Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Menulis: Membangun Monumen Kecil

16 November 2014   19:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:40 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar :

Jangan pernah berharap kepada guru sebagaimana kita berharap kepada panday besi yang dalam waktu singkat bisa mengubah lempengan besi menjadi sebuah senjata, pisau dapur, cangkul, sabit dan lain-lain .

Jangan berharap kepada guru untuk menghasilkan sesuatu sebagaimana sebuah pabrik memproduksi barang yang sama secara masal. Guru adalah makhluk paling berani, ia mau mengorbankan dirinya untuk sebuah hasil yang tak terlalu pasti, sebab hasil pendidikan tak akan kita ketahui kapan hasilnya dapat dilihat. Hampir tak ada bedanya, antara pendidikan yang berhasil dan tidak berhasil dalam waktu singkat. Tunggu hasilnya hingga satu generasi. Saat itu mungkin ada, tapi mungkin pula tidak.

Didik Sedyadi

Ekspresi Generasi di Dua Jaman Berbeda

Penulis punya kenangan indah sekitar dua setengah dasa warsa yang lalu. Ketika itu penulis sedang menjalani KKN 1988 di desa Lamuk Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Lamuk adalah desa tertinggi kedua di lereng gunung Sumbing bagian barat. Desa yang rata-rata pukul 10.00 pagi baru terkuak muncul dari saputan kabut tebal itu sebagian besar penduduknya menjadi petani di ladang tembakau. Tak ada aliran listrik. Tak ada TV, tak ada HP (tentu saja), tak ada laptop. Kami para mahasiswa hanya bertemankan mesin ketik jinjing merk Brother, kertas dan tip-exx. Benar-benar jaman manual.

Ketika itu siswa yang sekolah di SMP hanya 3 orang. Lainnya hanya berhenti di SD. Dari sisi pandangan pendidikan, sangatlah jauh dari harapan. Kondisi kegiatan belajar yang tidak menentu (waktu itu) menyebabkan kemampuan membaca sangat jauh dari harapan untuk kompetensi setingkat SD.

Gambar di atas penulis ambil di tahun 1988 tanpa berfikir bahwa dokumen itu masih ada hingga sekarang. Mereka adalah sebagian dari generasi di negeri ini. Mungkin mereka sekarang telah menjadi orang tua, yang dahulu tak pernah berfikir bahwa wajah-wajah polos, keceriaan mereka yang tulus akan dapat dilihat banyak orang saat ini.

Mana kenangan indahnya di Lamuk? Ya ini, mengajari anak-anak membaca, menyanyi dan memotivasi mereka agar terus optimis, dan ini : berbaur dengan masyarakat Lamuk yang manual.

1416116577412141554
1416116577412141554


Berbeda dengan gambar suasana anak-anak SD Lamuk, ini adalah gambar ketika usai belajar matematika anak-anak SMAN 1 Majalengka ini mengajak penulis untuk narsis bareng di bawah kerimbunan pohon manga di dekat jalan raya Majalengka - Rajagaluh.

Lihatlah, betapa generasi yang ini merupakan generasi yang ada di jaman yang segalanya serba ada . Mereka adalah generasi yang akrab dengan dunia maya  dan dunia nyata. Belajar hingga setinggi apapun bakal bisa. Senyum mereka menggambarkan bahwa mereka adalah anak-anak yang pandai. Penulis beri skor mereka masing-masing 100. Tak ada anak bodoh di antara mereka. Mengapa? Sebab mereka membawa potensi yang berbeda-beda. Jikalau mereka penulis tes matematika, mungkin hasilnya akan berbeda-beda. Tapi tes ini tentu hanya satu potensi yang diujikan, sedangkan ada jutaan kemampuan yang tersebar di tiap diri mereka. Mereka adalah jagoan-jagoan orang tua mereka, jagoan-jagoan negeri ini, dan tentu jagoan bagi diri mereka sendiri.

Tahap Perkembangan Intelektual Manusia

Kali ini penulis menyarikan sebagian isi  tulisan dari buku Psikologi Pendidikan karya Muhibbin Syah. Seorang ahli psikologi kognitif (intelektual) perkembangan dan psikologi anak , Jean Piaget (baca: Jin Piasye) – yang hidup di kurun waktu 1896 – 1980   membagi tahap intelektual manusia menjadi 4, yakni :

1.Tahap Sensori Motor (0 – 2 tahun)

Anak pada periode ini belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertemtu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan seperti di atas.

2.Tahap Pra Operasional (> 2 – 7 tahun)

Anak pada periode ini belajar bagaimana belajar imitasi (peniruan). Tahap ini juga menandai perkembangan penting bagi anak yakni diperolehnya kemampuan berbahasa, mampu menggunakan kata-kata pendek yang benar.

3.Tahap Operasi Konkret (> 7 – 11 tahun)

Anak pada periode ini muncul sistem operasi kognitif yaitu a) concervation (pengekalan) semacam memahami bahwa suatu zat yang berpindah tempat tidak mengalami perubahan volume , b) addition of classes (penambahan penggolongan benda). Kemampuan ini misalnya memapu memilah-milah benda berdasarkan sifat tertentu, misalnya memilah bunga yang tak berbau, yang wangi, hingga sangat wangi, 3) multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda).

4.Tahap Operasional Formal (> 11 – 15 tahun).

Tahap ini merupakan tahap usia remaja yang telah memiliki kemampuan memahami prinsip-prinsip abstrak .

Kemampuan pada tahap ini di antaranya adalah mampu berkomunikasi dengan buku secara mandiri (belajar mandiri) tanpa bantuan orang lain. Mampu mengambil manfaat dari buku-buku yang dibacanya.

Keempat tahap yang dikemukakan Piaget memang didasarkan pada penelitian dengan sasaran anak usia  0 – 15 tahun. Pada periode usia di atasnya  tentu saja akan mengikuti sifat-sifat pada periode operasional formal ini.

Kalian Bisa Membaca Nak!

Anak-anak usia SMA pada kelas XII rata-rata ada pada kisaran 17 tahun. Pada kelompok ini mereka telah sampai , atau seyogyanya telah sampai pada tahap operasional formal.

Pertengahan bulan Oktober yang baru lalu, penulis memberikan tugas bagi anak-anak yang penulis temani belajar matematikanya. Anak-anak itu penulis beri tugas membuat bahan presentasi (boleh dengan basis apapun, power point, flash, atau prezee) untuk diskusi kelas. Materinya adalah Matrix, sebuah materi yang “mudah tidak sulitpun tidak”. Penulis sebagai pendamping belajar sama sekali tidak menyampaikan ulasan awal apa itu matrix, bagaimana operasionalnya, apa itu determinan, transpose, bagaimana cara menentukan penyelesaian sistem persamaan linier dengan menggunakan determinan dan sebagainya. Penulia hanya berpesan : “Bentuklah kelompok, satu kelompok harus ada yang mahir IT, dan selebihnya materi, semuanya bisa membaca dan mendiskusikannya. Satu minggu tugas dikerjakan, kemudian kalian presentasikan hasil kerja kalian!”

Ketika saat pelaksanaan presentasi, hal yang memang tak diduga oleh anak-anak sendiri adalah : Diskusi berjalan ramai, hidup, penuh tanya jawab. Dan secara esensial taka da menyimpang dari isi materi.

Sebagian kegiatan di kelas XII IPA 1,2 dan 3 ada di bawah ini :

14161114711015440708
14161114711015440708
14161116511659223528
14161116511659223528
1416111772108405170
1416111772108405170


Usai kegiatan diskusi kelas yang mantap, saya menyanjung mereka, “Kalian adalah anak-anak yang hebat! Bapak sama sekali tidak pernah menyampaikan apa-apa sebelum kalian diskusi. Tapi nyatanya? Luar biasa! Kalian hanya membaca sendiri, mendiskusikan, kemudian mampu mengkomunikasikan kepada teman-teman kalian sendiri.”

Mendengar sanjungan itu mereka tersipu-sipu dan salah tingkah. Penulis kembali menambah sanjungan lain, Ada sebuah potensi yang selama ini kalian pendam! Membaca! Sekali lagi membaca! Dengan kemampuan kalian membaca, kalian mampu mengusai isi bacaan dan informasi pengetahuan dalam buku itu! Itu artinya tanpa gurupun kalian bisa belajar. Bapak hanya pendamping. Kalianlah tokoh utamanya!”

Mungkin kepala mereka melayang-layang penulis puji demikian. Tapi tak mengapa. Mudah-mudahan kalimat penulis akan selalu diingat untuk menumbuhkan motivasi internal.

Usai menyanjung, penulis uraikan tentang perkembangan kemampuan intelektual manusia. Mereka mengikuti dengan penuh perhatian. Akhirnya bom saya jatuhkan ke pusat kesadaran mereka tentang potensi diri, “Usia kalian telah sampai pada tahap operasional formal! Kalian telah membuktikan itu. Berarti usia kalian sesuai dengan hasil penelitian Piaget. Itu artinya kalian tidak mengalami keterlambatan perkembangan intelektual, kalian noooormaaaaal!”

Riuh dibalut tepuk tangan ketika penulis sampai pada kalimat itu. Biarkan, mereka bertepuk tangan untuk memberi aplaus pada diri mereka sendiri. Selamat anak-anak!

Bom Buku

Ketika anak-anak mulai reda, penulis mempersiapkan laptop. LCD projector di depan kelas tak lagi menayangkan matrix milik anak-anak. Kali ini ini dari laptop penulis.

Sekarang kalian duduk di kelas XII. Sebentar lagi lulus. Setelah itu jenjang pendidikan tinggi akan kalian jalani. Jangan lupakan, kalian akan bergelut dengan tugas-tugas untuk memperdalam ilmu. Ada sesuatu yang tak mungkin anda hindari : Buku! Buku-buku statistic, buku-buku penelitian semacam ini. Menyusun skripsi anda wajib menghadapi buku-buku semacam ini!”

14161118981277387391
14161118981277387391
1416111947137550460
1416111947137550460


“….. tak usah takut, kalian mampu menguasainya!”

Hidup sebagai seorang mahasiswa kadang tak selamanya dapat dinikmati oleh semua orang dengan nyaman. Banyak masalah yang mendera berbarengan dengan kegiatan studinya. Misalnya saja Kurang mampu memanage waktu, hilang semangat, home-sick, terlena hidup di rantau tanpa pengawasan orang tua, dan sejenisnya.

Sebagai penunjang kesuksesan mahasiswa, meraka (mungkin) butuh buku-buku semacam ini:

14161119841658609485
14161119841658609485


Hambatan lain yang dirasakan oleh sebagian mereka yang kurang beruntung, adalah kesulitan biaya. Misalnya jalur bidik misi tak didapat, jalur beasiswa lain sangat sulit, maka yang dibutuhkan adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencari solusi. Sebab sebuah kewajaran sebuah usaha yang keras dan sungguh-sungguh akan memberikan solusi walaupun mungkin tidak seluruhnya masalah teratasi.

Mungkin sebagian masyarakat Indonesia, atau siapa saja anda pernahkah mendengar Tanoto Fondation? Lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang mungkin bisa dijadikan alternatif  untuk menyelamatkan perjalanan kuliah para mahasiswa yang bermasalah.

Pendiri Tanoto Fondation sendiri pernah mengatakan bahwa  “keberlanjutan pendidikan sangat penting dalam mendukung upaya seseorang merealisasikan potensi yang dimilikinya.”

Telah banyak aksi nyata yang diberikan Tanoto Foundation sebagai mitra pemerintah dalam membantu generasi muda kita.

14161124691442489937
14161124691442489937
Sumber gambar : DI SINI

screenshot kegiatan Tanoto Foundation

Tanoto Foundation telah menetapkan untuk mengurangi kesulitan dan memutus siklus kemiskinan antargenerasi melalui berbagai program pendidikan dan pemberdayaan. Bagi yang tertarik untuk mencermati kiprah dan sepak terjang mengenai Tanoto Foundation dapat pula mengawali dengan mencari tahu latar belakang pendirinya, siapa Sukanto Tanoto?

Di Kelas Menyebarkan Virus Membaca

Mendengar kata virus, asosiasi kita langsung kepada virus yang ada kaitannya dengan suatu penyakit. Tapi ini tidak. Namanya virus membaca. Virus ini diharapkan dengan cepat menyebar di relung-relung otak para generasi muda kita, para pemuda, para orang tua yang masih punya komitmen untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini sangatlah dimungkinkan, karena dari sebuah buku yang taka da kaitannya dengan sains-pun kita bisa belajar. Apakah kita pernah merasakan sindiran dari sebuah cerpen? Apakah kita pernah menangis ketika kita membaca sebuah novel? Inilah bukti pembelajaran. Bukti bahwa belajar sepanjang hayat dapat dinikmati oleh siapa saja.

Dari kebiasaan membaca inilah nanti (entah kapan) seseorang akan terinspirasi dengan berfikir: “Oooo … ternyata menulis hanya begini….. bisa ah!”.

Sebagai seorang guru yang setiap hari tak lepas dari buku, penulis selalu menyebarkan virus minat membaca kepada anak-anak.  Sebagai guru matematika yang sangat jauh dari urusan tulis menulis, penulis punya trik. Penulis selalu punya waktu untuk ice breaking time , waktu-waktu untuk selingan agar anak-anak tidak stress dalam belajar matematika. Biasanya mengambil sekitar 15 menit pada jam-jam yang berlangsung 3 jam pelajaran. Apa saja, semua materi sudah saya program dengan tujuan agar materi yang satu tidak diulang di kelas yang lain. Ada dongeng dosen yang nyeleneh, matematika ajaib, permainan matematika, stereogram, kisah-kisah inspiratif, dongeng lucu, pengalaman waktu penulis sekolah, kisah cinta jaman dulu, dan lain-lain.

Nah di antara waktu-waktu semacam itulah penulis mengingatkan akan pentingnya membaca menjadi sebuah budaya membaca. Terserah nantinya akan berlanjut ke kemampuan menulism tak jadi soal. Di antara motivasi-motivasi itu adalah :

1. Menantang anak-anak membaca di perpustakaan

Sudah membaca novel Bapak apa belum? – Di mana Pak?

Perpustakaan laaah! Main ke sana, kalau novelnya kurang, baca novel atau buku yang lain dulu.

-Bener Bapak nulis novel?

-Memang salah ya, guru matematika nulis novel?

-Ajarin Pak.

-Ya , ntar Bapak ajarin kombinatorika atau derivatif

-Aaah nggak mau, ajarin membuat novel!

2.Penulis rutin memberikan reward kepada anak-anak bagi mereka yang meraih nilai Ujian Akhir Semester (UAS) tertinggi di setiap kelasnya. Umumnya buku-buku yang penulis iming-imingkan ke anak-anak adalah buku-buku motivasi. Ada sekitar tiga tahun belakangan ini saya menghadiahkan buku Young on Top, karena memang sepertinya buku ini menjadi best seller yang saya peroleh dari buku Gramedia di Grage Mall Cirebon.

1416112803983731862
1416112803983731862


Dari para siswa ini bahkan ada yang memposting buku yang ia dapatkan dari penulis sebagai hadiah di akun Facebook-nya.

1416113022723178725
1416113022723178725


3.Memberi motivasi untuk menulis di blog sendiri dan membaca blog orang lain.

-Blog kalian sering dibaca orang nggak?

-Nggak tahu Pak!

-Nah, cobalah nulis di kompasiana.com ,   di sana nanti kalian akan lebih banyak berinteraksi dengan para penulis. Kalian bisa komen. di-komenin orang, banyak teman sekaligus berbagi cara menulis dengan mengamati tulisan yang selalu muncul secara dinamis, seperti air yang mengalir setiap menit.

Menulis : Membangun Monumen Kecil

Menulis sebuah tulisan (apapun) memang bukan pekerjaan mudah. Ketrampilan ini harus diasah. Memang tidak harus setiap hari. Yang penting tulis apa saja, abaikan orang lain suka atau tidak suka dengan tulisan kita.

Sahabat saya satu sekolah, Pak Teja Sukmana (almarhum), pernah menuliskan di Majalah Sekolah Warta Ganesha , majalah sekolah kami, katanya : “Ketrampilan menulis itu bagaikan ketrampilan berenang.” Jadi untuk menjadi seorang penulis yang lancar menulis, memang harus banyak berlatih semacam berlatih berenang.

Bagi penulis pribadi, menulis bukanlah sebuah profesi. Memang pernah dulu ketika sekolah SMA punya keinginan menjadi seorang jurnalis (atau sejenisnya), namun keinginan itu sepertinya tidak terjangkau. Sekarang menulis murni sebagai hobby. Dengan hobby ini sebenarnya seorang penulis punya banyak catatan. Catatan-catatan inilah yang bisa dijadikan monumen oleh seorang penulis dengan filosofi “Di suatu saat aku pernah punya buah pikiran ini, pernah punya buah pikiran itu”.

Apa bentuk monumen tulisan kita? Banyak.

1.Blog pribadi.

2.Blog bersama.

3.Diktat.

4.Bundelan tulisan kita (cetak – jilid di tukang fotokopi)

5.Buku, baik ber-ISBN maupun tidak, tergantung tujuan penerbitan buku untuk apa.

6.Majalah.

7.Dan sebagainya.

Penulis memang memiliki beberapa monumen kecil yang masih tersimpan, hanya untuk bercerita kepada diri sendiri, meng-aplausi diri, untuk memotivasi diri sendiri untuk terus menulis.

14161134031035532258
14161134031035532258

1.Buku kolaborasi Pancasila Rumah Kita Bersama (tulisan bersama 30 kompasianer dengan Editor Thamrin Sonata) dan Novel Kyai Keramat (pernah diposting sampai tuntas di kompasiana.com) dan novel ini memang di antaranya untuk hadiah untuk para siswa.

2.Diktat Panduan Corel Draw Smart Klik! Diktat tulisan ini dulu sempat dicetak beberapa tahun untuk konsumsi internal di sekolah kami ketika saya masih ikut mengajar TIK. Kebetulan saya memang suka dengan per-corelan. Ketika sekarang buku teknik klik-smart saya buka lagi kadang-kadang heran sendiri, kok dulu aku bisa ya nulis kayak gini. Jika sekarang diminta menulis buku yang sama rasanya lebih baik menolak. Tidak sanggup.

3.Dulu ketika sedang gila-gilanya menulis jaman kuliah, saya sempat dikontak Mas Suwardi Endraswara (sekarang dosen UNY) untuk membuat antologi Cerkak Eksperimen (cerpen absurd), jadilah antologi Niskala. Demikian pula ketika ada sebuah acara festival penulisan tulisan penulis masuk ke Antologi Liong Tembang Prapatan terbitan Taman Budaya Yogyakarta.

4.Warta Ganesha yang masih saya simpan (gambar 4) adalah majalah sekolah SMAN 1 Majalengka ketika selama dua tahun (2002 - 2003) saya menjadi ketua dewan redaksinya. Dua tahun belakangan ini majalah sekolah kami telah berubah nama menjadi Ganesha Magz.

Monumen Keramat

Selain yang penulis sebut di atas, ada monument kecil yang saya sebut sebagai monumen keramat . Ini dia :

14161142932010643951
14161142932010643951

Karena saking getolnya mengirim cerkak (cerpen bahasa Jawa) dan cerita sambung, mungkin dinilai produktif oleh redaktur Majalah Mingguan Basa Jawa Djaka Lodang, saya diminta menjadi kontributor tetap dari sejak 1991 hingga sekarang untuk tulisan gaya Banyumasan.

Ada yang aneh dan tak masuk akal dengan kerjasama ini (buka rahasia). Selama sekitar 23 tahun penulis menjadi kontributor tetap, belum pernah sekalipun saya tahu lokasi kantor majalah Djaka Lodang, apalagi masuk ke dalamnya. Memang beberapa kali ke Yogyakarta, tetapi dengan kecepatan tinggi sehingga tidak sempat mampir.

Jika kantornya saja tidak pernah tahu lokasinya, apalagi kenal langsung dengan para pengasuhnya. Tapi itulah indahnya dunia kepenulisan, yang penting ada komitmen dan tanggungjawab, semuanya berjalan rapi dalam waktu dua dasa warsa lebih.

Inilah yang saya katakan sebagai sebuah monument keramat, yang tetap kokoh terbangun antara penulis dan majalahnya.

Hadiah Buku dari Murid (Virus telah Menyebar)

Sekitar enam bulan yang lalu saya mendapat SMS dari murid lulusan tahun 2009 begini : "Pak Didik sehat? Saya sekarang sudah bekerja Pak, dari dulu saya punya nadzar bahwa sebagian dari gaji pertama saya akan saya gunakan untuk mentraktir Pak Didik. Bapak mau apa?"

Jawab saya : "Alhamdulillah sehat. Wah sudah bekerja syukurlah. Traktir Bapak? Oke. Yang murah saja, tetapi yang awet!"

"Pasti ga mau makanan ya Pak? Bagaimana kalau buku?"

"Cocok, ditunggu! Terima kasih", dalam hati saya berkata : Inilah bukti bahwa virus membaca - dan pikiran-pikiran tentang buku sudah menyebar.

Anak ini bernama Tata. Ketika tahun 2006-an saya mengajar matematika di kelas X. Saya hafal benar dengan anak ini, awalnya ketika setiap kali ulangan harian 40 menitanlah waktu yang ia butuhkan. Sementara yang lain masih butuh waktu 90 menit untuk menyelesaikan soal-soal ulangan. Dia (mungkin) penggila matematika. Saya jadi tersanjung bahwa ada obsesi terpendam dalam bentuk nadzar untuk saya.

Benar juga, selang seminggu dari dia kirim SMS, dia datang ke sekolah menyerahkan buku nadzar-nya : 100 Syarah Hadits Qudsi, setebal sekita 500 halaman. Masya Allah.

1416115566584581624
1416115566584581624

Saya tanya : "Kenapa pilih buku ini?"

Tata : "Bapak punya banyak buku, Tapi buku ini kayaknya agak aneh bagi kebanyakan orang. Nah buku ini lah yang mungkin belum ada. "

Smart sekali jawaban dia. Hanya mungkin tidak sampai hati mau ngomong begini : "Pak, bapak harus banyak baca buku agama. Bapak banyak kesalahan!" (Tapi canda ini hanya dalam hati).

Saat ini Tata tengah mengamalkan ilmunya di dunia pendidikan , di sebuah sekolah SMP di kaki gunung Ciremay. Guru apa? Matematika.  Ya memang, dia sekarang menjadi guru matematika seperti saya.

Apakah Guru Harus Menulis ?

Inilah pertanyaan pada bagian akhir tulisan ini. Jawabannya bisa ya bisa tidak. Bagi guru semacam penulis ini, yang tak punya sawah ladang tempat refreshing, ya sudah, refreshingnya di depan layar laptop saja.

Membantu mengatasi persoalan dalam dunia pendidikan bagi seorang guru memang wajib. Jika seorang guru punya kesukaan menulis, sangat mungkin memberikan andil penjernihan masalah melalui tulisan.

Saat kasus Erfas mencuat dengan 4x6 nya itu, penulis merasa geregetan juga. Akhirnya penulis putuskan untuk ikut menulis di Forum Guru, tulisan yang isinya membela guru SD dengan menyebut referensi pembelaan . Tulisan tersebut dimuat dalam harian Pikiran Rakyat Bandung, 26 September 2014.

1416118146790342170
1416118146790342170

Ketika tulisan itu dimuat, ada rasa syukur yang dalam karena telah memenuhi sebagian kewajiban sebagai guru. Kasus itu tentu sudah penulis jelaskan ke anak-anak di kelas-kelas, dan di media Pikiran Rakyat inilah presentasi di kelas besar.

Sore harinya saya dapat SMS dari Bulik-ku (tante) yang tinggal Lembang Bandung Barat: " Tadi pagi bulik sudah baca tulisanmu di Pikiran Rakyat! Semoga bermanfaat."

Bagi rekan guru yang punya sawah, bisa menanam kemudian memanen padi. Bagi guru yang punya ladang bisa menanan kemudian memanen ubi atau sayuran. Biarlah guru semacam saya ini menanam  tulisan saja. Tak usah mengharapkan apa-apa ketika seorang guru menanam tulisan-tulisan berisi buah pikirannya. Ikhlas.***

Majalengka, 16 November 2014

Titip salam untuk anak-anak XII IPA 1,2 dan 3

Atas diskusi matrix-nya yang kalian telah lakukan dua minggu yang lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun