Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (12)

27 Mei 2014   15:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:04 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14011549521765841823

Seri 12 : PERGINYA CALON DA’I TERNAMA

Ba’da ‘ashyar Farid Maulana datang menemui panggilan Kyai Ahmad Hong . Pemuda asal Rowobayem Kutoarjo itu tergopoh-gopoh menemui ustadz itu dengan wajah riang.

Ustadz memanggil saya?”

“Ya. Ada perlu sedikit.”

“O ya.. ya... apa gerangan?”

“Kamu sudah semalam tinggal di sini. Tinggal menunggu kedatangan Sang Kyai saja. Menurutmu bagaimana keadaan di pesantren ini?” Kyai Ahmad Hong meminta pendapat.

“Waaahh ya bagus. Rame. Saya belum pernah melihat suasana seperti begini.”

“Kamu belum tahu pesantren?”

“Belum. Baru kali ini.”

“Kamu bercita-cita ingin jadi mubaligh terkenal Rid?”

“Hehehe... jadi malu. Kalau bisa ustadz.... makanya saya datang ke sini, dan saya yakin Sang Kyai akan bisa memberikan nasehat.”

“Insya Allah Sang Kyai akan memberikan nasehat..... “

“Alhamdulillah ustadz, saya sangat berterima kasih sekali. Saya sudah banyak membekali diri dengan rajin mengikuti pengajian-pengajian berbagai tempat. Saya sudah melihat bagaimana para mubaligh berdakwah. Mudah-mudahan cukup bekal saya, tinggal bagaimana saya mengasahnya.”

“Pernah belajar tajwid?”

“Pernah, Insya Allah bisa.”

“Nahwu-shorof?”

“Tidak ustadz.”

“Kalau misalkan diminta menjelaskan apa perbedaan laka, lakum, lakii, dan lakunnaa, pada sebuah obyek bisa nggak?”

“Maksudnya apa?”

“Oo ya sudah tidak jadi.... Ngg... kalau... Qur’an hafal berapa juzz?”

“Aaa..mmm.... saya pikir tidak perlu ustadz. Yang penting saya hafal beberapa ayat dalam kasus sehari-hari.”

“Biasanya untuk kasus-kasus apa?”

“Yaaa apa saja, akhlak dan sebagainya. Aqidah juga.”

“Muamalah? Bertamu, berniaga, berkongsi, muzaraah, tijaroh?”

“Tidak terlalu hafal.”

“Dzawil furudl?”

“Apa itu?”

“Faroid?”

“Ah tidak tahu ustadz.... “

“Kitab pegangan apa saja yang kamu punya?”

“Tafsir maksudnya?”

“Yaaaa.... kan kau lihat sendiri di perpustakaan pesantren banyak sekali buku. Yang pernah kamu pelajari buku apa misalnya? Bulughul Marom tahu? Kitab tentang apa?”

“Tidak ustadz..... “

“Ooo ya sudah... semangatmu bagus sekali. Ntar kalau Sang Kyai sudah pulang kamu pasti dapat nasehat dari beliau. Sekarang kamu boleh kembali ...”

“Terimakasih ustadz...”

Sepeninggal Farid Maulana Kyai Ahmad Hong hanya bisa menghela nafas panjang. Demikian pula Abu Najmudin yang sejak tadi mendengarkan Kyai Ahmad Hong mencecar Farid dengan pertanyaan yang berisi bekal-bekal dasar bagi da’i, ternyata sangat tidak cukup. Tapi Kyai Ahmad Hong tak mungkin untuk mematahkan semangat pemuda itu. Alangkah lengkap seandainya sejak kecil ia mengenal pesantren. Semangatnya yang sangat besar sebenarnya bisa mencerminkan modal dasar pendukung hidayah yang dimiliki seseorang.

Kadang-kadang minat pada agama yang telah ada hilang atau luntur di tengah perjalanan waktu, tergantung pada lingkungan. Misalnyaorang tua yang sama sekali tidak tertarik dengan ilmu agama, ia sama sekali tak peduli dengan pendidikan anaknya. Namun kadang-kadang ada seorang yang tak mendapat dukungan orang tua, tiba-tiba ia menemukan jalan sendiri untuk menjadi seorang yang mumpuni dalam ilmu agama. Bahkan mungkin ada orang-orang yang latar belakangnya tergolong orang-orang yang tak mengerti agama, bahkan bejad moralnya, berubah drastis menjadi seorang da’i.

“Kasihan Farid ustadz .... dia orang yang harusnya mendapat bimbingan sejak dini. Saya melihatnya bagaikan orang yang tenggelam menggapai-gapai tapi tidak ada yang menolong.... seandainya sejak semula ia bertemu dengan lingkungan pesantren... “

“Benar Din. Saya jadi terenyuh melihat keadaan dia.”

“Mudah-mudahan Sang Kyai mampu mengubahnya.”

“Maksudnya mengubah apa? Mengubah dia menjadi seorang hafidz misalnya?”

“Bukan ustadz. Itu tidak mungkin, bertentangan dengan sunatullah. Tak ada orang yang tidak belajar terus menjadi mampu penghafal Qur’an. Semua ilmu dunia harus dipelajari detik demi detik.”

“Subhanallah. Benar Din.”

“Terus bagaimana nasib Farid?”

“Nasib apa maksudnya? Begini saja, biar saja nanti Farid yang menjadi tanggungjawab Sang Kyai. Mudah-mudahan nasehatnya akan dipamahi olehnya. Dia memang ke sini keyakinannya hanya pada Sang Kyai bukan?”

“Iya.”

“O ya Din, baru saja Sang Kyai menelpon, katanya beliau malam ini pulang dari Kedungjati.”

“Ooooo... ya syukurlah. Mudah-mudahan tak ada aral melintang di jalan. Amin.”

Menjelang maghrib Kyai Ahmad Hong menuju ke aula utama. Beberapa santri tengah mempersiapkan peralatan semacam sound system serta peralatan listrik lainnya. Para santri yang tahu Kyai Ahmad Hong datang berebutan mencium tangannya.

“Sudah beres semua?”

“Sudah ustadz. Tinggal chek terakhir nanti malam ba’da ‘Isya saja katanya. Mudah-mudahan tidak ada masalah.”

“Assalaamu’alaikum!”Ada yang bertanya di belakangnya. Kyai Ahmad Hong menoleh.

“Wa’alaikumussalaaam... kamu Din?”

“Tadi saya cari ustadz, tapi tidak tahunya malah di sini.”

“Ada apa?”

“Farid mau ketemu.”

“Farid?”

“Iya. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan ustadz.”

“Dia ada di kamarnya?”

“Iya.”

“Ya gampang nanti sajalah ... ini tanggung, hampir maghrib. Katakan saja nanti ba’da ‘Isya, biar leluasa ngobrolnya.”

“Ya, ya... nanti saya sampaikan. Nggg... tapi ngomong-ngomong ini ada acara apa ustadz? Kok saya tidak tahu?”

“Hehehe acara darurat.”

“Menyambut kepulangan Sang Kyai ya?”

“Bukan. Ini acara khusus untuk santriwati. Nanti ada ustadzah modern yang akan menyampaikan ceramah dan materi penayangan film.”

“Wah menarik sekali itu. Ada penayangan filmnya?”

“Ada. Tapi film dari laptop.”

“Ikut nonton ah....”

“Tidak boleh. Khusus santriwati!”

“Ooo hahaaa... siapa penceramahnya?”

“Putrinya.... putrinyaa.....manaaa yaaaa.....eemmmm naaah.... putrinya orang itu tuuuh!” Kata Kyai Ahmad Hong sambil menunjuk orang di kejauhan. Abu Najmudin kaget.

“Putrinya Kyai Haji Soleh Darajat ?”

“Iya.”

“Yang anak kampus?”

“Iya.”

“Yang namanya Mbak Zaniar itu?”

“Iya. Kok kamu tahu?”

“Tahu ustadz. Emmmh... orangnya ... waduuuhhh....”

“Kenapa waduh? Cantik ya?”

“Ustadz tahu saja....”

“Ya tahu ya.”

“Saya juga tahunya dia putrinya Pak Kyai Haji Soleh baru tadi pagi. Dari ibu Sayem, pedagang nasi rames di pasar tiban depan situ.”

“Awalnya bagaimana?”

“Awalnya tadi pagi pas saya makan, dia masuk, mengambil data atau catatan apa itu. Nah setelah itu kan saya tanya-tanya pada si ibu itu.... ya itulah, katanya namanya Mbak Zaniar. Katanya juga punya adik perempuan juga...”

“Wah..wah.... lengkap juga informasinya?”

“Orangnya kayanya pinter ya ustadz?”

“Kalau bisa kuliah ya pinter.”

“Dia tidak mesantren?”

“Itulah. Memang tidak. Pas SD, dia di SD biasa. Tapi sorenya ia rajin di sini. SMP dan SMA juga sekolah biasa, tapi mengajinya juga bagus. Jadi sebenarnya dia itu pinter sana-sini. Ngaji pinter, ilmu umumnya juga pinter.”

“Wuaaah..... bagus juga itu Pak Kyai Haji Soleh memutuskan jalan hidup putrinya.”

“Tapi awas ya .... kamu tidak boleh tertarik sama Mbak Zaniar, sekali lagi, tidak boleh ....”

“Kenapa? Dia sudah dilamar orang?”

“Setahu saya dilamar belum, tapi sudah direncanakan....”

“Dalam Islam tidak apa-apa ditanya, kalau memang belum dilamar! Kalau sudah dilamar , baru kita tidak boleh.... “

“Tapi yang merencanakan kayanya serius .... “

“Oooo... orang mana itu?”

“Jauh sih. Orang luar Jawa .... “

“Ouuu jauh sekali.... apa nanti Pak Kyai Haji Soleh tidak kehilangan kalau putrinya dibawa ke luar Jawa?”

“Tak tahulah.... “

“Tapi berharap nggak apa-apa kan ustadz? Toh dia belum dilamar orang.“

“Ssstttt malu! Di pesantren gak boleh ngomong begitu!”

“Kenapa?”

“Nanti calonmu yang di Kedungjati marah!”

“Calon apaan? Tidak punya ustadz...”

Kyai Ahmad Hong hanya tertawa melihat Abu Najmudin tersipu-sipu. Pembicaraan kedua pemuda itu cukup wajar juga. Membicarakan perempuan, apalagi dengan fisik yang cantik, wajar bagi laki-laki di manapun. Bahkan dari lingkungan pesantren banyak para kyai yang mempunyai istri lebih dari satu.

Agak kecewa juga sebenarnya Abu Najmudin tidak bisa melihat kegiatan yang diberikan oleh Zaniar. Tapi karena acara itu memang khusus untuk santriwati, ya apa boleh buat. Kata pemuda itu dalam hati. Ia juga berfikir, seandainya acara itu diperuntukkan untuk para santri putra dengana pembicara putri, tentu banyak santri yang matanya melihat kepada si penceramah yang cantik, daripada menyimak isi materi.

Menjelang acara di aula, Kyai Haji Soleh Darajat duduk bersama dengan Kyai Ahmad Hong. Sementara Abu Najmudin sedang berada di serambi masjid An Najm mengajari hafalan beberapa santri. Suara Zaniar terdengar cukup keras dari salon di ruang alua.

“Pak Kyai.... emmm apakah Mbak Niar jadi dengan Pak Guru Damar?” Tanya Kyai Ahmad Hong membuka pembicaraan.

“Ah, belum tahulah. Niar sekarang berubah jadi pendiam. Sulit diajak bicara. Pernahkah si Niar kontak dengan ustadz?”

“Pernah sekali, belum lama, ketika saya minta tolong di-print­-kan tulisan larangan mengambil batu atau kerikil itu Pak Kyai...”

“Ooo yang itu. Selebihnya?”

“Ya ketika kemarin pagi bapak mengatakanbahwa Bapak dan Ibu telah membicarakan hubungan saya dengan Mbak Niar ... itu saja....”

“Oooo... yayyaaa.... saya ingat.”

“Ustadz mau melamar anak saya?”

“Kan ada Pak Guru Damar.”

“Kenapa dengan Pak Guru?”

“Pak Guru sepertinya masih berharap mendapatkan Mbak Niar. Buktinya sekarang juga, alat sorot, apa itu namanya? Infokus atau apa itu, kata Mbak Niar dipinjamnya dari Pak Guru.”

“Iya siiih....”

“Itu artinya sebenarnya Mbak Niar masih bimbang.”

“Ustadz sendiri sebenarnya suka apa tidak ke Niar?”

“Insya Allah, kalau Pak Kyai Haji mengijinkan....”

“Artinya kalau tidak diijinkan tidak suka?”

“Hehehe... bukan begitu. Kalau tidak diiijinkan, saya berhenti berharap. Barangkali bukan jodoh.”

Laki-laki di hadapan Kyai Ahmad Hong terdiam. Sebenarnya ia sudah paham dengan apa yang menjadi pertimbangan Kyai Ahmad Hong . Tinggal ia mengatakan, boleh atau tidak putrinya dilamar. Akan tetapi untuk mengatakan, tak semudah yang menjadi pikirannya. Apalagi Kyai Haji Soleh Darajat tahu, Kyai Ahmad Hong adalah anak angkat Sang Kyai . Dalam sebuah kesempatan Sang Kyai pernah menyampaikan sarannya kepadanya agar anak-anak mereka itu dijodohkan saja.

Setelah beberapa saat keduanya terdiam tiba-tiba Kyai Haji Soleh Darajat tersadar ketika HP-nya berdering.

“Ooh...oooh.... wa’alaikumusaalam Sang Kyai .... iya..iya. Ada, ustadz Hong ada.... ya..yang lain baik-baik saja. Udin? Ya...ya nanti saya tanyakan ke ustadz Hong. Iyaa.... oooo.... sudah di Sokaraja? Yaa.....yaaaa...... nanti... nanti .....yaa.... wa’alaikumussalam!” Kyai Haji Soleh Darajat mengakhiri pembicaraan telephon dengan Sang Kyai .

“Dari Sang Kyai Pak?”

“Iya, tadi beliau menanyakan ustadz ada apa tidak. Yang kedua Udin ada apa tidak?”

“Oooo....”

“Sekarang beliau sudah sampai Sokaraja.”

“O ya cukup dekat juga.”

“Tadi pagi saya sudah telephon Sang Kyai , perihal acara si Niar. Katanya silakan saja. Tapi anehnya Sang Kyai tidak cerita kalau sekarang pulang.”

“Ya mungkin ada perubahan pikiran.”

“Atau masalahnya sudah beres?”

“Ya syukur kalau memang beliau punya masalah dan sudah beres...... “

Assalaamu’alaikum!

Terdengar salam di sela keduanya berbincang-bincang. Kedua kyai itu menoleh. Yang datang salah seorang santri dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat.

“Emmm ini ustadz, saya Kardiman, santri yang satu kamar dengan Farid yang datang kemarin.... “

“O iya....terus ada perlu apa?”

“Baru saja saya terima SMS dari Farid, katanya.... tolong titip surat yang di meja untuk ustadz Ahmad Hong. Tks....begitu.”

“Mana suratnya?” Pinta Kyai Haji Soleh Darajat .

“Ini ustadz, silakan.... “

“Mmm... ya... untuk Ustadz Ahmad Hong... untuk ustadz!” Kata Kyai Haji Soleh Darajat seraya menyerahkan surat itu kepada Kyai Ahmad Hong. Kyai muda itu berdebar hatinya dijalari perasaan tidak enak, sebab baru beberapa saat ia bertemu Farid Maulana. Sekarang kenapa mesti pakai surat? Pikirnya.

Perlahan kyai keturunan itu membuka surat yang tidak dilem dengan tangan bergetar, kemudian dibuka dan dibaca :

............. Assalaamu’alaikum ustadz. Ijinkanlah saya menyampaikan curahan hati saya, berkenaan dengan masalah yang kita bahas tadi sore. Ustadz benar, saya akui, saya orang yang tidak tahu hadits, tidak tahu kitab, tidak hafidz, tidak punya dasar-dasar ajaran Islam. Alangkah lucunya seorang da’i tidak pernah mengerti kehidupan pesantren yang bersahaja tetapi dalam dalam makna.

Terus terang, dalam hati saya timbul ketakutan jika pas saya manggung, ada materi yang ditanyakan jama’ah, misalnya tentang tijaroh, muzaraah, faroidl atau apa saja. Saya takut malu di depan umum ustadz. Saya nekad menyampaikan keinginan saya kepada Sang Kyai karena modal kebisaanku berpidato. Saya biasa berpidato dengan berapi-api ustadz.... alangkah indahnya jika sejak kecil saya telah masuk pesantren. Bisa memadukan kemahiran saya pidato dengan ilmu Islam yang dalam dan luas. Tapi saya menyesal, mengapa baru sekarang di umur dua puluh limaan saya menyadari hal itu.

Saya telah telah terlambat untuk mempelajari Islam ustadz..... makanya malam ini tanpa ijin ke ustadz saya telah merelakan Widodaren yang semula saya harapkan menjadi tonggak baru bagi hidup saya. Saya sekarang telah jauh meninggalkan Widodaren sejak ba’da maghrib tadi.

Cukuplah saya bertemu ustadz Hong, terimakasih atas segala nasehatnya. Tak layak saya sowan pada Sang Kyai ...... Wassalam.

Lunglai tangan Kyai Ahmad Hong . Jari yang memegang surat itu melemah. Surat yang baru dibacanya jatuh ke lantai. Mata Kyai Ahmad Hong berlinang. Beberapa saat kemudian bahkan air matanya semakin deras. Pemuda Cina ini menangis sambil menelungkupkan wajahnya di meja.

Di depannya Kyai Haji Soleh Darajat bingung. Ia melihat pada santri yang mengantar surat. Yang dilihatnya pun hanya diam tak berkata apa-apa.

Hingga beberapa saat Kyai Ahmad Hong menangis, tangisnya reda. Kyai Haji Soleh Darajat memegang bahu Kyai Ahmad Hong , kemudian ditariknya demi sedikit hingga bangkit dari tertelungkupnya.

“Istighfar ustadz......”

“Astaghfirullahal ‘adziiimm.....”

“Minum dulu .... “ Kata Kyai Haji Soleh Darajat sambil menyodorkan gelah berisi air bening. Kyai Ahmad Hong menghela nafas, kemudian sedikit air di gelas diminumnya.

Beberapa saat kemudian Kyai Ahmad Hong tampak lebih tenang. Matanya sembab. Surat yang tadi terjatuh sudah ada di meja.

“Saya berdosa Pak Kyai ..... “ Kata Kyai Ahmad Hong lirih.

“Ceritakan ustadz.”

“Pak Kyai Haji telah baca surat ini?”

“Tidak. Saya hanya memungutnya. Surat itu untuk ustadz, saya tidak berani membaca.”

“Sekarang juga saya harus susul dia .... mudah-mudahan belum sampai Purwokerto.....” Kata Kyai Ahmad Hong bergegas.

Kyai Haji Soleh Darajat kaget melihat Kyai Ahmad Hong berlari. ***

Bersambung ke Seri 13

Insya Allah Jumat mendatang



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun