Cerita: Edgar Allan Poe
SAAT itu di Paris ketika aku bertemu August Dupin. Dia seorang lelaki muda menarik yang luarbiasa dengan pemikiran yang keras, kuat. Pikiran ini dapat, sepertinya, melihat jelas menembus tubuh seseorang ke dalam batinnya yang paling dalam.
Suatu pagi musim panas yang terik kami baca di surat kabar tentang sebuah pembunuhan mengerikan. Korbannya adalah seorang wanita tua dan anak perempuannya yang belum menikah, yang tinggal sendirian di lantai empat sebuah rumah tua di jalan yang disebut Rue Morgue. Seseorang telah mencekik leher si gadis dengan jari-jarinya yang kuat hingga nyawanya melayang. Mayat ibunya ditemukan di luar, di belakang rumah, dengan kepala yang hampir lepas. Toh, pisau yang dengannya dia terbunuh ditemukan di dalam kamar, di atas lantai.
Beberapa tetangga berlari ke rumah itu saat mereka dengar jeritan-jeritan ketakutan wanita-wanita itu. Saat mereka berlari naik ke lantai empat mereka dengar dua suara lain. Tapi saat mereka mencapai kamar dan mendobrak pintu mereka tidak mendapati seorangpun yang masih hidup di dalam kamar. Seperti pintu, dua jendelanya tertutup rapat, terkunci dari dalam. Tidak ada jalan lain bagi pembunuh untuk dapat masuk atau keluar kamar.
Kepolisian Paris tidak tahu darimana memulai untuk mencari jawaban. Aku mengatakan pada Dupin sepertinya bagiku tidak mungkin untuk mencari jawaban atas misteri pembunuhan ini. Tidak, tidak, kata Dupin.
“Tidak; aku kira kamu salah. Sebuah misteri itu, ya. Tapi harus ada jawaban. Kita tidak boleh memutuskan apa yang mungkin hanya dengan apa yang kita baca di suratkabar. Kepolisian Paris bekerja keras dan kadang mendapatkan hasil-hasil yang bagus; tapi tidak ada cara yang benar atas apa yang mereka lakukan. Saat tidak sekedar kerja keras yang dibutuhkan, saat sedikit saja cara yang sungguh-sungguh dibutuhkan, kepolisian gagal. Kadang mereka berada dekat sekali dengan persoalan. Sering, saat seseorang melihat suatu hal begitu tertutup dia dapat melihat beberapa hal lebih jelas, namun keragaman keseluruhannya meluputkannya.
“Harus ada jawaban! Harus ada! Mari kita pergi ke rumah itu dan melihat apa yang bisa kita kihat. Aku kenal dengan kepala kepolisisan, dan dia akan mengijinkan kita melakukannya. Dan ini akan menarik dan memberi kita banyak kesenangan.”
Aku pikir aneh Dupin yakin kami akan mendapatkan kesenangan dari ini. Tapi aku tidak berkata apa-apa.
Larut senja saat kami sampai di rumah di Rue Morgue itu. Mudah ditemukan sebab masih ada banyak orang—sungguh, sekerumunan orang, berdiri di sana memandanginya. Sebelum melangkah masuk kami berjalan mengitarinya, dan Dupin dengan seksama mengamati rumah-rumah di sekitarnya seperti halnya rumah ini. Aku tidak dapat memahami untuk apa melakukannya.
Kami sampai kembali ke depan rumah dan melangkah masuk. Kami menaiki tangga menuju kamar di mana mayat si gadis ditemukan. Kedua mayat itu di sana. Polisi membiarkan kamarnya sebagaimana mereka temukan. Aku tidak melihat apapun kecuali apa yang telah suratkabar beritakan pada kami. Dupin mengamati dengan penuh seksama tiap-tiap sesuatunya, mayat-mayatnya, tembok-temboknya, tungku perapiannya, jendela-jendelanya. Kemudian kami pulang.