Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menilai Diri, Apakah Kita Pendengki atau Berharga?

9 Januari 2016   15:26 Diperbarui: 9 Januari 2016   16:13 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Tulisan ini pasti ngawur. Bagaimana mungkin kita menilai diri kok ditayangkan di media umum. Ngawur kan? Mestinya menilai diri ya sudah, sendirian saja. Merenung. Menimbang-nimbang. Geleng-geleng. Manggut-manggut. Mengepalkan tangan. Mengelus dada. Mengambil nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Hhhh…mmmhhhhh……. !”

Instink Dengki

Dengki, menurut aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Offline 1.3 adalah : menaruh perasaan marah (benci,tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.
Salah satu yang membuat dunia ini ramai adalah dengki. Rasa tidak suka atas keberuntungan atau kesuksesan yang diraih orang lain. Sukses juga bermacam-macam indikatornya. Sukses bisa berbentuk dimilikinya harta baru, sukses bisa berbentuk diraihnya jabatan baru, sukses bisa berbentuk ketenaran baru, sukses bisa berbentuk karena prestasi-prestasi lain yang mungkin tak terkatagorikan pada katagori di atas.
Jika dalam diri kita terdapat rasa dengki kepada orang lain, ada beberapa konsekuensi atau kondisi yang muncul bersamaan dengan perasaan dengki yang ada di hati kita.

Pertama, orang yang kita jadikan obyek rasa dengki kita mungkin tidak tahu. Kita kesal, marah, iri, tapi orang lain tersebut tidak tahu. Dalam kondisi seperti ini rasanya kita memiliki dua kerugian, yakni dengki dan rasa sakit terhadap diri sendiri.
Kedua, jika kita dengki kepada seseorang, apakah Tuhan akan mencabut nikmat yang diberikan kepada orang yang kita dengki tersebut? Rasanya tidak. Tuhan tidak semurah itu mendukung seorang pendengki. Jadi jika kita dengki kepada seseorang, jangan libatkan Tuhan, apalagi sampai berdoa yang jelek agar nikmat orang lain itu hilang. Berteposeliro-lah sedikit, apakah jika kita didoakan jelek oleh orang lain kita merasa bersyukur?
Pernahkah dengki terhadap orang yang kurang atau tidak berprestasi?

Sangatlah aneh jika ada di antara kita ada yang dengki terhadap orang miskin. Iri terhadap ketidakberadaannya, iri terhadap kekurangannya. Analogi lainnya, tentu akan sangat aneh jika kita dengki kepada orang bodoh. Iri akan kebodohannya, iri akan ketololannya (na’udzubillah min dzalika!). Jika Anda penggemar Kompasiana, sangatlah aneh jika Anda dengki kepada kompasianer yang tulisannya satu tahun satu kali, atau sangatlah aneh Anda dengki kepada kompasianer ahli menulis humor yang tidak lucu-lucu.

Dengki terhadap tetangga yang baru membeli motor baru, wajar. Dengki terhadap teman sekantor yang baru dapat utangan bank 150 juta, wajar. Dengki terhadap kompasianer terverifikasi biru, wajar. Dengki terhadap kompasianer terverifikasi hijau, hampir wajar. Dengki terhadap kompasianer yang diundang makan ke Istana, wajar. Dengki terhadap kompasianer langganan HL, wajar. Banyak sekali kewajaran-kewajaran yang muncul sebagai respon dari rasa dengki seseorang.

Anggap saja secara ekstrim “ketiadaan = bangkai kucing”, berapa banyak manusia yang memiliki rasa dengki terhadap ketiadaan (tiada harta, tiada ilmu, tiada tampang, tiada tenar dsb)? Berapa banyak manusia yang dengki terhadap bangkai kucing? Tak ada. Bahkan untuk menendangpun rasanya sayang jika ujung kakinya bersentuhan dengan bangkai.

Berterimakasihlah kepada para pendengki

Rasa dengki kadang hanya disimpan dalam hati, namun kadang rasa dengki itu diwujudkan dengan cacian atau makian. Cacian atau makian kadang-kadang berujud ungkapan lisan, kadangkala berujud komen atau tulisan dalam media (koran, majalah, blog – baik blog pribadi atau blog keroyokan semacam Kompasiana).

Kita bisa melihat betapa obyek-obyek kedengkian (umumnya orang, perilaku, atau hasil karya) orang secara nyata. Mau melihat siapa saja yang menjadi obyek kedengkian orang, tinggal dilihat. Di sana akan tampak bahwa banyak sekali orang-orang yang namanya menjadi bahan omongan yang dilandasi kedengkian orang lain.

Jika Anda ingin melihat seberapa sukses diri Anda, di antaranya, lihatlah seintens apakah Anda dihujat orang, dicacimaki orang. Hal ini dilandasi dengan pemahaman bahwa sebegitu pentingnya Anda di mata para pendengki. Bukankah orang yang tidak punya kelebihan apa-apa tak mungkin didengki bahkan dihujat orang? Dengan demikian, maka sebenarnya jika ada orang lain yang menghujat kita, yakinlah bahwa ada kelebihan dalam diri kita. Kita adalah sosok yang berharga bagi mereka, karena diri kita selalu hadir di dalam pikiran mereka.

Mari Pelihara Para Pendengki

Ajakan memelihara para pendengki tampaknya sangat “nakal”. Mestinya “Mari Berangus Para Pendengki”. Tetapi, mari kita seksamai beberapa sisi yang menguntungkan yang diambil oleh banyak orang atas kelakuan para pendengki.

1. Inspirasi bagi para penulis

Sifat dengki dengan segala stimulus-responnya akan dapat diolah mejadi bahan tulisan, baik itu tulisan ilmiah (psikologi) ataupun tulisan fiksi. Apalagi jika tulisan itu berbentuk fiksi, pasti akan muncul klimaks dan anti klimaks. Bayangkan jika di dunia ini dipenuhi oleh orang yang baik hati, tentu para penulis tak akan dapat memperoleh bahan tulisan yang hangat.

2. Inspirasi bagi para pembuat film, sinetron dan sejenisnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun