringkali menimbulkan perdebatan-perdebatan yang pada ujungnya seringkali menimbulkan gesekan-gesekan yang memercikan api perseteruan. Perdebatan seperti perdebatan kaum bumi bulat dan kaum bumi datar. Perdebatan layaknya penganut paham bubur harus diaduk terlebih dahulu dengan bubur tidak boleh diaduk sebelum dimakan. Kenapa demikian?
Keyakinan terhadap korona hampir merupakan keyakinan yang mutlak. Seseorang yang mempercayai bahwa korona begitu mematikan, dapat dipastikan ia akan terus mempercayainya. Demikian pula sebaliknya. Mereka yang meragukan korona, bagaimanapun setiap hari data diumumkan yang menyajikan banyaknya korban yang terus berjatuhan karena korona, tetap saja mereka meragukannya.
Salah satu efek yang terjadi atas perseteruan tersebut adalah pelaksanaan shalat jumat atau yang biasa disebut dengan jumatan. Pemerintah sebagai otoritas yang bertanggungjawab dan berwenang atas keselamatan seluruh masyarakat, kemudian melakukan sejumlah protokol yang mengatur kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terutama yang melibatkan banyak orang, seperti jumatan.
Salah satu protokol yang diterapkan adalah bahwa selama pandemi belum dinyatakan berakhir, seluruh masyarakat yang akan melaksanakan jumatan harus mengenakan masker. Jika masyarakat dinilai oleh Pemerintah tidak mengindahkan protokol-protokol yang ada, maka Pemerintah dapat membatalkan atau membubarkan kegiatan yang ada, dalam hal ini kegiatan jumatan.
Di sini saya tidak akan mendebatkan keyakinan masing-masing orang terhadap korona, dalam hal ini yang tidak mempercayainya. Namun saya ingin menggarisbawahi bahwa peranan masker dalam jumatan juga sangat penting adanya. Karena masker dapat menentukan juga jumatan yang ada dapat terus dilakukan atau tidak, seperti yang telah saya sampaikan di depan.
Dalam pandangan saya secara pribadi, bagi orang yang menganggap penggunaan masker bukanlah suatu kewajiban, toh mengenakan masker pun bukanlah sesuatu yang diharamkan baginya. Bahkan, dalam konteks mengenakan masker untuk menjaga agar jumatan dapat terus dilaksanakan, maka mengenakan masker pun bisa saja menjadi sebuah kewajiban. Karena dengan tidak mematuhi protokol yang ditetapkan, dengan kemudian jumatan menjadi ditiadakan (kembali), semuanya pun akan mengalami kerugian.
Jadi, jumatan kok maskeran? Ya. Perdebatan-perdebatan yang tidak berujung sebaiknya dihindari. Semua orang seyogyanya dapat menempatkan diri dan mengambil sikap yang lebih mementingkan kemaslahatan bersama. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H