Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cerpen Remaja: Pak Polisi yang Kukagumi

22 September 2014   07:49 Diperbarui: 20 Februari 2016   19:11 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Priiit! Priiit!
Pukul tujuh kurang beberapa menit, jalan di depan sekolah Mira ramai. Sebentar lagi bel berbunyi. Banyak anak-anak dengan seragam OSIS yang tergesa-gesa menyeberang jalan. Lokasi depan sekolah benar-benar ramai, sebab dua buah sekolah, SMA dan SMP berhadap-hadapan. Seorang polisi lalu lintas muda mengatur daerah di depan sekolah. Menghentikan mobil, memberi kesempatan anak-anak SMA dan SMP menyeberang jalan. Di masing-masing gerbang sekolah berdiri security sekolah yang membantu kegiatan polisi.
Hari ini Mira benar-benar sial. Akibat tadi malam larut dalam keasyikan mengerjakan tugas, tidurnya sampai lewat tengah malam. Itu berarti kebiasaan tidur enam jam tidak tercukupi. Mira terlambat bangun. Sampai di jalan raya, mobil penuh, baik penuh dengan anak-anak sekolah, maupun pegawai yang mengejar masuk pukul 07.00. Keringat dingin membasahi dahinya. Gadis kelas XII itu gelisah. Dalam kegelisahannya, ia mencopot jam tangannya. Ia menyeting ulang jam tangan digitalnya. Angka yang seharusnya menunjuk pukul 07.00, ia setting mundur menjadi 06.48. Mira agak lega.
Kiri Paaak! Teriak Mira . Sopir angkutan kota menghentikan mobil. Mira turun. Benar apa yang diduganya. Gerbang sekolah telah terkunci. Anak-anak yang terlambat pasti telah dibariskan di lapangan dalam untuk diberi tugas membantu guru piket. Mira menatap jam tangannya. Namun ia menjadi gelisah ketika jalan ramai. Ia tidak bisa menyeberang. Polisi muda yang tadi membantu anak-anak sekolah menyeberang telah siap pergi dengan motornya. Namun ketika dalam kilatan pandangannya sejenak, polisi muda ini melihat ada seorang yang terhalang keramaian lalu lintas sehingga tidak bisa menyeberang. Polisi muda itu turun dari motornya. Mira melihat itu.
Beberapa detik kemudian polisi itu berjalan ke arah kendaraan yang melaju. Priiit…..!
Polisi muda memberi isyarat agar kendaraan berhenti. Mira terhenyak. Ia kaget ketika polisi muda itu melambaikan tangannya.
“Ayo cepat menyeberang!”
"Iiii… iya …..”
Mira berlari melintasi jalan. Ketika ia sampai di seberang, polisi muda itu meniup peluitnya memberi aba-aba agar kendaraan berjalan kembali.
"Terlambat Dik? Gerbang sudah ditutup." kata polisi muda yang sudah berdiri di samping Mira.
"Iii ...iya Pak." Mira tergagap.
“Dik… orang tua adik siapa namanya ?” polisi itu tiba-tiba menanyai Mira. Mira kaget.
“Apa Pak?”
“Nama orang tua adik siapa?”
“Un… untuk apa?”
“Saya mau menolong adik. Lihat gerbang sekolah sudah ditutup. Adik tidak bisa masuk.”
“Terus kenapa tanya orang tua saya Pak?”
“Astaghfirullah. Adik ini! Saya ini alumnus sekolah ini, lima tahun yang lalu!”
“Oooo…… alumnus? Kakak kelas jauh?”
“Iya. Panggil saya Kakak. Namaku Nizar.”
“Terus kenapa Pak Nizar?”
“Uuu…gghhh… Pak Nizar. Kak Nizar!”
“Enggak ah, nggak sopan.”
“Ya sudah terserahlah, begini , sebagai alumnus, saya hafal peraturan sekolah ini. Saya juga pernah mengalami terlambat. Untung kantor ayahku dekat, jadi ayahku datang segera setelah kutelpon. Kalau diantar orang tua boleh masuk kan? Atau paling tidak diantar saudara."
"Yaaa...iya memang begitu."
"Nah kalau adik mau saya tolong masuk ke lingkungan sekolah, saya mau mengaku sebagai anak uwakmu. Mau nggak?”
“Anak uwak?”
“Kan peraturan di sekolah ini, yang terlambat boleh masuk kalau diantar oleh orang tua atau walinya. Iya kan?”
“Iiii… iya siiiih…”
“Makanya, tolong sebut, nama orang tua, alamat, nama adik sendiri….”
Mira tak bisa mengelak. Demi bisa masuk ke sekolah tanpa dipermasalahkan, pagi itu ia masuk dengan diantar kakak temuan, Kak Nizar. Mira geleng-geleng kepala ketika melihat jam tangan yang sudah dirancang untuk berbohong tidak digunakan. Tapi kali ini ia menyetujui ia diajak berbohong oleh polisi muda yang mengaku sebagai anak uwaknya. Tapi bagi Mira itu masih mending, daripada harus pulang ke rumah yang jaraknya dua puluh kilometeran.
Besok paginya, Mira menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Nizar.
“Sehat Mira?” kata Nizar singkat ketika Mira melintas di depannya
“Ya Kak…” kata Mira sambil tersenyum.
Besok paginya lagi, Mira menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Nizar.
“Sehat Mira?”
“Ya Kak…” kata Mira sambil tersenyum.
Besok-besoknya lagi, Mira menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Nizar.
“Sehat Mira?”
“Ya Kak…” kata Mira sambil tersenyum.
Mira kadang-kadang jengkel. Sudah tiga hari ini Kak Nizar menanyakan ia sehat dengan kalimat yang sama, namun ia lebih jengkel lagi karena ia menjawab dengan kalimat yang sama pula. Hari ini adalah hari ke empat sejak keduanya berkenalan. Ketika Mira menyeberang, kali ia ini mengambil jarak yang jauh terhalang anak-anak lain.
“Ayo… ayooooo…. Agak cepat menyeberangnya .Tunggu sebentar di pinggir!”
“Och….. “ Mira merasa kalimat polisi itu aneh meminta semua yang menyeberang menunggu sebentar. Benar saja, semua yang menyeberang minggir menanti polisi bernama Nizar. Polisi itu mengkode security sekolah untuk menggantikan diri mengatur penyeberangan. Kemudian polisi muda itu berjalan ke pinggir.
“Eh maaf, adik-adik. Maksud saya yang saya minta menunggu di seberang itu ini, Mira. Adik saya, bukan yang lain. Yang lain silakang lanjut……” kata Nizar sambil tersenyum. Semua yang mendengar memahami.
“Ada apa Kak?” tanya Mira setelah tinggal berdua.
“Besok aku sudah tidak tugas lagi di lokasi ini.”

“Och! Pindah ke mana?”
“SMA PGRI.”
“Oooo…”
“Sehat Mira?”
“Alhamdulillah sehat. Kakak juga?”
“Sing rajin belajar ya ….. biar pinter, hampir UN!”
“Ya terimakasih…..”
Hanya beberapa kalimat dialog singkat yang berlangsung, Nizar kembali ke tengah jalan. Mira tertegun. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kehilangan. Mira menggigit bibirnya. Ia tak lekas beranjak dari tempatnya berdiri. Ia perlahan mundur, berjalan ke belakang gerbang. Tubuhnya bersembunyi di balik gerbang sekolah, melihat Nizar yang masih mengatur lalu lintas.
Seperti ada kontak batin, Nizar menoleh ke arah dirinya. Tersenyum. Pandangan keduanya bertemu. Ada perasaan aneh dalam hati Mira. Senyum Nizar yang sekilas berhasil membuat bulu-bulu halus di tangannya meremang. Kak Nizaaar……, gumamnya. Gadis itu perlahan mundur, kemudian ia membalikkan badan, berlari kecil menuju lingkungan sekolah.
***
Pukul setengah delapan pagi seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menemui orang tua Mira. Yang ditemui terkejut.
“Pak Danang, haduuuh….. asli ini berita mengejutkan.”
“Apa Man Tarma? Ngomong yang jelas!” perintah Pak Dadang, ayah Mira.
“Miranya ada?”
“Mira? Nggak ada, dia ke sekolah!”
“Itulah yang akan saya omongkan. Mira ditangkap polisi.”
“Mira ditangkap polisi? Yang benar saja Man!”
“Saya melihat dengan mata akepala saya sendiri. Mira dibawa polisi, begitu ia turun dari angkot!”

“Man Tarma tidak bercanda kan?”
“Tidak Pak….. “
Mendengar laporan dari Man Tarma, Pak Danang bernisiatif menelpon anaknya. Tuuut….tuuuut… Hening tak ada jawaban. Laki-laki itu mengulanginya, namun hasilnya nihil.
“Bagaimana Pak?”
“HP-nya tidak aktif! Aku harus ke sekolah! Kau simpan motormu, bareng aku naik mobil!”
Tanpa menunggu dua kali perintah, Man Tarma melakukan apa yang diperintahkan Pak Danang. Laki-laki yang bertetangga dengan ayah Mira itu menurut karena ia sebagai orang yang melaporkan kejadian yang dilihatnya.
Ayah Mira memang teguh dalam berprinsip. Ia tak ingin anak-anaknya menjadi anak manja. Ia ingin anak-anaknya belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Makanya walaupun ada mobil, Mira tak pernah diantar. Anaknya harus rutin bangun pagi. Menghitung waktu sendiri, memtuskan persoalan-persoalan sendiri jika ada masalah dengan teman-teman atau gurunya di sekolah.
Lima belas menit berselang Pak Dadang sampai di sekolah Mira. Laki-laki itu memarkir mobilnya di pinggir jalan raya depan sekolah. Man Tarma bingung.
“Pak? Paaaa…. Maaf, apa ini nggak salah?” tanyanya dalam kebingungan.
“Apanya yang salah?”
“Mira bukannya sekolah di SMA PGRI?”
“Bukan. Mira ya sekolah di sini, di SMAN 1! Ada masalah?”
“Nggg…… nggg……”
Pak Danang tak mempedulikan Man Tarma. Laki-laki itu masuk ke ruang piket guru, kemudian menanyakan absen kelas XII IPA 5. Menurut keterangan anak-anak kelas itu lengkap. Lega rasa hati Pak Danang. Namun untuk meyakinkan, ia meminta tolong kepada guru piket agar dipertemukan dengan anaknya.
Lima menit berselang, dari arah kelas dalam keluar Mira. Gadis itu berjalan tergesa-gesa. Ayahnya melihat dengan seksama. Mira bingung.
“Ada apa ayah ke sini?”

“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak. Memangnya kenapa yah?”
“HP-mu tidak aktif, ayah khawatir kamu kenapa-kenapa.”
“Aduuuuh ….. benar yah, HP Mira ketinggalan di kamar……….ooooohhh…..”
***
Tadi pagi sebelum kejadian Pak Danang menyusul Mira ke sekolah.
Mira membayangkan Nizar yang tampan. Senyumnya tak bisa dilupakan. Mira hafal, Nizar adalah polisi yang baru sekitar seminggu ditugaskan mengatur lalu lintas di depan sekolahnya sejak seminggu yang lalu. Biasanya yang bertugas adalah bapak-bapak polisi. Ia belum banyak mengenal Nizar. Ia hanya ingat betul bahwa ia pernah ditolongnya ketika ia terlambat dulu.
Kak Nizar , anak uwak! Aaaahhhh……, Mira tersenyum sendiri. Kemarin pagi, Nizar mengatakan bahwa ia akan pindah lokasi tugas kepadanya. Mira hanya membatin, mengapa Nizar lapor ke dirinya? Sebegitu pentingkah dirinya bagi Nizar? Mungkin sulit untuk dijawab. Tetapi senyuman kemarin pagi, membawa banyak makna.
Kiriiiiii…….kiriiiiiii…………….. stoooop! Stooooop!
Mira berteriak melengking. Penumpang di sebelahnya banyak yang kaget. Wajah Mira tampak pucat. Keringatnya merembes di permukaan kulitnya. Dengan tergesa-gesa ia turun. Sayang ujung sepatunya tersangkut kaki bangku. Gadis itu terpeleset dan jatuh di trotoar. Namun hanya sebentar ia bertelekan trotoar, ia bangkit kemudian membayar angkot. Lututnya terasa perih. Darah tampak membayang di sana.
SMA PGRI! Mira menggerutu.
Dari tadi Mira memang gugup ketika tiba-tiba ia sadar bahwa ia telah melewati sekolahnya yang berjarak sekitar setengah kilometer dari sekolahnya. Ia mengutuk dirinya sendiri yang dirasa sangat bodoh . Namun gadis itu sebenarnya sedang terobsesi pikirannya dengan kata-kata Nizar kemarin. Polisi muda itu mengatakan akan pindah lokasi tugas di SMA PGRI.
“Miraaa……. “ telinga Mira mendengar ada yang memanggil begitu angkot yang membawanya melanjutkan perjalanannya. Ia kini berdiri di pinggir tak terhalangi apapun.
“Kak Nizar.”
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Engg…. enngg…. Nggak tahu ya. Mungkin melamun di angkot.”
“Masih pagi sudah melamun. Jangan-jangaaan …..”
“Jangan-jangan apa Kak?”
“Melamunin polisi yang ganteng itu ya?”
“Siapa?”
“Nizar!”
“Iiih narsis!”
“Ya sudahlah …. Nggak apa-apa. Memang saya ini baru bisa narsis. Belum ada orang lain yang mengatakan aku ini ganteng.”
“Banyak berdoa saja Kak ….”
“Aaah sudahlah …. kamu nanti telat Mira.”
“Oh iya, iya ……. “ kata Mira sambil menyebarang jalan untuk menunggu angkot yang lewat ke depan sekolahnya.
“Mau apa lihat-lihat ke arah barat? Nunggu angkot?”
“Iya.”
“Naik sini, ayo aku bonceng…. Cepat ini hampir bel sekolahmu!”
“Tapiii… tapi …..”
“Naiklah …..”
Dengan ragu Mira naik di jok belakang Nizar. Dada Mira gemuruh ketika sesekali lengannya menyentuh punggung Nizar. Untung hanya tiga menit sampai di sekolahnya. Mira turun. Namun sebelum ia masuk ke gerbang, Nizar memanggilnya.
“Ini gunakan dulu. Lukamu harus bersih.”
“Apa ini?”
“Kapas, tensoplast dan betadine. Bisa memakainya? Betadine dulu, besihkan. Taruh kapas, lalu rekat dengan tensoplast.”
“Iya…. Iya … paham.”
“Sudah, masuk kelas ya.”

“Iya.”
“Mira …… “
“Apalagi Kak?”
“Awas, nanti melamun, nyasar masuk ke kelas lain…” kata Nizar sambil tersenyum.
“Iiiiiih …… sebel!”
Usai bercerita kepada keluarganya, Mira tertawa. Malu juga sebenarnya dilaporkan oleh Man Tarma bahwa ia ditangkap polisi. Ayah dan ibunya hanya berpandangan, namun keduanya akhirnya tertawa juga.
“Anak kita ditangkap polisi kayanya malah seneng Bu!” kata Pak Danang.
“Iya…. Iya ….. kayanya besok mau pura-pura melamun biar diantar lagi dari PGRI.”
“Aaaah…. Ibu!”
Ayah dan ibu Mira termasuk orang tua yang demokratis. Anak-anaknyapun sangat terbuka dan enteng untuk menceritakan semua masalah dan pergaulannya kepada orang tuanya. Orang tuanya telah mendidik untuk selalu berterus terang atas pergaulan dengan temannya, terlebih lagi jika urusannya dekat-dekat dengan pacaran dan sejenisnya. Mereka tidak ingin anak-anaknya menyembunyikan apa oleh anak muda kebanyakan disebut pacar. Mereka tidak ingin jika dalam pergaulan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merusak masa depan dan nama baik keluarga.
“Itu Nizar namanya Nizaruddin Alam kan?” tanya ayah Mira.
“Hah? Ayah tahu?”
“Dia itu putranya Pak Tobroni, yang dinas di Polres, tapi bagian sipilnya.”
“Oooo……”
“Itu kan masih saudara dengan kita. Saudara agak jauh. Kakekmu dengan nenek Nizar itu saudara sepupu. Aga jauh memang. Kadang-kadang waktu kecil orang tua tidak terlalu akrab, jadi kadang-kadang tidak tahu bahwa itu saudara …..”
“Oooo ….. jadi Mira saudaraan dengan Kak Nizar dong?”

“Iya, tapi jauuuuh. Kapan-kapan nanti Nizar akan ayah panggil ke sini.”
“Kenapa yah?”
“Karena kemarin melarikan anak ayah yang hampir lulus kelas XII.”
“Uuuh ayah bisa saja!”
“Mira ….. kalau pernikahan dengan saudara itu nggak boleh lho!” tiba-tiba ibu Mira menyela bicara. Mira memerah mukanya.
“Memangnya siapa yang mau menikah Bu?”
“Eh siapa tahu ada yang berharap menikah dengan saudara….. pikir UN dulu. Pikir lulus dulu, Target ke PTN harus tercapai. Jangan pacaran dulu …… “
Mira hanya diam. Ada sedikit perasaan kecewa dalam hatinya. Ia tak menyangka bahwa Nizar masih saudara. Namun ketika ayahnya mengatakan saudara jauh, ia masih merasakan ada sebuah kesempatan untuk mengenal lebih jauh diri Nizar.
***
Siang itu dua jam pelajaran terakhir.
Saat itu Bu Hajjah Zakiyyah , guru PAI kelas XII sedang menerangkan bab nikah. Bahasan inilah yang paling disukai anak-anak seumuran Mira. Keterangan-keterangan tentang nikah, mahram, wali dan sebagainya sangat cepat dipahami oleh anak-anak.
“Ada yang mau ditanyakan anak-anak?” Bu Hajjah Zakiyyah menawarkan pertanyaan.
“Ada Bu!” kata Mira sambil mengacungkan tangan.
“Apa pertanyaanmu Mira?”
“Begini Bu, kan menurut keterangan ibu, beberapa jalur nasab tidak boleh menikah ya Bu?”
“Iya betul.”
“Kalau menikah dengan anak paman boleh nggak Bu? Kan ini masih saudara.”
“Huuuuuu…….huuuuu………………….” yang lain bersorak sorai menimpali pertanyaan Mira.
“Yaaa…. Yang lain tenang. Ini pengetahuan untuk yang lain juga. Mira, tingkatan saudara yang mulai diijinkan oleh agam untuk menikah ya ini, dengan saudara sepupu.”
“Jadi boleh Bu?”
“Boleehhhh….”
Kelas semakin riuh. Mira memerah mukanya. Ia menyembunyikan mukanya di atas bangku. Hatinya gembira. Atau bahkan bahagia. Tapi tak tahu kenapa. Yang jelas, ketika itu ada bayangan Nizar melintas. Jika anak paman mulai diperbolehkan menikah, berarti anak saudara yang jauh pati sangat boleh menikah.
“Tenang anak-anak……., “ kata Bu Hajjah Zakiyyah menyela, “ …… rupanya ada sangat berbahagia dengan jawaban Ibu ……”
Kelas semakin ramai. Mira benar-benar semakin malu. Ia menyembunyikan mukanya. Gadis itu tak bangkit-bangkit ketika teman-temannya mencubit-cibit lengannya.
***
Sore itu Nizar berjanji akan datang ke rumah Mira.
Mira menanti di teras sambil membawa buku pelajaran. Ia pura-pura membaca buku ketika tahu Nizar datang. Ketika polisi muda itu menyampaikan salam, Mira pura-pura kaget sambil menjawab salam.
“Mira sedang belajar ya?” kata Nizar sambil duduk di kursi di hadapannya.
“Iya, besok mau ulangan.”
“Oooo saya mengganggu?”
“Ya tidak, yang mengundang kan ayah, bukan aku.”
“Oooo iya ya. Memangnya belajar apa?”
“Pendidikan Agama Islam!”
“Oooo tentang apa? Dzawil Furudl? Tijaroh?”
“Enggak. Tentang munakahat. Tentang nikah!”
“Oooo….. seru sekali!”
“Iya, kemarin diterangkan tentang larangan-larangan orang yang saling sah menikah.”
“Di antaranya?”
“Sesusuan, saudara kandung, ibu, atau ayah, atau menikah dengan adik istri, mengumpulkan dengan adik istri. Tidak boleh dengana bekas istri ayah.”
“Alhamdulillaaaahh …….” Kata Nizar sambil tersenyum.
“Kenapa bersyukur?”
“Nizar dengan Mira masuk katagori yang tadi nggak?”
“Nggak tahu yah. Kata ayah kita masih saudaraan kok!”
“Bukan ah!”
“Saudara, saudara jauh ….”
“Bukan. Inginnya sekarang bukan saudara, jadi saudaranya kelak saja ….. lima atau enam tahun lagi.”
“Kak Nizar ngomong dengan siapa sih?”
“Mira ….. yang cantik.”
Dada Mira berdesir mendengar kalimat itu. Mukanya terasa panas. Gadis itu tersipu. Mira tertolong rasa khekinya ketika ibunya memanggilnya masuk. Mira beranjak. Ia tidak sadar ada selembar kertas jatuh dari dalam bukunya. Mira masuk. Nizar mengambil kertas itu. Jadwal pelajaran……, gumam Nizar perlahan. Polisi muda itu tersenyum.
“Kenapa senyum sendiri?” tanya Mira yang muncul lagi sambil duduk.
“Nggak apa-apa. Eh, Mira, besok ulangan apa?”
“PAI.”
“Bukannya besok nggak ada pelajaran PAI. Adanya olah raga, matematika, fisika dan sejarah.”
“Oh, enggak. Di jadwal ada kok.”
“Saya baca di jadwal ini nggak ada kok .” kata Nizar seraya menyodorkan jadwal yang terjatuh.
Melihat jadwal itu muka Mira memerah. Ia tak menyangka bahwa kebohongannya akan terbongkar. Mira tertunduk lama. Keduanya diam.
“Yang berbohong akan ditangkap polisi ……… Mira……. “
Nizar suka sekali melihat wajah Mira yang tertunduk tegang dengan wajah memerah***

21-09-2014

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun