Suguhan secangkir kopi dan tawaran rokok dari yang punya rumah, mengawali tanya jawab Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) siang itu. Responden kali ini berada di dusun yang berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Jember. Sebut saja Pak Taufik (54 tahun) yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani dan memiliki sepetak sawah yang tidak sebegitu luas.
“Silakan kopinya diminum, Pak” tawarnya sambil menyalakan sebatang rokok. “Monggo, kalau mau merokok, langsung ambil saja” tambahnya sambil menaruh sebungkus rokok kretek di hadapan saya.
“Terima kasih, Pak. Kebetulan saya tidak merokok. Kopinya saja saya minum” tolak saya dengan halus.
“Habis makan siang gini, kalau tidak merokok terasa hambar Pak” pungkasnya.
Merokok bagi Pak Taufik sudah menjadi “makanan wajib”, ia sehari bisa menghabiskan satu hingga satu setengah bungkus rokok. Pengeluaran untuk rokok saja, bisa mencapai 40 ribu hingga 60 ribu selama seminggu. Agar tidak mengganggu urusan dapur, ia mensiasati kebiasaan merokoknya itu dengan membeli rokok dengan “merek lokal” yang harganya lebih murah, kisaran 6 ribu per bungkusnya.
Bisa dibayangkan, dengan penghasilan sebagai buruh yang hanya diupah 30 ribu per hari, dia harus menyisihkan hampir 20 persen penghasilannya untuk rokok dan sisanya untuk kebutuhan lainnya seperti beras, lauk dan sayur. Jika ditanya apakah penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jawabannya, penghasilan yang tidak seberapa itu harus dicukup-cukupkan. Begitulah mayoritas kebiasaan warga disana, dengan kondisi kesejahteraannya yang masih dapat dikatakan dibawah rata-rata.
Dari realita di atas, refleksi dari “Hari Tanpa Tembakau Sedunia” yang setiap tahunnya diperingati setiap tanggal 31 Mei ini, saya tidak menyoroti dari sudut pandang kesehatan tetapi dari aspek sosial ekonomi masyarakat di kota yang berjuluk Kota Tembakau ini. Selain dampak buruk terhadap kesehatan, efek buruk dari kebiasaan mengonsumsi rokok ini juga berimbas kondisi sosial ekonomi pencandu rokok dan keluarganya.
Berdasarkan hasil Susenas Modul Konsumsi tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rokok menjadi penyumbang kemiskinan nomor dua setelah beras. Kenapa hal ini bisa terjadi? kita memang harus tahu bagaimana BPS menghitungnya. Penghitungan kemiskinan BPS mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Komponen kebutuhan dasar ini terdiri dari kebutuhan makanan dan bukan makanan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan yang diambil dari hasil Susenas. Pendekatan kebutuhan dasar yang digunakan BPS telah disempurnakan, menjadi 52 jenis komoditi makanan dan 51 komoditi bukan makanan (perkotaan) dan 47 komoditi (pedesaan). Dengan pendekatan ini, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, yang kemudian batasan dari sisi pengeluaran inilah disebut sebagai Garis Kemiskinan.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Setelah diperoleh penduduk miskin, kemudian dilihat lagi pola konsumsinya dari modul konsumsi Susenas. Pada tahap inilah dapat terlihat andil masing-masing komoditi baik makanan maupun bukan makanan terhadap Garis Kemiskinan. Di Kabupaten Jember maupun Jawa Timur secara umum, rokok memiliki share terbesar kedua setelah beras baik di pedesaan maupun perkotaan.
Hal ini dapat kita telusuri dari data BPS, hasil Susenas bulan Maret tahun 2015 yang lalu mencatatkan bahwa pengeluaran perkapita penduduk Jawa Timur selama sebulan untuk rokok menempati posisi kedua dengan besaran Rp. 41.182,- dan untuk beras mencapai Rp. 65.783,- perkapita per bulan. Jika dihitung, maka share rokok terhadap Garis Kemiskinan Jawa Timur mencapai 13,49 persen, sementara beras mempunyai andil sebesar 21,56 persen.
Di Jember sendiri, berdasarkan data Susenas tahun 2014 memperlihatkan bahwa pengeluaran perkapita penduduk Jember untuk rokok selama sebulan mencapai Rp. 33.066,-. Dengan angka Garis Kemiskinan pada tahun tersebut sebesar Rp 267.962,- maka akan diperoleh bahwa andil rokok terhadap Garis Kemiskinan di Kota Tembakau ini mencapai 12,34 persen pada tahun 2014.