Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Zaniar dan Ahmad Hong (7)

27 Maret 2016   08:07 Diperbarui: 27 Maret 2016   08:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok. pribadi"][/caption]Link edisi sebelumnya 

----------------------------------------------------------------------------------

7. Melawan Kepala Sekolah

Hari Senin pagi.
Pukul setengah tujuh Pak Haji Layang, kepala SMA Kota Angin sudah berdiri di gerbang. Guru dan siswa yang memasuki menyalami laki-laki itu. Saat itu Zaniarpun sampai di dekat gerbang. Melihat kepala sekolah sudah berdiri di situ, Zaniar berhenti sejenak. Gadis itu berlindung di balik pagar gerbang. Ada rasa malas ketemu dengan orang itu. Zaniar menunggu rombongan siswa lain yang lebih banyak. Ketika datang serombongan siswa, Zaniar menggabung. Ketika yang lain menyalami kepala sekolahnya, Zaniar bergegas menghindar.
Setelah jauh dari gerbang sekolah Zaniar merasa lega. Namun rasa lega itu hanya selintas. Di benaknya terbayang pikiran-pikiran yang masuk akal. Ia membayangkan menjadi seorang siswa yang tidak disukai oleh kepala sekolahnya akan berakibat tidak baik. Mungkin bisa tidak naik kelas, atau malah dikeluarkan. Tapi pikiran lainnya mengatakan bahwa sekolah adalah hak. Tak boleh seorangpun bertindak semena-mena.
“Niar!” ketika langkahnya membelok ke ujung taman dekat kelasnya ada yang memanggil.
“Pak Nanto? Pak Nanto memanggil saya?”
“Iya. Ke sini sebentar.”
“Iya Pak.” kata Zaniar sambil mendekat, kemudian menyalami tangan wali kelasnya.
“Jam pertama kamu menghadap saya di ruang BK ya. Sekalian ketemu ibu Siti.”
“Jam pertama pelajaran Kimia Pak.”
“Pak Yunan tidak masuk kelas. Tadi saya melihat surat ijinnya di ruang piket.”
“Bisa Pak. Tapi saya ijin dulu mau berdoa dengan teman-teman dulu.”
“Boleh. Eit sebentar Niar….”
“Ada apa Pak?”
“Tadi bapak lihat dari jauh, kamu menghindar dari pak kepala, benar ya?”
“Bapak melihat saya?”
“Ya. Kamu kelihatan aneh saja. Bersembunyi di balik rombongan anak-anak lain.”
“Memang Pak.”
“Ya sudah, kamu masuk dulu ke kelas …. nanti pukul tujuh seperempat bapak tunggu di ruang BK. Oke?”
“Siap Pak.”
Sepeninggal Zaniar Pak Nanto mendekati Bu Siti, guru BK. Guru perempuan setengah baya itu langsung mengajak Pak Nanto ke ruangan BK. Mereka berdua sudah membuat janji untuk memanggil Zaniar. Sampai di ruang BK masih sepi. Hawa ruangan masih pengap. Bu Siti membuka gordyn dan menyalakan AC untuk menyejukkan ruangan.
“Anak ini terlalu banyak masalah Pak. Terakhir saya dapat laporan dari ibu Yati, katanya ia berlaku tidak sopan dengan meninggalkannya, padahal ia sedang dipanggil.”
“Boleh saja Bu Yati mengatakan begitu, tetapi kita juga harus mau menerima jalan pikiran dia. Zaniar memang anaknya unik. Dia beda dengan anak lain. Tegas, to the point, efektif dan efisien dalam berbicara. Menurut dia yang dia lakukan itu benar. Tetapi orang lain mengatakan itu salah. Itu yang membuat Zaniar semakin hari semakin tidak percaya dengan lingkungan belajar. Hanya kepada guru-guru tertentu ia mau berbagi. Sebagian besar guru justru termakan informasi sepihak. Misalkan saja informasi tentang kasus dengan Bu Yati, banyak yang mendukung Bu Yati. Padahal kalau dirunut, yang salah sebenarnya Bu Yati. Tapi sebagai orang tua, banyak pula yang tak mau mengakui kesalahannya. Ya begitulah, siswa yang jadi korban.”
“Ooo ya Pak, Niar mau ke sini pukul berapa?”
“Janjinya pukul tujuh seperempat. ”
“Saya bisa makan dulu di kantin?”
“Tidak apa-apa Bu. Tadi saya katakan kepadanya yang butuh memanggil adalah saya. Jangan khawatir nanti ibu dicap Zaniar seperti Bu Yati.”
“Aaahh bisa saja!”
“Ya sudah , silakan, makan dulu!”
“Baiklah , mari ….”
Pukul tujuh tepat. Sirene tanda masuk sekolah berbunyi.
Para siswa bergegas masuk ke kelas masing-masing. Sebagian yang masih berada di jalan segera mempercepat jalannya. Mereka berlomba untuk masuk ke lingkungan sekolah. Jika mereka terlambat, mereka tidak boleh masuk kelas hingga jam kedua. Pembina OSIS sangat galak. Tak ada kompromi bagi yang terlambat. Tetapi anehnya setiap hari ada saja yang terlambat. Kegalakan pembina OSIS sama sekali tak ditakuti para siswa.
Pembinaan bagi yang terlambat lumayan berat. Kadang kala mereka dijemur di lapangan basket, kadang kala disuruh membersihkan ruangan guru atau aula, kadang kala disuruh berlari mengelilingi palangan olah raga.
