Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Zaniar dan Ahmad Hong (8)

17 April 2016   06:37 Diperbarui: 17 April 2016   09:44 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kre-dok.pribadi"][/caption]8. Teror di Kelas

Zaniar berlari kecil. Ruang BK tercapai sebentar lagi. Sampai di depan pintu Zaniar Zaniar ragu-ragu. Ia berdiri beberapa jenak. Rasa malunya membawanya tidak berani langsung masuk ke ruangan itu. Pukul 07.25. Zaniar malu sekali. Rasanya baru kali ini selama sekolah ia tidak menepati waktu.
“Niar!” ada suara pelan berbarengan dengan keluarnya Pak Nanto.
“Aa… aaa…aaa.” Zaniar kaget.
“Kenapa kaget?” pak Nanto keheranan.
“Maafkan Niar Pak. Niar terlambat.”
“Ooo tidak apa-apa. Masuk sini …. ini Bu Siti juga sudah menantimu.”
“Maafkan saya Bu…..”
“Tidak apa-apa.”
Setelah beberapa saat duduk, Zaniar mengangkat muka. Pak Nanto dan Bu Siti yang sejak tadi diam memperhatikan kini tersenyum.
“Wajah kamu seperti ketakutan.”
“Memang saya ketakutan Pak.”
“Ada masalah apa?”
“O tidak ada. Hanya tadi ketemu pak Kepala sebentar.”
“Inikah yang menyebabkan kamu terlambat sekarang?”
“Begitulah Pak.”
“Kamu punya masalah dengan beliau?”
“Ah tidak Pak. Biasa saja. Maksudnya pak Kepala biasa marah ke saya.”
“Jadi kamu pernah dimarahi pak Layang?”
“Pernah.”
“Kenapa?”
“Protes tentang ketidak adilan. Siswa yang terlambat diberi sanksi, eh guru yang terlambat masuk kelas atau terlambat ke sekolah tidak diapa-apakan.”
“Ah, dari mana kamu tahu informasi itu?”
“Ada guru yang bercerita dengan saya Pak.”
“Siapa?”
“Rahasia Pak.”
“Aaah bisa saja kamu! Duduk Neng …”
“Terimakasih Pak.” kata Zaniar sambil beranjak duduk.

Ruang BK SMA Kota Angin bersebelahan dengan lapangan basket. Di lapangan basket itulah anak-anak yang terlambat suka dikumpulkan. Setelah dikumpulkan kemudian didata oleh pembina OSIS. Sanksinya bermacam-macam. Jika baru sekali terlambat, paling diminta untuk menandatangani surat perjanjian. Yang sudah sering terlambat kadangkala disuruh menyapu lantai aula, atau ruang guru. Kalau yang sudah parah, orang tua sudah dipanggil tetapi siswanya tetap sering terlambat kadangkala diminta untuk membersihkan kamar mandi dan WC.

Jika banyak yang terlambat , dari ruangan BK terdengar kata-kata nasehat pembina OSIS. Namun tidak menutup kemungkinan kadang-kadang suara bentakan yang cukup keras. Saat itu juga Zaniar mendengar suara-suara bentakan pembina OSIS. Gadis itu hanya menggelengkan kepala.

“Kenapa menggelengkan kepala?” Tanya Bu Siti yang sejak tadi memperhatikan Zaniar terdiam. Rupanya dua orang guru itu sudah sepakat untuk membiarkan Zaniar memberi respon kepada peristiwa di luar.
“Ooo… apa tadi Bu?”
“Kamu menggelengkan kepala. Ada apa?”
“Oh maaf Bu. Itu suara Pak Dayat. Suara keras itu hampir terjadi setiap hari terjadi.”
“Memang sudah seharusnya bukan?” tanya Bu Siti memancing.
“Tetapi tidak wajar Bu. Ibu bisa membayangkan, masa sepanjang saya sekolah di sini suara-suara itu tetap saja ada. Itu artinya tidak ada perubahan sikap para siswa. Biarpun kalau terlambat hari Senin mereka dibariskan di depan peserta upacara, namun tidak membuat efek jera.” Kata Zaniar bersemangat. Zaniar memang sangat suka jika diminta untuk mengeluarkan unek-unek hatinya.
“Apa penyebabnya kira-kira?”
“Bukan kira-kira Bu. Tapi ini berdasarkan pemantauan pendapat teman-teman, baik yang di kelas maupun kelas lain, kadang-kadang mereka merasa tindakan itu tidak adil.”
“Maksud tidak adil?”
“Saya pernah mendapat curhat teman yang habis dihukum Bu, katanya aku dihukum habis-habisan. Kata teman saya begitu, tapi gurunya tidak datang tidak ada sanksi apa-apa. Mending kalau ada tugas.”
“Aaah barangkali mengada-ada.”
“Ya tidak Bu. Pak Guru yang tidak hadir di jam pertama itu di kelas dia. Jadi setelah dia masuk jam kedua dari dihukum, pas masuk ternyata tidak ada gurunya. Inilah Bu yang membuat anak-anak tidak kapok-kapoknya terlambat. Mereka terlambat juga tidak takut. Paling juga dibentak-bentak. Kata teman-teman jalani saja …. makanya sampai sekarang siswa yang terlambat setiap hari ada saja. Semacam proyek sepanjang masa!”
“Apa tadi?” sela Pak Nanto.
“Proyek sepanjang masa!”
“Hahahaaa! Bisa saja kamu neng!”
“Benar Pak. Makanya setiap kali di kelas kami ada anak yang habis dihukum terlambat datang, teman-teman lain celutak-celutuk, kerja di proyek ni yeee…..” kata Zaniar lugas tak ada yang ditutup-tutupi.
“Wah …. wah kreatif juga teman-temanmu itu Niar! Jangan-jangan malah kamu yang membuat istilah itu.” kata Pak Nanto memancing.

“Tidak Pak. Bagaimanapun saya orangnya keras, tapi saya tidak pernah sekalipun memimpin anak-anak untuk ini-itu. Saya tidak ingin saya dicap sebagai dalang sesuatu yang jelek di sekolah ini. Jika ada apa-apa dengan saya, biarlah sanksi itu datangnya ke saya karena urusan saya. Bukan terkait dengan mengajak anak-anak lain.”
“Ya sudah, sudaaahhh…. Bapak percaya omongan kamu semua Niar. Sekarang duduk yang tenang, saya dan bu Siti mau tanya beberapa hal.”
Nat-nit-not! Nat-nit-not!
Pak Nanto secara reflek meraba saku baju demi mendengar panggilan di HP-nya. Ketika HP diangkat, wajah Pak Nanto menjadi keruh.
“Siapa Pak?” tanya Bu Siti secara tidak disadari.
“Pak Layang.”
“Oooo…..”

Hati Pak Nanto menangkap firasat kurang baik jika berbicara di depan Zaniar dan Bu Siti. Pak Nanto bangkit dari duduk kemudian minta ijin ke luar ruangan untuk menerima telephone kepala sekolahnya. Zaniar dan Bu Siti hanya bisa memandangi yang keluar.
“Selamat pagi Pak …. “ kata Pak Nanto setelah berada di luar ruangan.
“Pak Nanto sudah jauh dari Zaniar?”
“Sudah Pak. Kok Bapak tahu kalau saya sedang bersama Zaniar?” tanya Pak Nanto pura-pura belum tahu.
“Tadi dia ketemu saya.”
“Ooo begitu Pak…”
“Pak Nanto, apakah Zaniar cerita yang macam-macam tentang saya?”
“Macam-macam? Maksudnya apa?”
“Ooo.. mmm… maksudnya. Tidak, tidak ada maksud.” Pak Layang tergagap.
“Ooooo….”
“Pak Nanto, apakah ada guru yang cerita kepada Zaniar perihal saya tidak pernah menindak guru-guru yang terlambat atau tidak masuk kelas?”
“Saya tidak tahu Pak.”
“Tapi Zaniar bilang, katanya ada guru yang cerita kepadanya.”
“Saya tidak tahu.”
“Pak Nanto, bapak kan wali kelasnya. Bapak dekat dengan anak itu….”
“Iya Pak.”
“Jadi, jangan-jangan Pak Nanto sendiri yang bercerita kepada Zaniar tentang kebijakan kepala sekolah yang tidak pernah menindak guru-guru yang terlambat.”
“Saya tidak tahu Pak.”
“Jangan bohong Pak Nanto!” Pak Layang membentak.
“Saya tidak berbohong.”
“Siapa lagi guru yang dekat dengan anak itu kecuali Anda!”
“Pak, saya tidak terima Bapak menuduh saya seenaknya.”
“Saya kepala sekolah!”
“Saya tahu. Justru karena bapak sebagai kepala sekolah seharusnya Bapak bijaksana jika hendak menyampaikan sesuatu.”
“Artinya Pak Nanto mengatakan saya tidak bijaksana? Begitu?”
“Bapak menuduh saya tanpa dasar!” suara Pak Nanto mulai meninggi.
“Tanpa dasar bagaimana? Jelas-jelas Bapak dekat dengan Zaniar.”
“Maaf Bapak …. sepertinya kita jangan bicara di telephone. Saya ingin bicara langsung dengan Bapak…”
“Boleh.” kata Pak Layang yang kemudian mematika kontak.

Pak Nanto menghela nafas dalam. Laki-laki itu berdiri beberapa saat. Jika saja ia tidak bisa menahan diri, tentu kepala sekolahnya sudah dimaki-maki. Namun ia sadar bahwa dirinya adalah guru.
Setelah beberapa saat berdiri, Pak Nanto berjalan perlahan masuk ke ruang BK. Zaniar dan Bu Siti yang mendengar suara sayup-sayup pembicaraan Pak Nanto hanya menunggu.
“Bu Siti ….. Zaniar, pembicaraan kita tunda. Atau Bu Siti mau ngobrol dengan Zaniar, silakan.” kata Pak Nanto pelan.
“Pak Nanto mau ke mana?” Tanya Bu Siti.
“Saya mau menghadap Pak Layang.”
“Ooooo…..”
“Kalau mau bicara silakan. Saya permisi. Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalaaaam…..”
Sepeninggal Pak Nanto ruangan BK sepi. Zaniar diam. Bu Siti berjalan menjuju kursinya. Perempuan itu duduk beberapa saat sebelum bicara.
“Niar….” panggil Bu Siti perlahan.
“Ya Bu.”
“Pak Nanto kenapa ya?”
“Tidak tahu Bu.”
“Tadi Pak nanto memanggil kamu ada masalah apa sebenarnya? Masalah SPP atau masalah kamu dimarahi Pak Kepala?”
“Tidak tahu juga Bu.”
“Lho kok?”
“Benar Bu, saya tidak tahu.”
“Oooo ya sudah. Kalau begitu kita bicara lain waktu saja. Nanti bersama Pak Nanto tentunya.”
“Iya Bu. Sepertinya lebih baik begitu. Kalau begitu saya pamit dulu Bu, assalaamu’alaikum!” kata Zaniar seraya mencium tangan Bu Siti.

Meninggalkan ruang BK, Zaniar berlari-lari kecil. Hatinya merasa lega. Sebagian unek-uneknya telah disampaikan kepada Pak Nanto dan Bu Siti. Terserah nantinya kedua guru itu mau menyampaikan ke kepala sekolah apa tidak, bukan urusannya. Tak ada rasa khawatir sama sekali dalam hati Zaniar jika terjadi hal terburuk. Menurut Zaniar hal terburuk dalam sekolahnya adalah dikeluarkan. Dan itu Zaniar sudah siap.
Ketika sampai di depan kelas Zaniar kaget mendengar kelasnya gaduh. Ketika ia masuk lebih kaget lagi karena ternyata di situ ada dua anak kelas lain sedang marah-marah. Sementara semua anak laki-laki di situ terdiam. Sebagian anak perempuan menjerit-jerit. Zaniar melihat ada dua anak laki-laki asing di kelasnya.
“Ada apa ini?!” Zaniar berteriak keras. Semua menoleh. Sebagian anak perempuan histeris kemudian berlari ke arah belakang Zaniar.
“Kamu anak perempuan! Galak bener…. hahahaa!”
“Diam! Kamu anak kelas mana berani-beraninya masuk ke sini?!”

Tanya Zaniar sambil mendekati kedua anak laki-laki itu.***

(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun