Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ki Hadjar Dewantara Menangis

1 Mei 2014   04:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1398901062687033238

Sumber foto : http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

Bingkai : Kreasi Pribadi

KI HADJAR DEWANTARA MENANGIS:

DUNIA PENDIDIKAN SIAGA 1

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta, 2 Mei1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April1959.Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumiIndonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi sloganKementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasionaloleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)

Siaga 1

Dalam konteks penanganan bencana, Siaga 1 mengandung arti siap berpindah. Siap mengungsi. Lingkungan bencana sudah tidak mungkin lagi memberikan harapan untuk keselamatan hidup. Semua harus rela melepas semua harta benda. Biarlah pemerintah melalui Satkorlak Penanggulangan Bencana yang bertindak.

Dalam konteks pendidikan, banyak fakta, opini, tindakan, atau apa saja yang semuanya mengarah kepada buramnya kondisi pendidikan di Indonesia. Skala yang dilihat hampir di seluruh tingkatan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Respon dari banyak pihak datang silih berganti bagaikan lalu lalangnya orang-orang di pasar. Ada yang menyampaikan kritik di media cetak, ada yang melalui dialog live di televise, ada yang melalui banyolan-banyolan mengkritik pendidikan dengan cara terselubung, ada yang melalui diskusi ilmiah di kampus-kampus, ada yang melalui diskusi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), baik tingkat sekolah, kabupaten, provinsi, bahkan tingkat nasional. Ada yang melalui demonstrasi secara frontal di depan kantor para pemangku kebijakan pendidikan, ada yang menampilkan keprihatinan dengan adegan teatrikal di jalan raya atau perempatan lampu traffic-light. Ada yang hanya sekedar curhat sesama guru, di ruang guru, atau di kantin-kantin sekolah.

Jika dikiaskan , kondisi buram pendidikan di negara kita inilah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara menangis. Penyimpangan, keprihatinan, kecurangan, yang terjadi di lingkungan pendidikan hampir tak terhitung dengan jari tangan.

Mari kita lihat beberapa fakta yang bernuansa keprihatinan yang terjadi di lingkungan pendidikan kita.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Pada level PAUD tinjauan secara psikologis dan kemanusiawian, anak-anak dalam usia ini lebih cenderung untuk dikenalkan kepada lingkungan, proses soalisasi dengan teman sebaya dan lingkungan sekolah, pengenalan / pendidikan tatakrama kepada teman, guru, atau keluarga di rumah. Suasana riang gembira harus menjadi ikon di PAUD.

Kesalahan yang terjadi akan dimulai jika telah terjadi sebuah komopetisi yang tidak sehat antar PAUD. Masing-masing akan memunculkan nilai plus pada peserta PAUD. Sebut saja pembebanan kegiatan baca, tulis, dan berhitung (calistung).PAUD yang mampu mencetak pesertanya menjadi jago-jago calistung, akan memberikan nilai tambah pada PAUD itu sendiri secara kelembagaan, termasuk juga terdapat peningkatan pamor para pengajarnya. Bagi orang dewasa, prestasi memang sebuah kebanggan. Bagi sebagian orang prestasi hasil sebuah kompetisisering dijadikan indicator keberhasilan pembinaan peserta.

Belum lagi masalah eksternal di luar jangkauan pengawasan orang tua, sebagaimana kasus pelecehan seksual / kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS) baru-baru ini. Ini akan memunculkan school-phobia di kalangan orang tua, juga anak-anak itu sendiri. Dampak lain tentu akan berimbas kepada turunnya kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pendidikan. Selain turunnya kepercayaan bisa juga berkembang menjadi meningkatnya kecurigaan masyarakat kepada guru.

Pendidikan Dasar (SD dan SLTP)

Keluhan sebagian orang tua tentang kurang gregetnya pengajar SD. Latar belakang penguasaan kompetensi yang mungkin kurang sempurna mengakibatkan kasus-kasus kecil muncul. Yang pernah merebak adalah kasus tabungan siswa di sekitar bulan Juni. Anak yang bersitegang dengan orang tua gara-gara membahas masalah pekerjaan rumah (PR). Misalnya orang tua tahu bahwa konsep matematikadari guru SD salah, tetapi anak tetap percaya kepada guru SD. Sementara orang tua tidak berani meyampaikan complain ke guru, lantaran takut malah anaknya yang akan dimarahi.

Pada penyelengaraan pendidikan kesetaraan paket B, saat ujian sangat mungkin peserta tidak pernah melaksanakan ujian karena yang mengerjakan adalah tutor. Jika ditengok tempat belajarnya, seberapa persen dari seluruh penjuru negara kita ini yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar?

Para level di atasnya, anak-anak seusia SMP menjadi kelompok yang rentan terhadap pengaruh-pengaruh buruk lingkungan. Merokok, narkoba, pacaran, bolos, dan sebagainya. Apalagi untuk sekolah-sekolah yang jauh dari pemantauan pusat secara geografis. Kondisi kegiatan belajar mengajar sangat memungkinkan untuk kurang kondusif.

Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA)

Anak-anak SLTA yang disebari virus hedonism, tak lagi akrab dengan buku. Perpustakaan kosong. Padahal untuk usia sekitar SLTA ini, menurut Piaget,semestinya sedang memasuki tahap operasional formal. Suatu kematangan usia yang ditandai mampunya mengambil bahan pelajaran dari buku secara mandiri. Waktu istirahat mereka gunakan untuk bermain HP. HP pun tak lagi cukup yang hanya bisa SMS dan telephon. HP yang bisa segalanya, SMS, BBM, telephon, chating, 3G, radio FM, MP3 player dan sebagainya. Tak ada lagi yang berkumpul membahas soal-soal yang diberikan oleh gurunya, semua terbuai dengan HP.

Perguruan Tinggi

Sorotan masyarakat yang ditujukan kepada pihak perguruan tinggi, adalah lemahnya pengawas kegiatan di unit-unit kegiatan ekstra. Kasus-kasus semacam yang terjadi di STIP kembali muncul untuk meyakinkan bahwa ada yang tidak benar dalam pengelolaan pendidikan. Ketidakbenaran pengelolaan dapat dilihat pada sebagian lembaga pendidikan tinggi swasta yang berorientasi pada produk tenaga pendidik, melaksanakan kegiatan praktek pengalaman lapangan dengan seenaknya. Praktek yang seharusnya ditempuh dalam waktu sekitar 4-5 bulan, ternyata hanya dilaksanakan dalam 2 minggu. Biaya kuliah per semester semakin hari semakin meningkat (kecuali berbeda untuk mereka yang memperoleh beasiswa program bidik misi).

Pengawasan melekat dalam diri civitas akademika juga harus dikedepankan . Moral ilmiah harus dijunjung. Istilah moral ilmiah maksudnya adalah segala sesuatu yang berurusan dengan karya ilmiah harus dijaga dengan moral yang baik. Kasus-kasus yang terjadi dalam konteks plagiarism harus dihilangkan, sebab ini akan menjatuhkan kredibilitas perguruan tinggi itu sendiri.

Jasa susun skripsi / tesis / desertasi

Menyusun skripsi / tesis / desertasi merupakan salah satu momen penting dalam hidup seorang mahasiswa. Pengalaman yang tak terlupakan adalah bagaimana rasanya “dibantai”, “dikorek”, “dicoret” pada saat konsultasi. Terlepas pada akhirnya untuk semua jalur penyusunan skripsi sama-sama diwisuda, namun sebenarnya ada sebuah penyimpangan yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi.

Jasa menyusun skripsi bisa diperoleh dengan cara getok tular (dari mulut ke mulut), namun ada juga jasa ini yang diumumkan secara online. Tentunya ada pada trik-trik tertentu pada saat transaksi. Dengan semakin mudahnya persyaratan mengikuti jenjang pendidikan S1, S2, dan S3, mestinya Indonesia bisa berharap banyak dari kualitas. Banyaknya doktor bermunculan akhir-akhir ini, mestinya lebih mengindikasikan bakal terjadi peningkatan di bidang pendidikan. Untuk melihat kualitas doktor yang ada, masyarakat sebenarnya dapat melihat keseharian orang tersebut. Apakah ia punya latar belakang sebagai pencetus ide-ide cemerlang? Apakah ia suka menulis di jurnal-jurnal atau publikasi ilmiah yang lain? Jika tidak , maka sah saja orang menilai negative.

Guru dan Tunjangan Profesional

Tunjangan professional yang lebih kenal dengan bahasa akrab “tunjangan sertifikasi” dari awal pengadaannya banyak disorot berbagai pihak. Peningkatan kompetensi tidak berbanding lurus dengan diperolehnya tunjangan sertfikasi. Guru dengan klasifikasi A, tetap berklasifikasi A. Klasififikasi B tetap berklasifikasi B, hingga yang berklasifikasi Z pun tidak mengalami peningkatan kompetensi. Padahal salah tujuan pemberian tunjangan profesi itu adalah untuk meningkatkan kinerja. Jika kinerja meningkat, maka mutu kegiatan belajar meningkat. Secara umum mutu pendidikan meningkat. Tetapi yang dilupakan, bahwa sifat seseorang tidak mungkin berubah dalam waktu singkat. Kebiasaan guru-guru yang malas akan tetap malas walaupun telah mendapatkan penghasilan yang berlebih.

Ada yang berpendapat, walaupun pendapatan meningkat, namun keinginan meningkat, sehingga kebutuhanpun meningkat. Artinya kondisi ekonomi menjadi tidak mengalami perubahan walaupun telah mendapatkan tunjangan.

Pengawas Pembina

Peran pengawas pembina terhadap sekolah, sampai saat ini masih dipertanyakan. Kejelasan job kerja, tanggungjawab dan wewenangnya jarang yang disosialisasikan ke para guru sekolah binaan. Banyak pengawas pembina yang tidak memberikan program kepada sekolah binaannya. Bahkan sebagian melihat sebuah potensi ketidak benaran ketika satu pengawas pembina membina tiga sekolah (misalkan sekolah A,B, dan C). Jika pengawas pembina jarang terlihat disekolah, akan menimbulkan pertanyaan bagi para guru. Dugaan para guru atau pihak yang tidak suka, akan berfikirnakal. Misalkan seorang pengawas tidak ada di sekolah A, maka warga sekolah mengira pengawas ada di sekolah B atau C. Jika di sekolah B tidak ada, maka warga sekolah B akan berfikir pengawas ada di sekolah A dan C.

Ujian Nasional (UN)

UN diperdebatkan semua orang sudah mengetahui. Berita terbaru adalah kemungkinan pelaksanaan UN SMP yang diundur, karena sebagian paket soal ditarik lantaran di dalamnya terdapat “Tokoh Panas” yang muncul. Kelanjutan UN selalu update .

Kurikulum

Sebagaimana UN yang dipermasalahan, kurikulum yang selalu berubah juga menjadikan polemic yang berkepanjangan. Kurikulum terbaru yang disebut kurikulum 2013 banyak dikritik sebagai “kurikulum yang gagal”. Akan tetapi dalama selorohnya melalui berbagai forum ada pembelaan, kurikulum 2013 bukanlah kurikulum yang gagal, akan tetapi sebut saja “kurikulum yang sedang berkembang”.

Pada taraf ujicoba di sekolah-sekolah sasaran banyak masalah masih menghantui. Sebut saja seperti silabus yang belum disahkan, silabus prakarya yang hanya memunculkan rekayasa penggunaan arus DC (justru bukan rekayasa perangkat lunak), mata pelajaran Teknologi Informasi dn Komunikasi yang dihilangkan. Program lintas minat yang belum seragam, serta adanya program pendalaman minat yang tidak boleh dijalankan terlebih dahulu karena menyangkut keterlibatan sekolah dengan perguruan tinggi.

Jika tahun pelajaran yang akan datang diberlakukan serentak, akan dapat diprediksi seperti apa “hangatnya” roda kegiatan pembelajaran.

Pemilihan Guru Teladan

Pemilihan guru teladan (sekarang disebut guru berprestasi) masih diwarnai berbagai kepentingan. Kemungkinan terjadinya “giliran” sangat memungkinkan. Daerah-daerah seperti inilah yang tidak maau memahami apa arti wakil kabupaten/kota. Jika melihat para penguji yang ada di kabupaten, banyak di antara mereka yang berlatar belakang guru, akan tetapi belum berpengalaman menjadi guru berprestasi. Sebuah fenomena yang seharusnya tidak menjurus menjadi sebuah budaya.

Periodisasi Jabatan Kepala Sekolah

Periodisasi jabatan kepala sekolah masih belum dilaksanakan di beberapa daerah. Hal itu mungkin terjadi karena kuatnya kedudukan dan daya tawar kelompok kepala sekolah yang ingin mempertahankan jabatannya kepada pemerintah daerah. Salah satu alasannya adalah malu untuk menjadi guru biasa lagi. Jika memang terjadi hakl demikian, maka sesungguhnya kepala sekolah seperti inilah yang tidak memahami kedudukan kepala sekolah. Personal kepala sekolah, adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Hanya tugas tambahan, bukan sebuah mahkota yang sangat berharga. Kecuali jika tendensi menjadi kepala sekolah untuk memperoleh sesuatu dari sekolah yang dipimpinnya.

Untuk daerah-daerah yang telah melakukan periodisasi kepala sekolah, maka akan terjadi persaingan sehat antar guru. Kepala sekolah yang kembali menjadi guru biasa bukan “aib” lagi,

Tayangan Pendidikan di Televisi

Dari berbagai sumber yang penulis peroleh, tayangan bernuansa pendidikan hanya sekitar 7%. Ini menunjukkan bahwa televise sebagai media berbasis audio visual menjadi sebuah media yang tidak bersahabat dengan pendidikan. Tayangan hiburan saat memiliki porsi yang paling besar, karena semua didasarkan kepada perhitungan untung rugi, profit non profit. Para empunya dana untuk keperluan iklan, pasti tidak akan mau menderita kerugian akibat acara yang dielingi iklan tidak ada yang menonton.

Sebutlah tayangan-tayangan banyolan-banyolan. Apa sih pelajaran yang diperoleh dari banyolan-banyolan yang ditayangkan? Apalagi dalam banyolan tersebut justru sering dibumbui dengan bencong-isme, homo-isme. Buktinya dapat dilihat dengan para pelawak laki-laki berdandan dengan pakaian perempuan. Ada pula adegan-adegan laki-laki merayu laki-laki , misalnya “…. Aku selalu memikirkanmu lho. Masa lupa ya?”. Konotasi dari adegan yang seperti ini kemana lagi kalau bukan kepada kondisi menyukai sesame jenis?

Adegan-adegan sinetron isinya hampir sama, mengekpoitasi masalah dendam, masalah menjatuhkan satu sama lain, masalah fitnah, masalah penyiksaan terhadap anak kecil, dan sejenisnya. Jika tajuk acara tersebut adalah dongeng atau hikayat , mungkin masih bisa dipahami. Tapi kalau sinetron sosial-budaya realita, maka adegan kekerasan psikis akan menjadi pelajaran buruk bagi generasi muda.

Kalaupun “dipaksakan” ada tayangan sinetron remaja dengan setting di sekolah, maka sekolah hanya sebagai tempat rebutan pacar, saling intrik, perkelahian antar ABG putri memperebutkan cowok, gank anak-anak perempuan. Setelah itu mereka keluar kelas berboncengan, kemudian main ke mall. Mana tayangan sinetron yang memfokuskan pada tokoh siswa yang berprestasi di sekolah? Tidak ada.

Facebook dan Twiter

Kehadiran jejaring sosial sekarang sudah memposisikan dirinya sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia. Jika tak mempunyai facebook atau twiter, rasanya seperti hidup di tepi hutan sendirian. Jika dihitung-hitung (tidak melakukan survey), dugaan seorang siswa on di facebook atau twiter minimal 1 jam. Itu kalau tidak kebablasan. Mending kalau mainnya di rumah. Karena sekarang media untuk nge-net sudah ada di saku, maka jadilah setiap saat bisa online, BAHKAN WAKTU GURU SEDANG MENGAJAR.

Game Online

Banyak kasus terjadi di lingkungan sekolah, di mana siswa sudah kecanduan main game online. Ada yang berangkat dari sekolah tidak sampai ke sekolah, tapi belok ke warnet. Ada yang pulang sekolah langsung ke warnet. Ada yang khusus main game online selepas ‘Isya hingga tengah malam. Jika main di rumah sendiri, mungkin sampai dini hari. Pada kasus-kasus khusus, bahkan siswa sangat mungkin taka da sedikitpun pelajaran yang diingat, yang ada dalam pikirannya adaah game online.

USULAN

Masih banyak hal lagi yang dapat dimasukkan sebagai bentuk-bentuk keprihatinan dalam dunia pendidikan.Dari hal-hal yang telah diuraikan di atas ada beberapa usulan, maupun bahan renungan bersama, yakni :

1.Perbaiki kurikulum PAUD.

2.Pemantauan dan pembinaan yang intens untuk masalah di pendidikan dasar oleh kepala UPTD maupun kepala dinas melalui kepala bidang dikdas.

3.Meninjau kembali efektivitas peran Pengawas Pembina bagi sekolah binaan.

4.Berbesar hati dan menerima masukan / usulan peninjauan kembali UN.

5.Pembinaan terhadap Musyawarah Kepala Sekolah.

6.Komisi Peyiaran Indonesia melakukan filter dan atau peringatan kepada penyelenggara siaran yang tidak mendidik.

Itu adalah sebagian kecil usulan, namun entah kepada siapa , karena kemungkinan yang bisa terjadi adalah tak ada naskah di kompasiana.com yang dibaca oleh para pemangku kebijakan. ***

30-04-2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun