Menyaksikan kembali film Istirihatlah Kata-Kata yang kali Selasa malam tanggal 16 Juni 2020 kemarin ditayangkan di TVRI, terus terang saya masih belum dapat menangkap apa yang ingin disampaikan lewat film tersebut.
Sebagai sebuah biopik yang bercerita tentang (penggalan) perjalanan hidup penyair legendaris yang juga seorang aktivis reformasi, Wiji Thukul, yang begitu terkenal dengan sajak "Peringatan"-nya, terus terang saya agak kecewa dengan film tersebut. Saya tidak dapat menemukan sosok setangguh puisi-puisi yang ditulisnya.
Terlepas dari kepiawaian para pemain dalam memerankan tokoh-tokoh dalam film tersebut, film tersebut justeru seperti memberi gambaran suram tentang nasib Thukul.
Kesunyian dan kesendirian yang terus berulang dihadirkan sepanjang film memberi gambaran tentang "kekalahan" Thukul. Yang secara pikologis, setelah menonton film tersebut orang bisa saja menjadi ciut nyalinya untuk terjun menjadi aktivis ataupun untuk menyuarakan kebenaran.
Benar, nasib aktivis seperti Thukul yang hidup di bawah tekanan rezim yang begitu mencengkeram, tentu suram adanya.
Toh film semestinya bisa saja tidak blak-blakan. Pada awal dulu sebelum film ini diedarkan, saya membayangkan film tersebut akan menggambarkan Thukul yang begitu tangguh, Thukul yang begitu perkasa. Sehingga dapat menularkan semangatnya kepada kita yang menontonnya. Namun ternyata, angle yang (ingin) dibidik sepertinya lain.
Ya, jika film tersebut bermaksud membangkitkan semangat penonton untuk meneladani keberanian Thukul, maka "peringatan" yang didapat oleh penonton sangat mungkin sebaliknya. Yang ada di benak penonton justeru mungkin adalah ketakutan membayangkan menjalani kehidupan seperti itu.
Film dibuka dengan adegan interogasi aparat tentara terhadap seorang anak dari Wiji Thukul yang masih kecil, menanyakan Thukul yang tak kunjung menampakkan diri. Selanjutnya film menggambarkan pelarian Thukul yang bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Thukul yang selalu gelisah dan was-was disergap aparat. Sampai-sampai untuk sekedar memejamkan mata pun tidak sanggup. Thukul yang juga nampak begitu ketakutan saat berpapasan atau sedang ngobrol atau dekat dengan aparat.
Hingga kemudian film ditutup dengan adegan Sipon, istri Thukul, yang menangis mengadu kepada Thukul. Sipon yang begitu kelelahan menjalani nasib sebagai istri seorang aktivis.