Pukul tujuh lewat lima menit Zaniar keluar dari kelas. Gadis itu berjalan dengan bergegas. Setelah melewati deretan ruang kelas XI, ia berbelok ke lobby sekolah. Di lobby sekolah masih sepi. Ketika melewati ruang gurupun sepi. Tapi menurut pengamatan Zaniar, ruang guru yang sepi bukan karena gurunya masuk kelas, akan tetapi belum datang. Buktinya di kelas-kelas yang dilewati tadi Zaniar hanya melihat beberapa kelas yang sudah ada gurunya. Selebihnya masih kosong.
Beberapa kali Zaniar melihat sebuah kejanggalan jika anak-anak yang terlambat dihukum lumayan berat. Akan tetapi jika guru yang terlambat datang, gerbang dibuka. Demikian pula saat-saat upacara, pembina OSIS berterik-teriak dengan megaphone menyuruh agar siswa segera berkumpul di lapangan. Tetapi peran serta guru sangat kurang. Menurut teori, jika kelas ada tiga puluh, maka pagi itu paling tidak seharusnya ada tiga puluh guru yang ikut upacara. Tapi kenyataan tidak seperti itu. Paling-paling hanya sekitar sepuluh guru yang ikut upacara. Sebagian lebih suka ngobrol di ruang guru.
Ketika langkah Zaniar sampai di ruang kelas XI IPA 1, dari pintu keluar Bu Endang.
“Niar!” panggilnya. Niar berlari kecil menghampiri gurunya.
“Assalaamu’alaikum bu!” kata Zaniar memberi salam sambil mencium tangan gurunya.
“Wa’alakikumussalam. Niar kamu mau ke mana? Bukannya belajar di kelas?”
“Pak Yunan kosong Bu, ada tugas. Tapi sekarang saya juga dipanggil Pak Nanto di ruang BK. Saya mau ke sana.”
“Oooo …. ada apa?”
“Tidak tahu Bu.”
“Ooo ya sudah. Niar….. “
“Ya bu.”
“Apa rencana kamu hari ini?”
“Siap Buuu …. latihan olimpiade matematika!”
“Waaaahh….hihihiii….. kamu tidak lupa?”
“Tidak dong Bu. Saya kan sudah berjanji pada ibu.”
“Ibu salut.”
“Terimakasih bu. Saya mau ke ruang BK ya bu?”
“Ooo ya. Mudah-mudahan masalah lekas beres.”
“Aamiin. Terimakasih Bu.”
Meninggalkan Bu Endang Zaniar berlari-lari kecil. Jam di tangannya menunjukkan pukul 07.13 menit. Padahal ia berjanji menemui Pak Nanto pukul 07.15. Ia berharap tidak ada lagi yang menghambat langkahnya.
“Hei! Neeng!” tiba-tiba dari arah lobby ada suara memanggil.
“Ya Allah ya Raaaabb…..” Zaniar mengeluh. Dia berhenti.
“Niar!”
“Ya?” suara Niar pelan seraya membalikkan badan.
Jantung Zaniar berdegup keras. Yang memanggil adalah Pak Haji Layang Seto, kepala sekolahnya. Kembali Zaniar mengeluh. Ia diam ketika kepala sekolah berjalan mendekat.
“Kamu memang anak tidak tahu adat! Ini jam berapa?”
“Tujuh lewat empat belas menit Pak!”
“Bukan itu maksudku. Ini masanya belajar. Kamu malah keluyuran!”
“Pak Yunan tidak masuk Pak.”
“Apa? Pak Yunan? Ke mana katanya?”
“Tidak tahu Pak. Tapi kata Pak Nanto ada tugas.”
“Mengapa tidak lapor ke saya?”
“Hmh…” Zaniar mendengus kecil. Gadis itu hanya mengangkat alisnya.
“Apa? Menyindir saya?”
“Siapa yang menyindir Bapak. Saya biasa saja…”
“Kamu kembali ke kelas! Jangan pengaruhi anak-anak lain dengan kelakuanmu yang suka keluyuran di jam-jam pelajaran.”
“Saya bukan keluyuran Pak. Saya dipanggil Pak Nanto.”
“Kok tidak ke ruang guru?”
“Ke ruang BK Pak, sekalian menghadap Bu Siti.”
“Kamu memang anak banyak masalah.”
“Gurunya juga banyak masalah Pak.”
“Jangan membalikkan fakta.”
“Pak Yunan sering kosong tidak pernah Bapak tegur. Kalau siswa salah sedikit didamprat oleh pembina OSIS.”
“Saya kepala sekolah. Ingat ke-pa-la-se-ko-lah!” kata Pak Layang mengeja jabatan sendiri. Zaniar tetap datar menghadapi kepala sekolahnya.
“Ada guru yang bercerita kepada saya, banyak guru yang sering bolos, tidak masuk kelas, ulangan tidak dikoreksi, tetapi katanya tidak pernah ditegur.”
“Siapa yang bilang?!”
“Guru. Guru yang sudah kesal dengan kondisi di sekolah kita.”
“Siapa nama gurunya? Berani-beraninya dia bercerita kepada siswa yang bukan porsinya.”
“Saya jaga rahasia Pak. Semua itu sebenarnya untuk kemajuan sekolah kita.”
“Kamu jangan menasehati saya.”
“Kalau begitu saya permisi Pak. Saya sudah telat dipanggil Pak Nanto….”
“Hei! Niar ……”, kata kepala sekolah melemah suaranya, “ ….. jangan sampai kamu ceritakan kepada guru-guru kejadian tempo hari. Mengerti?”
“Kenapa Pak? Bapak malu?”
“Diam kamu. Kamu jangan ceritakan kepada siapapun! Pergi sana!”
Kepala sekolah pergi. Zaniar menggeleng-gelengkan kepala melihat Pak Layang sewot menghadapi sikapnya yang datar. Zaniar tidak perduli. Tak ada yang ditakutinya di manapun, selagi apa yang diyakininya adalah benar.
Ya ampuuun! Zaniar berteriak kecil ketika melihat arloji di tangannya. Arloji di tangan sudah menunjukkan pukul 07.23. Langkahnya dipercepat. Ia sangat malu dengan Pak Nanto tidak bisa menepati janji. ***

(Bersambung)

 

Rencana episode 8 :

Zaniar berlari kecil. Ruang BK tercapai sebentar lagi. Sampai di depan pintu Zaniar Zaniar garu-ragu. Ia berdiri beberapa jenak. Rasa malunya membawanya tidak berani langsung masuk ke ruangan itu. Pukul 07.25. Zaniar malu sekali. Rasanya baru kali ini selama sekolah ia tidak menepati waktu.
“Niar!” ada suara pelan berbarengan dengan keluarnya Pak Nanto.
“Aa… aaa…aaa.” Zaniar kaget.
“Kenapa kaget?” pak Nanto keheranan.
“Maafkan Niar Pak. Niar terlambat.”
“Ooo tidak apa-apa. Masuk sini …. ini Bu Siti juga sudah menantimu.”
“Maafkan saya Bu…..”
“Tidak apa-apa.”
Setelah beberapa saat duduk, Zaniar mengangkat muka. Pak Nanto dan Bu Siti yang sejak tadi diam memperhatikan kini tersenyum.
“Wajah kamu seperti ketakutan.”
“Memang saya ketakutan Pak.”
“Ada masalah apa?”
“O tidak ada. Hanya tadi ketemu pak Kepala sebentar.”
“Inikah yang menyebabkan kamu terlambat sekarang?”

.............................................................................................

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun