Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (13)

30 Mei 2014   22:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14014396791193188089

Seri 13 : LANGIT MENDUNG DI WIDODAREN

Kyai Haji Soleh Darajatmengejar Kyai Ahmad Hong sambil berteriak memanggil namanya. Namun kyai keturunan itu tak menggubrisnya. Kyai Haji Soleh Darajat melihat ada beberapa santri di depannya, ia memerintah.

“Tolong tahaan ustadz Hooong!”

“Apa Kyai?!”

“Tahan dia! Tahaaan cepaaaat!”

Dengar serta merta dua santri yang diperintah menangkap kedua lengan Kyai Ahmad Hong hingga tak bisa berkutik. Beberapa kali ia berontak, namun tak berhasil.

“Ustadz.... maaf. Maaf..... ustadz istighfar dulu. Jangan turuti emosi.” Kata Kyai Haji Soleh Darajat di depan Kyai Ahmad Hong . Kyai Cina itu mendongak. Matanya dikatupkan. Beberapa saat kemudian nafas dihembuskan.

“Astaghfirullah ...... saya kena apa Pak Kyai......”

“Ustadz harus sabar. Ustadz ini orangnya penyabar, mengapa ada masalah tiba-tiba emosi seperti ini..... “

“Saya orang paling berdosa para Farid Pak Kyai.... saya telah membunuh karakter yang baru kuncup kyai ... saya salah besar....”

“Ceritakan ..... “

“Pak Kyai Haji baca dulu surat itu...” Kata Kyai Ahmad Hong sambil menunjuk surat yang masih dipegang Kyai Haji Soleh Darajat .

Beberapa saat kemudian Kyai Haji Soleh Darajat usai membaca. Kyai pengasuh itu menghela nafas dalam. Bahkan kemudian tanpa diminta Kyai Ahmad Hong menceritakan kejadian sebelum maghrib tentang kedatangan Farid kepada dirinya dan Abu Najmudin. Dengan diceritakan semua hal yang dialami, barulah Kyai Haji Soleh Darajat memahami duduk persoalannya.

“Biarkan dia pergi ustadz .... biarkan ia menenangkan diri dulu.”

“Waktunya tidak banyak Pak Kyai, saya tidak ingin hatinya hancur karena kecewa, kemudian ia akan berubah menjadi manusia yang tidak benar.”

“Apakah ustadz merasakannya demikian?”

“Ini kekhawatiran yang wajar Pak Kyai. Makanya sekarang juga saya akan kejar dia...”

“Ke mana? Ke rumahnya?”

“Paling tidak ke Purwokerto. Mudah-mudahan ia menuju ke sana. Kalau malam ini tidak ketemu, apa boleh buat, saya harus mencarinya ke desanya.”

“Di mana?”

“Kutoarjo.”

“Jauh sekali.”

“Dia telah merasakan bahwa Kutoarjo – Widodaren tidak jauh Pak Kyai Haji. Sekarang ternyata telah ada ucapan seorang ustadz Widodaren yang menjauhkan dirinya dengan Widodaren, menjauhkan dirinya dengan pesantren, dan bukan tidak mungkin akan menjauhkan diri dengan cita-citanya menjadi mubaligh terkenal. Yang saya takutkan justru ia akan menjauhi Islam, karena ada yang mengatakan bahwa mubaligh itu tidak pantas untuknya..... astaghfirullah...... sekarang juga saya harus kejar Farid Pak Kyai.”

“Masih bisakah dipertimbangkan , saran saya besok saja. Sekarang sudah setengah sembilan malam.”

“Tidak Pak Kyai, saya berangkat sekarang.”

“Hubungi dulu HP-nya.”

Kyai Ahmad Hongmenyuruh santri yang mengantar surat menghubungi nomor HP Farid. Yang disuruh langsung melaksanakan perintah.

“Tidak aktif Pak Kyai Haji....” Kata santri itu setelah beberapa kali mencoba menghubungi nomor Farid Maulana.

“Tuh ustadz, bukankah mobildibawa Sang Kyai ?”

“Pakai motor.”

“Baiklah, tapi jangan sendirian, dan ustadz harus di belakang .....”

Malam itu Kyai Ahmad Hong benar-benar meninggalkan Widodaren. Lewat pintu samping, ustadz itu dibonceng salah seorang santri naik motor. Beberapa saat motor telah menyusuri jalan ke arah timur. Kyai Ahmad Hong menoleh ke belakang. Langit tampak bertabur bintang. Menara masjid An Najm tampak berkedi-kedip lampunya. Dari jauh ternyata masih terdengar sayup-sayup suara Zaniar yang menyampaikan materi di aula.

Seperti ayahnya, Sang Kyai , kini Kyai Ahmad Hong juga merasa bahwa pesantren Widodaren memiliki banyak masalah besar sejak kekaromahan Sang Kyai datang. Tadinya hampir ia tak merasakan, tapi ketika masalah itu menimpa dirinya, barulah ia merasa betapa pahitnya menghadapi sebuah masalah.

Sambil berfikir di perjalanan ini dirinya tentu akan berpapasan dengan Sang Kyai , sebab beberapa waktu tadi Kyai Haji Soleh Darajat mengatakan bahwa Sang Kyai sudah sampai di Sokaraja. Keluar dari Widodaren, motor melewati jalan utama Pemalang – Purbalingga. Beberapa waktu kemudian perjalanan sampai di daerah Bojongsari. Jalan masih cukup ramai, namun sepertinya arus semakin perlahan. Arus mobil dan motor yang semula silih berganti menderu, diseling dengan bunyi klakson yang bersahut-sahutan, kini hampir berhenti.

“Macet ya Mas?” Tanya santri yang memboncengkan Kyai Ahmad Hong ke orang di pinggir jalan.

“Iya macet. “

“Ada apa gerangan?”

“Ada yang nanggap wayang, ruwatan. Penontonnya sampai ke jalan, jadi ya harus ati-ati . Ikuti saja yang mengatur Mas.”

Lakone opo Mas?” Tanya santri itu iseng.

Suryono Mbalelo Betoro Kolo!”

“Oooo.... masa nama orang campur nama wayang? Aneh!”

“Sssst... sudah jangan tanya lagi ke dia. Nanti bisa marah. Ruwatan itu nanggap wayang untuk tumbal membuang sial.” Kata Kyai Ahmad Hong menerangkan.

“Ooo jadi yang sial itu Suryono apa Betoro Kolo?”

“Ya menurut paham mereka yang sial ya si Suryono. Kalau ada tanggapan wayang semacam ini, berarti Suryono itu termasuk bocah sukerto.

“Waaah... ustadz paham benar wayang!”

“Bukan paham, hanya ingin mencoba mempelajari jalan pikiran yang menganggap bahwa hidup mereka itu ada kaitan erat dengan dongeng pewayangan.”

“Ooo lha bocah sukerto itu apa?”

Bocah sukerto itu anak-anak yang diyakini termasuk dalam daftar anak-anak yang bakal dipangan atau dimakan Betara Kala, kalau orang sini mengatakannya Betoro Kolo, ilate Wong Jowo. Huruf a dibacao, aslinya Jawa, dibaca Jowo, Batara Kala dibacaBetoro Kolo!”

“Lah itu daftar anak-anak yang jadi makanan Betara Kala yang kaya apa?”

“Misalnya, anak yang hanya satu-satunya, namanya bocah ontang-anting . Dia itu jadi daftar menu makanannya si raksasa Batara Kala itu.

“Wauww!”

Uger-uger lawang, anak kembar laki-laki.

“Wauww!”

Gedhana gedhini, anak dua, yang satu laki-laki yang satu perempuan.”

“Wauww!”

Sendhang kaapit pancuran. Anak tiga , urutannya laki-laki, perempuan, laki-laki. Mungkin kalau dinalar, yaitu joroknya orang dulu, yang laki-laki itu alat pipisnya kan seperti pancuran, yang perempuan diibaratkan sendhang, atau tuk, atau mata air kecil yang membentuk kolam kecil. Jadi ada dua buah pancuran yang mengapit sebuah sendang.”

“Uuuuhhhh.... sampai sejauh itu.”

“Nah, kalau anaknya tiga, perempuan, laki-laki, perempuan, namanya kira-kira apa?” Tanya Kyai Ahmad Hong ke santri.

“Yan berarti sendhang kaapit pancuran!”

“Naaahh.... itulah... kamu langsung hafal.”

“Habis ustadz tadi nyrempet-nyrempet yang jorok sih.”

“Ya begitulah, kadang-kadang yang jorok itu mudah diingat orang. Ini bukan jorok, tapi ngelmu. Jadinya, kalau kamu punya anak, jangan kamu perdengarkan kata-katamu yang jorok pada anakmu ya.... anak-anak itu suci, gampang banget merekam yang jorok-jorok. Tapi kalau suruh belajar yang berat dikit yang serius, susahnya minta ampun. Ya tidak?”

“Betul ustadz! Doakan kelak anak-anak saya soleh seperti ustadz!”

“Hehe! Sadar! Jangan doakan anak itu soleh seperti orang lain! Tapi doakan anak-anakmu itu soleh seperti kamu ayahnya.... “

“Ahh... hehee..... iyaaa..... memangnya saya ini soleh ustadz?”

“Yaaaa... coba nilai diri sendiri.....”

“O ya, terus, apa hubungannya bocah sukerto tadi dengan nanggap wayang?”

“Untuk membuang sial. Bocah-bocah sukerto itu diyakini akan sial hidupnya karena menjadi makanan seorang raksasa bernama Betara Kala. Maka agar terhindar dari sial, sebagian orang punya paham, anak-anak sukerto itu harus diruwat. Sebenarnya nanggap wayang ini salah satu bentuk sesaji kepada yang diyakini , berarti termasuk yakin kalau Batara Kala itu ada di sekita dia. Nah kalau sudah nanggap wayang rasanya plong, karena anaknya bakal terbebas dari sial... “

“Ooooo.... begitu... terus mmm… menurut sepengetahuan saya Betoro Kolo itu kan tidak ada di Qur’an dan hadits ustadz.”

“Ya pasti tidak ada! Itu bukan ajaran Islam!”

“Ajaran apa? Kejawen?”

“Ya begini saja, kejawen atau bukan, nanti pikir sendiri. Kalau Betara Kala itu kan wayang, jadi sumbernya kalau bukan Mahabarata , ya Ramayana. Dan dua kitab itu bukan tuntunan hidup, buku itu hanyalah berupa dongeng. Yang Mahabarata itu intinya dongeng perebutan warisan kerajaan antara turunan Pandawa dan Hastina, nah kalau yang Ramayana itu intinya rebutan putri, atau perempuan, antara Dasamuka dan Prabu Rama.”

“Terus bagaimana kesimpulannya?”

“Kesimpulannya ya kamu jalankan motormuuu..... kita malah ngobrol, sementara yang lain sudah jalan dari tadi!” Kata Kyai Ahmad Hong mengingatkan.

“Ooo.. haiya... maaf ustadz. Lupa... habisnya cerita ustadz tadi menarik sekali sih!”

“Kamu bisa saja!”

“Kapan-kapan pada saat pengajian aqidah, materi ruwatan sepertinya bagus juga untuk dibahas.”

“Ya nanti tergantung Sang Kyai.”

Dua puluh menit berselang, perjalanan mereka sampai di Sokaraja. Dengan demikian berarti Kyai Ahmad Hong menyimpulkan bahwa kemungkinan berpapasan dengan Sang Kyai sudah terjadi, tapi tidak tahu di mana. Pemuda itu ingin menelpon ayahnya. Namun ia sangat kecewa ketika tahu bahwa HP-nya ternyata tidak terbawa. Jadilah ia merasa seperti orang hilang yang kehilangan kontak utara selatan.

Pukul setengah sepuluh malam.

Motor Kyai Ahmad Hong masuk dari gerbang barat, kemudian diparkir berjajar dengan motor-motor lain. Mungkin motor para pedagang, dan juga pasti motor-motor para pegawai terminal. Dinginnya udara serta kencangnya angin yang berhembus tak lagi dirasakan. Harapan Kyai Ahmad Hong adalah menemukan Farid Maulana ada di terminal.

Setelah melewati peron, keduanya menuju ke arah jajaran selatan untuk bis-bis besar yang akan berangkat ke arah timur.

“Bandung Mas?” Cegat calo atau mungkin crew bis.

“Tidak.”

“Kemana? Jogja?”

“Tidak.”

“Terus kemana?”

“Cari orang.... “

“Oooo cari orang .... “ Kata orang itu sambil mundur menjauh kemudian menawarkan jasa kepada orang lain.

Malam itu ada dua bis yang kelihatan hampir berangkat, satu Raharja jurusan Jogja satunya Sumber Alam jurusan Semarang. Dua-duanya tentu akan melewati Kutoarjo, tempat Farid Maulana tinggal. Dengan penuh harap Kyai Ahmad Hong naik dari pintu depan, kemudian mengamati semua penumpang yang sudah duduk. Hingga ke belakang tak satupun yang dicari. Tapi di barisan ke lima, Kyai Ahmad Hong melihat ada seseorang, yang menurut perkiraannya masih muda dengan muka ditutupi topi.

Berfikir jangan-jangan dia adalah Farid Maulana , maka Kyai Ahmad Hong balik lagi ke jajaran ke lima. Dengan hati-hati topi yang menutupi wajah diangkat.

“Heee! Apa situ buka-buka topi!” Kata pemuda itu yang tiba-tiba bangkit sambil marah-marah. Kyai Ahmad Hong kaget kemudian minta maaf. Sementara itu seluruh penumpang yang mendengar teriakan mengok ke arah keduanya.

“Aaa...aaa....saya minta maaf! Maaf bener Mas... salah orang.”

“Sopan sedikit dong!”

“Iya. Saya minta maaf! Saya sedang kalut mas....”

“Kalut-kalut!”

“Maaf benar mas, saya sedang cari saudara saya yang kabur dari Purbalingga.”

“Sialan ..... sana! Sanaaa....!” Kata pemuda itu sambil mendorong Kyai Ahmad Hong .

“Iya Mas... terima kasih... sekali maaf.”

Tergesa-gesa Kyai Ahmad Hong menuruni bis jurusan Jogja yang tak membuahkan hasil. Turun dari bis mengalami peristiwa dimarahi orang tentu ia tak ingin terulang lagi. Dengan lebih berhati-hati ia naik kemudian dengan tidak kentara ia meneliti semua penumpang jurusan Semarang. Namun semua usaha yang dilakukan sia-sia. Beberapa saat kemudian Kyai Ahmad Hong keluar tanpa membawa hasil. Ia berjalan gontai menuju bangku tunggu. Ketika mau duduk ia kaget diteriaki pedagang yang ada di belakangnya.

“Awas maaasss..... itu bangku ada muntahannya! Belum dkibersihkan!”

“Ooo terima kasih bu. Terimakasih.....”

“Yaaa...yaaa sama-sama. Aqua mas, buat persiapan ....” Kata penjual yang tadi melarang Kyai Ahmad Hong duduk.

“Boleh bu... yang itu bu! Dua.” Kata Kyai Ahmad Hong sambil menyodorkan uang.

“Alhamdulillaaaahh.. terimakasih.”

“Kita langsung pulang.... “ Kata Kyai Ahmad Hong sambil menyodorkan aqua botol ke santri.

“Bagaimana hasilnya ustadz?” Tanya santri.

“Nihil.”

“Oooo.... tidak ditunggu saja, barangkali ada perkembangan. Ya barang sampai setengah dua belas.”

“Kita terlambat. Mungkin sejak tadi dia telah naik sebelum kedua bis ini.”

“Itu yang bis jurusan Solo?”

“Kosong. Belum ada penumpangnya.”

“Tapi siapa tahu dia belum sampai di sini.”

“Tidakmungkin. Kalau dia perginya ba’da maghrib tentu sudah sejak tadi sampai. Kita kan tahunya dia pergi setelah ‘Isya ketika acara di aula berlangsung.”

“Ya sudah. Kalau begitu ....”

Keduanya berjalan meninggalkan tempat tem bis-bis di bagian selatan terminal. Kekecewaan tampak tergurat dalam di wajah Kyai Ahmad Hong . Rasa bersalah terhadap pemuda benar-benar membuatnya kehilangan selera apa saja.

Sementara tak jauh dari tem bagian selatan, seorang pemuda keluar dari masjid terminal di bagian timur. Pemuda itu berjalan gontai. Sebuah tas keresek dijinjingnya. Baju yang dipakainya baju koko yang cukup tipis, apalagi untuk ukuran perjalanan malam. Namun lengannya yang panjang dapat mengurangi rasa dingin. Mata pemuda itu melihat bis yang hendak berangkat ke Jogja, niatnya untuk naik diurungkan karena mobil ber-AC. Tentu badannya akan tersiksa dengan pakaian setipis itu. Yang ke Semarang sama saja. Ketika melihat mobil yang ke arah Solo masih belum ada penumpang, ia berniat naik bis tersebut. Belum adanya penumpang menyebabkan pemuda itu enggan untuk memulai naik.

Ia berjalan ke arah bangku tunggu yang kosong berniat duduk. Namun ia kaget ketika diteriaki oleh pedagang di dekatnya.

“Awas Maaass.... bangkunya kotor, ada muntahan, belum dibersihkan.”

“Oooo... terimakasih Bu.... terimakasih...”

“Mau ke mana Mas?”

“Kutoarjo.”

“Ni yang ini mau berangkat.”

“Nggak ah bu, bis AC, nggak kuat dingin baju tipis begini.”

“Tapi minum tetap butuh kaaaan?” Kata ibu pedagang itu seraya menyodorkan aqua botol.

“Ah ibu tahu sajaaa....” Kata pemuda itu yang kemudian membeli air mineral botol sedang. Ia membeli karena sebenarnya merasa berhutang budi telah diingatkan untuk tidak duduk di bangku kotor.

Ketika ia mendapatkan bangku yang kosong dan bersih, ia duduk. Sambil duduk ia iseng membuka kantong keresek. Ada buku kecil yang ia beli kemarin. Dan di tengahnya terselip stiker yang juga dibelinya di koperasi pesantren dengan tulisan PesantrenWidodaren. Mengabdi pada Ummat.

Tak jauh dari tempat itu, di halaman barat terminal , Kyai Ahmad Hongbaru saja meninggalkan halaman parkir. Sepeda motor yang dibawa santrinya menderu ke arah barat, kemudian berbelok menyusuri Jalan Gerilya Purwokerto. Setelah beberapa saat ke arah timur, jalanan lurus ke Sokaraja. Sepeda motor itu berjalan semakin cepat karena jalan telah lengang.

Jauh di Widodaren di waktu yang sama.

Sang Kyai telah datang di pesantren. Wajah laki-laki tampak lelah. Kyai Haji Soleh Darajat menjemput Sang Kyai dengan grapyak. Beberapa pengasuhpun tampak begitu antusias menyambut kedatangan pimpinan Widodaren itu.

“Bagaimana Widodaren selama dua hari ini Pak Kyai?” Tanya Sang Kyai kepada pengasuh paling itu.

“Insya Allah aman Sang Kyai , tak ada aral suatu apa .... “

“Kalau begitu saya mau mandi dulu .....“ Kata Sang Kyai sambil berjalan cepat ke rumah utama. Kyai Haji Soleh Darajat hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi. Hatinya ragu. Bibirnya yang sudah mau bicara diurungkan. Setelah tertegun sejenak Kyai Haji Soleh Darajat mecari beberapa pengasuh perempuan untuk menyipakkan kopi dan makan untuk Sang Kyai. Mereka dengan sigap menyiapkan yang diminta. Beberapa saat kemudian hidangan makan dan minuman kopi hangat sudah siap di atas meja. Untuk Kyai Haji Soleh Darajat juga telah disiapkan pula segelas teh panas manis.

Sambil menanti Sang Kyai muncul, Kyai Haji Soleh Darajat mondar-mandir. Ia tak nyaman dudukmenanti Sang Kyai keluar. Ketika yang ditunggu datang, Kyai Haji Soleh Darajat langsung mempersilakan Sang Kyai makan.

“Silakan Sang Kyai , yang lain sudah makan.”

“Iman mana?”

“Dia langsung ke dapur. Makan di sana.”

“O ya sudah... mari Pak Kyai...”

“Silakan, silakan..... “ Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil duduk di dekatnya. Kyai pengasuh senior itu menyeruput teh panas, kemudian makan pisang goreng yang telah terhidang di atas meja.

Tak ada yang bicara di meja makan. Semua warga pesantren diajarkan untuk tidak berbicara pada saat makan. Semua warga telah memahami. Oleh karena itu yang menjadi ciri khas di Widodaren adalah hening waktu shalat, hening pula waktu makan. Paling-paling suara sendok yang beradu dengan piring.

Usai makan Sang Kyai mengajak Kyai Haji Soleh Darajat ke balai untuk beristirahat. Kyai Haji Soleh Darajat mengikuti dari belakang dengan gelisah. Setelah duduk, Sang Kyai agak heran melihat Kyai Haji Soleh Darajat seperti tegang wajahnya.

“Ada apa Pak Kyai? Kelihatannya agak beda …”

“Emmm.... anu.... hanya memberi tahu, tapi mudah-mudahan Kyai Ahmad Hong sudah menelpon Sang Kyai.”

“Menelpon apa? Sepanjang perjalanan saya mencoba menghubungi, HP-nya seperti tidak aktif. Dimana dia sekarang?” Tanya Sang Kyai seraya melihat sekeliling.

“Itulah yang mau saya laporkan....”

“Ada masalah apa?”

“Ustadz Kyai Ahmad Hong malam ini ke Purwokerto.”

“Ke Purwokerto? Ke siapa?”

“Dia ke terminal dibonceng seorang santri mencari Farid yang pergi dari sini.”

“Farid? Farid yang mana? Farid yang saya suruh menginap kemarin itu?”

“Benar Sang Kyai .”

“Farid pergi kenapa?”

“Sepertinya anak itu tersinggung dinasehati oleh Kyai Ahmad Hong . Makanya anak itu pergi tanpa pamit. Nah Ustadz Hong merasa bersalah, ia akan memberikan penjelasan lebih lanjut . Makanya ia mengejar ke tempat di mana diperkirakan si Farid itu ada.”

“Si Hong ke terminal maksudnya mau mengejar ke dalam bis?”

“Mungkinbegitu Sang Kyai.”

“Astaghfirullaaahhhh....hal’adziiim, apa yang dikatakan dia? Ya Allaaah.... ada-ada saja.” Sang Kyai bergumam. Rasa cape yang ada, sontak menjadi hilang. Menjelang tengah malam, pikiran Sang Kyai bertambah satu lagi.

“Ini surat yang ditinggalkan Farid untuk ustadz Hong..... “ Kata Kyai Haji Soleh Darajat menyerahkan surat dari Farid untuk Kyai Ahmad Hong .

Beberapa saat surat itu dibaca Sang Kyai. Usai membaca Sang Kyai menghela nafas dalam-dalam. Rupanya anaknya telah memberikan pernyataan yang salah kepada Farid Maulana , sehingga pemuda itu malu dan memilih kabur.

Sang Kyai diam. Kyai Haji Soleh Darajat pin diam. Balai hening. Di beberapa bagian kamar terdengar tadarus. Namun beberapa detik kemudian telinga kedua kyai itu mendadak mendengar suara orang menjerit-jerit dari arah pintu barat.

“Ada apa Pak Kyai?”

“Iya. Biar saya cari tahu .....” Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil bangkit dari duduknya. Namun belum jauh Kyai Haji Soleh Darajat melangkah, dari depan ada santri yang datang tergopoh-gopoh.

“Maaf kyai....maaafff....anu...ada anu.... “

“Ssssstttt... tenang...tenang.... ada apa?”

“Ada... ada orang tergeletak di pinggir jalan, di luar pintu butulan sebelah barat.”

“Tergeletak? Mati atau pingsan?”

“Tidak tahu. Kami takut Kyaii....”

Merasa ada yang tidak beres Sang Kyai langsung berlari mendahului yang melapor. Di belakangnya Kyai Haji Soleh Darajat mengikuti. Sementara itu suara-suara tadarus terhenti demi mendengar orang menjerit-jerit. Para santri yang belum tidur keluar dari kamar asrama masing-masing. Saling tanya. Namun akhirnya mereka bersama-sama menuju ke arah kegaduhan.

Ketika Sang Kyai datang semuanya terdiam. Perlahan laki-laki itu mendekati sosok tergeletak yang tertelungkup. Di tengah temaramnya lampu penerangan yang hanya lima watt, semua melihat ada senjata menancap di punggungnya. Keriisss.....! Gumam Sang Kyai .

Semua menahan nafas. Sang Kyai kyai pelan-pelan meraba tangan sosok tersebut. Dia memberi kode ke Kyai Haji Soleh Darajat bahwa sosok itu masih hidup. Yang diberi kode mengangguk.

Perlahan tubuh itu dimiringkan dengan keris menancap yang belum dicabut. Ketika wajah sosok itu mulau terkena cahaya lampu, Sang Kyai melotot. Bibirnya bergetar. Keringat dingin mendadak merembes di dahinya.

Udiiinnnnnn.....!!! Teriak Sang Kyai menggetarkan telinga.***

Bersambung ke Seri 14.....

Insya Allah Senin mendatang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun