Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (18)

19 Juni 2014   01:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:12 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14032531531662465255

Seri 18 : MENGHAKIMI WAK WARDAN

Siang hari menjelang dhuhur Kyai Haji Soleh Darajat dan rombongan sampai di Widodaren. Laki-laki yang diberi amanat untuk memimpin pesantren itu sudah merancang sebuah tindakan. Beberapa santri telah diberi tahu tentang rencana hari ini. Semua yang diberi tugas sudah siap.

Akan tetapi rencana itu sepertinya bakal tidak berjalan mulus. Memasuki halaman pesantren, banyak orang yang berdiri menyambut. Namun wajah mereka seperti memendam ketidaksukaan.

“Kenapa mereka?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat kepada santri yang membuka regol depan.

“Maaf Pak Kyai, mereka kesal. Mereka merasa dibohongi.”

“Dibohongi apa?”

“Tentu saja kehadiran Sang Kyai. Tadi malam sebagian dari para tamu sudah mendapat kabar bahwa Sang Kyai telah datang, mereka bergembira. Tapi tidak tahunya Sang Kyai malah pergi lagi. Apalagi mungkin Sang Kyai datangnya juga belum tentu kapan.”

“Mereka tamu semua?”

“Kebanyakan iya Pak Kyai.”

“Maksud kebanyakan?”

“Sebagian lagi adalah warga kita sendiri, orang-orang masyarakat Widodaren ."

“Apa alasan mereka?”

“Tadi pagi saya sempat bergabung bersama mereka, kemudian saya dengarkan keluhan mereka.”

“Apa keluhan mereka?”

“Mereka merasa dirugikan dagangannya berkurang lakunya, karena kepergian Sang Kyai . Pembeli jadi berkurang.”

“Ini aneh .... kenapa harus menyalahkan Sang Kyai? Mereka dagang juga atas keinginan mereka sendiri... tak ada yang memanggil, tak ada yang memaksa.“

“Ya begitulah mereka Pak Kyai Haji... maklum orang kampung.”

“Biarkan aku bicara... Man berhenti.” kata Kyai Haji Soleh Darajat kepada supir Iman. Yang diminta segera menginjak rem.

Ketika Kyai Haji Soleh Darajat turun dari mobil serta berjalan ke arah orang-orang yang berdiri berkerumun, ada yang bertanya.

“Mana Sang Kyai?” tanyanya langsung. Kyai Haji Soleh Darajat yang tergolong temperamental merasa tersinggung.

“Apa? Kalau mau tanya yang sopan!”

“Iya ini juga sudah sopan. Kami sudah menunggu sejak kemarin. Mana Sang Kyai?”

“Masih di rumah sakit.”

“Itulah bodohnya Sang Kyai !”

“Apa? Bapak jangan kurang ajar dengan mengatakan Sang Kyai bodoh!”

“Kan Sang Kyai bisa mengobati sendiri anaknya. Mengapa harus jauh-jauh ke rumah sakit? Diobati sendiri juga sembuh.”

“Sang Kyai tidak yakin memberikan kesembuhan untuk kerabatnya sendiri.... karomah Sang Kyai hanya berlaku untuk orang lain. Jadi kalau keluarganya sendiri berobat, Sang Kyai tidak mampu.”

“Kalau begitu Pak Kyai segera telpon Sang Kyai, tinggalkan anaknya di rumah sakit. Obati kami yang sakit, keluarga kami yang sakit. Biarkan anaknya diobati dokter... kami jenuh menunggu lama-lama.”

“Bapak ini orang mana sih? Tidak tahu sopan santun!”

“Kami dari jauh, makanya kami kesal!”

“Memanganya siapa yang salah? Apa Sang Kyai mengundang Bapak? Bapak yang butuh ke sini ..... ya makanya ikuti keadaan di sini.”

“Pesantren apaan ini?!” Kata laki-laki itu seraya memukulkan telapak tangannya ke tiang. Bangunan terasa bergetar. Kyai Haji Soleh Darajat marah.

“Santriii...... usir orang ini!” perintah Kyai Haji Soleh Darajat kepada santri yang mengikutinya.

Tiga orang santri langsung mengepung orang yang ditunjuk. Kuda-kuda yang dipasang seragam, sebuah gambaran bahwa mereka terbiasa dengan latihan beladiri yang disiplin. Laki-laki yang dikepung itu mundur. Ia membalikkan badan, kemudian pandangannya tertuju kepada orang-orang di hadapannya.

“Ayooo bantu! Bantuuu! Katanya kesal pada Sang Kyai! Mereka melawan!” Katanya dengan gerakan tangan mengajak. Namun tak seorangpun yang merespon ajakannya.

“Sebaiknya Bapak pergi ..... yang kesal cuma bapak kok!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat merasa menang.

“Sialan semua!” Umpat laki-laki itu seraya menunjuk orang-orang yang diam.

“Mereka ke sini mau berobat. Bukan untuk marah-marah, apalagi mengajak berkelahi.”

“Sialan! Awas kalian, kalian saya laporkan!”

“Silakan laporkan. Mau melaporkan apa?”

“Berbuat tidak sopan kepada pasien.”

“Silakan!”

“Besok berita kalian ada di koran .... tunggu saja.”

“Tunggu saja apa? Rekaman video bapak ada pada kami ..... lihat! Silakan berita kami munculkan di koran! Kata-kata bapak saya munculkan di polsek, atau kalau perlu saya beberkan di televisi.” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil menunjuk santri yang memegang kamera digital. Rupanya sejak kedatangan Kyai Haji Soleh Darajat santri itu telah merekam dengan kamera digital. Laki-laki itu kaget kemudian menengok ke arah santri yang merekam adegan dialog dirinya dengan Kyai Haji Soleh Darajat. Santri yang merekam lari masuk ke dalam kompleks. Laki-laki pengacau itu ngomel tak jelas juntrungnya. Sesaat kemudian laki-laki itu berbalik kemudian meninggalkan halaman pesantren.

“Paaaak... pasiennya mana? Jangan ditinggaaal!” Teriak Kyai Haji Soleh Darajat pada laki-laki tersebut. Namun laki-laki itu tidak menggubrisnya. Tak berapa lama terdengar deru motor memekakkan telinga. Yang melihat kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala.

“Bapak-bapak, ibu-ibu ada yang kenal bapak-bapak tadi? Atau mungkin ada teman bapak-bapak tadi yang disebut pasien?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajatkepada orang-orang yang masih berdiri. Namun tak ada satupun yang menjawab.

“Maaf, dari bapak-bapak dan ibu-ibu, yang orang asli Widodaren, mohon untuk memisahkan diri..... di sebelah selatan. Silakan.... “ Kata Kyai Haji Soleh Darajat jelas. Beberapa orang asli Widodaren terhenyak. Mereka saling berpandangan.

“Kami tidak tahu menahu Pak Kyai Haji ..... “

“Ya tidak apa-apa. Saya hanya mau tanya, mengapa bapak-bapak ini ikut-ikutan di sini?”

“Diajak sama orang tadi.”

“Semuanya ini?”

“Ya benar.”

“Apakah benar bahwa bapak-bapak ini mengeluh kalau dagangannya tidak laku?”

“Yaaaa.... namanya orang dagang Pak Kyai ... kami paham jalan rejeki orang dagang, ada naik ada turun.”

“Bagus kalau paham. Nah untuk bapak-bapak yang dari Widodaren, kami mohon untuk segera kembali ke tempat semula.”

Tanpa menunggu perintah kedua,orang-orang asli Widodaren bergegas meninggalkan halaman pesantren. Kini tinggal mereka yang benar-benar pasien, atau orang yang punya kepentingan lain dengan Sang Kyai.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu ini mau ketemu Sang Kyai?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat memberikan harapan.

“Mau!”

“Ada solusi dari Sang Kyai. Untuk semuanya, baik yang jauh, yang dekat, yang menginap atau yang dug-dag. Tadi sebelum saya ke sini dari rumah sakit Sumber Waras, Sang Kyai mengamanatkan pesan pada saya. Beliau tidak bisa langsung ketemu bapak-bapak dan ibu-ibu. Beliau hanya memberikan masing-masing pasien satu botol air bening.”

“Alhamdulillaaaah.....” tampak kelegaan orang-orang itu tatkala mendengar penjelasan Kyai Haji Soleh Darajat.

“Tapi ingat, tidak boleh bohong. Tidak perlu serakah. Satu pasien hanya memperoleh satu botol. Jika ada yang mengaku-ngaku pasien, padahal ia hanyalah keluarga salah satu pasien, maka air ini tak ada gunanya. Jadi saya ulangi, cukup satu pasien satu botol.”

“Terimakasih Pak Kyai Haji.... “

“Sama-sama. Karena sekarang waktu dzuhur kurang dua menit, maka pembagian air nanti seusai shalat dzuhur. Yang mau menunaikan shalat, mari bersama-sama.” Ajak Kyai Haji Soleh Darajat .

Ajakan kyai pengasuh pesantren itu disambut dengan baik oleh para tamu. Siang itu masjid An Najm ramai. Para tamu banyak yang ikut shalat dzuhur berjamaah. Kyai Haji Soleh Darajat merasa lega telah berhasil mengatasi satu masalah.

Usai shalat dzuhur Kyai Haji Soleh Darajat dibantu beberapa santri membagikan air sesuai dengan daftar pasien. Kotak sumbangan yang disediakan dalam beberapa saat menjadi penuh. Melihat kotak sumbangan seperti itu Kyai Haji Soleh Darajat ingat bahwa dirinya pernah menyuruh salah satu santri untuk mengedarkannya di luar kompleks pesantren. Namun kini ia sadar dan malu dengan perbuatannya sendiri dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Di bagian pengantrian air tinggal beberapa orang. Kyai Haji Soleh Darajat mengingatkan santrinya bahwa siang itu rencana untuk menemui Wak Wardan harus segera dilaksanakan. Maka, begitu pasien terakhir mendapat jatah, para santri bergegas membereskan peralatan.

“Nanti kalau ada yang datang lagi bagaimana Pak Kyai Haji?”

“Yang tadi jaga, tetap di sini. Kalau ada yang datang, sampaikan informasi keadaan yang menimpa keluarga Sang Kyai . Lalu beri saja air seperti yang lain.”

Santri yang diminta jaga mengangguk mengerti. Sementara itu dalam waktu sekitar lima menit, dari dalam gudang pesantren beberapa santri keluar dengan mengendarai sepeda. Tempat Wak Wardan sebenarnya bisa dijangkau dengan jalan kaki, tetapi memang agak lama. Ditambah lagi kali ini musim kemarau, teriknya sinar matahari akan membuat hawa gerah yang teramat sangat.

Lima santri mendahului meluncur. Selang beberapa saat mobil pesantren itu menderu keluar halaman. Di dalamnya Kyai Haji Soleh Darajat ditemani dua pengasuh lain. Dalam waktu sekitar dua menit, mobil Kyai Haji Soleh Darajat telah sampai di gang menuju rumah Wak Wardan. Karena gang itu hanyalah jalan tanah yang cukup kecil sehingga tidak masuk mobil, maka Kyai Haji Soleh Darajat turun. Laki-laki diikuti dari belakang oleh tiga orang termasuk Iman si sopir. Beberapa saat kemudian lima santri yang bersepeda telah tiba juga.

Seperti layaknya sebuah pasukan terlatih, para santri itu berpencar mengelilingi rumah Wak Wardan. Kebetulan yang tampak di depan rumah hanya Ni Wak Wardan.

“Assalaamu’alaikum Niiii...”

“Waaa...alaikum....wassa..walikumsalam. Siapa bapak-bapak ini?” Ni Wak Wardan kaget bukan buatan ketika melihat rumahnya telah dikepung oleh beberapa orang.

“Kami dari pesantren Ni.”

“Ooo .... pesantren situ?”

“Iya, Widodaren sini.”

“Ada apa ya?”

“Kami cari Wak Wardan Ni.”

“Oooo... si Aki lagi ngarit.”

“Di mana?”

“Nderik kidul.”

“Nini tidak bohong Ni?”

“Tidak, buat apa bohong. Tapi ini ada apa ya? Kalian ini seperti marah?”

“Aaahhh tidak juga Ni.”

“Ya sudah sana, cari Aki di nDerik!”

Ni Wak Wardan rupanya tidak kenal siapa Kyai Haji Soleh Darajat. Dari sikapnya yang cuek menunjukkan hal itu. Kyai Haji Soleh Darajat sendiri tak ambil pusing dengan sikap Ni Wak Wardan. Laki-laki itu segera memerintahkan santrinya untuk menangkap Wak Wardan. Lima orang santri berlarian ke arah belakang rumah, kemudian melintasi kebun jagung.

Derik yang dituju mereka adalah sebuah tanah miring, di pinggir kali besar, kali Soso. Tempat ini menjadi tumpuan mereka yang punya ternak pemakan rumput. Walaupun musim kemarau tetapi rumput di daerah derik itu tetap subur. Daerah miring itu memang dinaungi pohon-pohon besar. Tak jauh dari tempat itu bahkan terdapat mata air bernama Sladan, sebesar betis orang dewasa , yang langsung membentuk sungai. Dari sini air bening itu mengalir langsung ke kali Soso.

Dekat mata air Sladan tampak laki-laki tua sedang menyabit rumput. Laki-laki itu tak lain adalah Wak Wardan. Ia selalu menyabit rumput ke daerah itu selama musim kemarau. Rumput untuk makan kambing-kambing yang ada di kandang belakang rumah. Hanya baginya mustahil memiliki kambing sebanyak enam ekor. Ia hanya buruh memelihara dengan dibayar bulanan. Jadi penghasilan Wak Wardan sebenarnya dua, dari buruh memelihara kambing, juga sebagai penjaga kuburan desa.

“Waaak!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan memanggil namanya. Laki-laki itu kaget. Kemudian menghentikan menyabitnya. Ia heran melihat ada lima pemuda.

“Kalian memanggilku?”

“Iya. Sekarang juga si Wak diminta pulang.”

“Pulang? Siapa yang menyuruh? Si Nini?”

“Bukan. Kami ini diutus oleh Kyai Haji Soleh Darajat untuk membawa Wak pulang.”

“Soleh?”

“Kyai Haji Soleh Wak! Jangan solah-soleh seenak sendiri!”

“Oooo... kyai yang pemarah itu?”

“Sopan Wak!”

“Ya memang dia pemarah!”

“Wak, sekarang ini Wak disuruh pulang ke rumah Wak sendiri, Kyai Haji Soleh Darajat menunggu di situ.”

“Ada urusan apa?”

“Urusan besar. Jangan pura-pura Wak!”

“Saya tidak paham!”

“Nanti dijelaskan oleh Kyai Haji Soleh.”

“Tidak mau! Jelaskan dulu masalah apa?!”

“Waaahhh.... si Wak ini ngelawan ya? Kalau tidak mau ikut, si Uwak kami tangkap.”

“Kalian mau tangkap aku? Nantang?! Saya ini orang tua! Kalian yang masih muda pada sopan sedikit.”

“Kami cukup sopan!”

“Sopan apaan? Awas, kalian pergi! Saya pegang sabit! Jangan main-main!”

Rupanya ada salah seorang santri yang sudah tidak sabar dengan sikap Wak Wardan. Santri itu bergerak cepat sekali ke arah Wak Wardan.

Dhuk! Lengan laki-laki tua yang memegang sabit itu dihajar dengan tendangan. Wak Wardan meringis kesakitan. Sabit tajam yang dipegang laki-laki tua itu terlontar cukup jauh.

“Kurang ajar kalian... ayo maju.....!” Tantang laki-laki tua yang sudah tak bersenjata lagi. Namun hanya sebuah kata-kata kosong yang menakutkan, karena tiba-tiba saja dari samping ada yang menyergap dan menelikungnya.

“Aaaa...uuuuhh...... “

“Diam!”

Akhirnya penangkapan Wak Wardan usai. Laki-laki tua itu tak memiliki banyak tenaga dan ketrampilan untuk melawan lima orang santri muda. Siang itu Wak Wardan berhasil ditangkap dari derik. Beberapa petani yang melihat kejadian itu terkejut melihat Wak Wardan diseret-seret.

“He siapa kalian? Kalian santri?” tanya salah seorang demi melihat pakaian yang dipakainya.

“Iya, kami diutus Kyai Haji Soleh Darajat untuk menangkap Wak Wardan.”

“Kenapa ditangkap?”

“Dia telah menikam santri tamu!”

“Apa?! Menikam? Menikan siapa?” Wak Wardan bertanya keras dengan nafas memburu.

“Diam! Si Wak telah menikam santri tamu, santri kalong dari pesantren Kedungjati....”

“Oooo..... jadi peristiwa tadi malam itu pelakunya Wak Wardan?”

“Bohoooong! Kalian fitnah! Aku tidak menikam.”

Setelah tahu duduk persoalan, barulah orang kampung itu meninggalkan mereka. Sementara itu Wak Wardan terus meronta, namun pegangan pemuda di kanan kirinya semakin kencang saja, bahkan laki-laki tua itu meringis kesakitan ketika salah satu dari santri itu memelintir tangannya.

Beberapa menit kemudian kelima santri yang membawa Wak Wardan datang. Demi melihat Kyai Haji Soleh Darajat , Wak Wardan merengek.

“Tolong saya Pak Kyai Haji.......”

“Tolong apanya? Sebentar lagi kamu bakal masuk penjara!”

“Lho memangnya si Aki ini salah apa to?” Tanya Ni Wak Wardan kaget mendengar suaminya bakal dimasukkanke dalam penjara.

“Dengar Ni... si Aki ini semalam telah menikam salah satu santri terbaik kami. Santri hafidz Niiii... santri yang hafal satu Al Qur’an!”

“Apa hubungannya dengan Al Qur’an?”

“Niii.... kalau santri itu sampai mati misalnya, maka dunia ini akan kehilangan mutiara!”

“Mati itu sudah takdir!”

“Sudah diam Ni! Boleh tidak boleh siang ini si Wak kami bawa ke pesantren.”

“Asal jelas dulu salahnya apa? Boleh .... bawa sana! Peliharasana!”

“Salahnya sudah jelas. Wak Wardan menikam Udin tadi malam itu tindakan pengecut. Beraninya sama orang yang lengah, menikam dari belakang!”

“Tidaaaaaaakkk....! Kalian tidak boleh memfitnah.”

“Memfitnah apaan? Bukti cukup kuat!”

“Kuat bagaimana?”

“Keris Wak Wardan yang malam-malan untuk mengancam di Widodaren, tadi malam menancap di punggung Udin! Keris itu sekarang ada di rumah sakit, mau dijadikan barang bukti keterdugaan keterlibatan Wak Wardan.”

“Tidak mungkin! Tidak mungkiiiiiin!”

“Jangan mungkir Wak!”

“Saya tidak terima kalian fitnah sayaaaa!”

Des! Sebuah bogem mentah menghantam wajah laki-laki tua itu. Rupanya salah satu santri sudah geregetan terhadap teriakan-teriakan Wak Wardan. Tubuh tua itu terjengkang. Kyai Haji Soleh Darajat terlambat mencegah, hingga akhirnya ia diam. Perlahan laki-laki itu bangkit dengan susah payah. Bawah mata Wak Wardan biru memar.

“Kalian akan rasakan akibatnya.... “ ancam Wak Wardan.

“Mau lagi Wak?” tanya santri yang tadi memukulnya.

“Kalian telah semena-mena memfitnah saya. Niniiii.... ambil Kyai Sendang Kawi segera! Biar orang-orang tak tahu sopan santun ini melihat dengan matanya yang picik!”

Tak menunggu lama Ni Wak Wardan masuk ke gubugnya, kemudian mencari-cari barang yang dikenalnya. Namun hingga beberapa lama, perempuan tua itu belum menemukan apapun.

“Di mana akiiii.....?” Teriak perempuantua itu nyaring.

“Di wadah biasanya!”

“Tidak ada Ki..... wadahnya kosong.... niiiih....” Kata Ni Wak Wardan sambil menunjukkan keris yang dicari. Laki-laki tua itu kaget bukan buatan.

“Apa?! Kosong?”

“Iya.....”

“Tidak mungkiiiin!”

“Memang kosong Ki... jangan-jangan memang Aki membunuh orang. Katanya dulu Aki kepengin membunuh keturunan Sang Kyai !” kata Ni Wak Wardan dengan polosnya.

“Tidak Niii... jangan ngawur! Keris itu masih ada. Kyai Sendang Kawi tak akan pernah berpisah dengan saya Niiii..... cari Ni sampai ketemu!”

“Sudahlah Wak, memang keris Wak itu yang menancap di punggung Abu Najmudin.”

“Bukaaaaan!”

“Berteriaklah sepuasmu Wak....ayoo santri, jalan!”

Wak Wardan diseret ke mobil. Laki-laki tua itu berontak, tetapi tenaganya kalah kuat. Akhirnya laki-laki pasrah ketika dirinya dipaksa naik ke mobil untuk dibawa ke pesantren. Sementara itu Ni Wak Wardan hanya bisa melihat suaminya dibawa para santri dengan terbengong-bengong.

Sampai di pesantren, Wak Wardan disekap dalam sebuah kamar dengan ukuran cukup kecil. Teriakannya yang berulang-ulang semula menarik perhatian orang-orang. Namun lambat laun lakilaki tua itu sepertinya serak, kehabisan suara hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya.

Usai memenjarakan Wak Wardan , Kyai Haji Soleh Darajat menelphon Sang Kyai mengatakan hal yang baru saja dilakukan. Sang Kyai sebenarnya cukup malu dengan keadaan ini. Kesan orang-orang pesantren melakukan penangkapan, sama sekali bukan hal yang baik. Bahkan bisa menimbulkan penilaian bahwa orang-orang pesantren adalah brutal dan main keroyok. Namun hal ini tidak dikatakan pada Kyai Haji Soleh Darajat . Sang Kyai hanya berpesan agar dikirimi orang untuk menggantikan menjaga Abu Najmudin.

Malam itu Sang Kyai dan Kyai Ahmad Hong yang sudah sehat diperbolehkan pulang. Malam itu di Widodaren terasa aneh bagi Sang Kyai. Baru kali ini ia merasakan Widodaren kehilangan sakralitasnya. Ia membayangkan bahwa salah satu ruangan di pesantren ini dihuni oleh orang yang disekap. Ya, sama sekali tak mencerminkan sebuah pesantren. Mungkinada yang berseloroh, bahwa Wak Wardan tidak dibawa ke pesantren, tapi dibawa ke markas. Sebuah nama yang mempunyai konotasi kekerasan bagi siapa yang dibawa ke sana.

Malam itu Sang Kyai telah kembali hadir di Widodaren. Beberapa santri yanag menyambut kedatangannya merasa kaku. Mereka melihat wajah Sang Kyai begitu tegang dan sama sekali tak mencerminkan keramahan. Kedatangan Sang Kyai bagi Kyai Haji Soleh Darajat juga demikian. Roman muka Sang Kyai yang gelap membuat pengasuh itu tak berani mendahului. Paling-paling hanya memberi salam ala kadarnya.

Begitu sampai di rumah utama, Sang Kyai langsung memerintahkan semua pengasuh berkumpul . Setelah itu memerintahkan Kyai Haji Soleh Darajat menghadirkan Wak Wardan. Kyai pengasuh itu tertegun sejenak.

“Apa tidak sebaiknya Sang Kyai istirahat sejenak? Nanti baru kita selesaikan masalah Wak Wardan.”

“Maaf Pak Kyai…saya sudah kenyang.”

“Ya, ya baiklah ….” Kata Kyai Haji Soleh Darajat yang merasa bahwa Sang Kyai sedang menyimpan sebuah ketidaksukaan.

Beberapa saat kemudian beberapa santri membawa Wak Wardan menghadap Sang Kyai. Demi melihat wajah Wak wardan yang lebam di bawah matanya Sang Kyai kaget. Dadanya naik turun. Mukanya merah menahan marah.***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

ngarit = menyabit / mencari rumput

Bersambung ke Seri-19

Insya Allah Sabtu mendatang .......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun