Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Logika "Berdamai dengan Corona"

21 Mei 2020   17:11 Diperbarui: 22 Mei 2020   15:06 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajakan "berdamai dengan corona" ditanggapi banyak orang sebagai negasi atas usaha dan kerja-keras yang selama ini telah dilakukan, baik oleh para tenaga medis yang berjuang menyelamatkan banyak nyawa, ataupun mereka yang terkurung di dalam rumah, berjuang menahan berbagai hasrat dan keinginan.

Sebab, dampak dari ajakan "berdamai dengan corona" di mana salah satu perwujudannya adalah dengan pelonggaran PSBB, membuat banyak orang kembali berduyun keluar rumah, yang pada beberapa tempat terlihat mengambyarkan physical distancing. 

Hingga banyak orang pun meluapkan kekesalannya karena kerja kerasnya selama ini merasa disia-siakan, merasa tidak dihargai. Terutama dari kalangan medis. Hingga ungkapan "terserah" pun ramai di mana-mana.

Konsekuensi Logis

Sebenarnya, kerumunan yang kembali terjadi seiring pelonggaran ataupun penghapusan PSBB, baik karena memang situasi yang tidak dapat dihindarkan ataupun hanya karena euforia "merayakan"  kembali "kebebasan", itu merupakan sebuah konsekuensi logis yang tidak dapat dihidarkan, yang mau tidak mau harus kita hadapi.

Ibarat air soda yang ada di dalam botol yang terus dikocok-kocok atau ditempatkan pada temperatur yang panas, saat tutup botol kemudian dibuka, wajar jika kemudian terjadi letupan. Dan letupan ini pun sebenarnya hanya soal waktu. Toh, jika tutup botol itu tidak dibuka sekarang, pada waktunya letupan itu akan terjadi dengan sendirinya, bahkan bisa jadi dengan ledakan yang lebih dahsyat.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sedang berpuasa. Setelah tertahan hasrat makan minumnya dari pagi hingga petang, terutama pada awal-awal pelaksanaan puasa.

Banyak orang yang kemudian tidak bisa menahan diri, berpuas diri menyantap apa saja yang bisa disantap: es buah, kolak, gorengan, makanan dan minuman ini itu yang pada kondisi normal di luar puasa bahkan tidak atau jarang dinikmati. Toh, seiring waktu, orang pun kemudian akan terbiasa dengan pola berpuasa.

Logika "Berdamai dengan Corona"

Apakah ada yang tahu kapan corona akan pergi? Bulan depan? Akhir tahun ini? Akhir tahun depan? Atau, dia akan selamanya bersama kita?

Apapun jawabannya, semua masih kira-kira. Karena sampai saat ini, memang belum ada yang bisa memastikannya.

Berangkat dari hal itulah, agaknya, ajakan "Berdamai dengan Corona" ditawarkan oleh Presiden Joko Widodo. Ajakan yang bagi saya pribadi adalah yang paling rasional untuk saat ini. Ketika kita terkurung pada suatu ketidakpastian, tentu hanya akan ada dua pilihan: terus larut dalam ketikapastian, atau bangkit berdamai dengan ketidakpastian itu. Tepatnya, mendamaikan diri dengan ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun