Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kuantar Ibu ke Panti Jompo

22 Desember 2014   05:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:45 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanggal 01 Desember 2014.

Bertepatan dengan ulang tahun Minar, istri Joni. Keduanya merayakan secara sederhana berdua di Bombas Café.

Sore itu ada yang mengganjal dalam hati Joni hingga ia menggeleng-gelengkan kepala. Istrinya ditatap dengan tak percaya. Minar masih istrinya yang dulu. Bola matanya yang dulu ia kagumi juga masih seperti yang dulu. Suaranya masih suara Minar. Tapi arti dari kalimat yang keluar bari bibir itu bukan arti dari hati Minar.

“Coba tolong ulangi sekali lagi Mah …. Papah kepingin dengar sekali lagi.” Pinta Joni kepada istrinya yang masih menghadapi avocado float

“Ibu butuh orang yang bisa full memberinya kasih sayang.”

“Bukan itu, kalimat yang ,lain.”

“Apapun akan aku korbankan untuk Ibu.”

“Satunya lagi…..”

“Ibu akan ada yang mengurus.”

“Satu lagi.”

“Ibu akan saya istirahatkan di panti jompo.”

“Naah ….. ini Mah, kalimat ini yang salah.”

“Salah di mana?”

“Salah di hati Ibu Mah.”

Minar hanya mendesah. Namun perempuan itu kemudian bangkit dari duduknya, kemudian menghabiskan minumannya sambil berdiri. Suaminya mengikuti. Tak banyak kata. Melewati kasir Minar berjalan di depan. Joni memanggil dengan isyarat “psssttt….!” , namun istrinya tak peduli.

“Kita bahas nanti malam. Papah sore ini pulang sendiri.”

“Lho?” Joni kaget.

“Mobil ini saya bawa, Papah pulang naik taxi.”

“Lho?”

“Kalau begitu, saya yang naik taxi. Papah pulang dulu, ini kunci kotaknya.”

Tak banyak kata yang diucapkan Minar. Joni terbengong-bengong menerima kunci mobil. Namun laki-laki yang biasanya kalah dominan itu hanya bisa mendesah. Kemudian menuju mobil. Sementara Minar telah beberapa detik berlalu melaju bersama taxi yang distopnya.

Malam itu di rumah hanya berempat. Joni, Utami, anak bungsunya, Ibu Marfuah, mertua Joni, dan Bibi Sariya pembantunya. Malam itu mertua Joni mengajak Joni ke ruang depan untuk berbicara serius. Utami, gadis kecil umur sepuluh tahun dibiarkan menonton TV bersama Bibi Sariya.

“Minar belum pulang Jon?” tanya perempuan tua seraya menyelempangkan syal di lehernya.

“Belum Bu. Katanya ada undangan dari Pak Bupati untuk para pengusaha seperti Minar. Rupanya ada acara penghabisan dana anggaran akhir tahun.”

“Ooo … anak itu mikirnya uang melulu. Apa harta yang begini banyak belum cukup.”

“Tak tahulah Bu.”

“Kamu tak pernah coba menasehati istrimu Jon?”

“Ah Ibu, kayak nggak tahu sifat Minar yang keras.”

“Kalau perempuan itu dibiarkan bengkok, ia akan tetap bengkok. Tetapi kalau diluruskan memang harus sabar. Jika terlalu cepat mungkin akan patah.”

“Hampir setiap saya memulai mengajak bicara baik-baik, Minar selalu ketus, dan selalu mengatakan lain kali saja bicara.”

Pembicaraan keduanya cukup lama.

Sekitar pukul sepuluh malam Minar datang. Perempuan ini masuk, kemudian dengan sinar mata yang tajam menatap suami dan ibunya berganti-ganti.

“Ibu dan Papah telah sekongkol membicarakan saya. Saya tidak suka!” katanya seraya menggebrak meja.

“Maah! Apa-apaan sih?”

“Minar, kenapa marah-marah begitu? Kenapa?”

“Ternyata kalian berdua sama saja. Semuanya tak suka dengan keputusanku. Dulu ibu ingin aku menjadi wanita karier yang sukses. Sekarang saya sedang merintis, ibu malah mengatakan saya salah. Kamu juga Pah, sukanya mengadu kepada Ibu.”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

“Ngomong Papah sukanya mengadu kepada Ibu. Kenapa tak kau dukung aku Pah, aku ini istrimu.”

“Siapa yang tidak mendukung Mamah?”

“Huuh! Sariya! Kesini!” teriak Minar memanggil pembantunya.

Yang dipanggil tergopoh-gopoh datang dengan wajah ketakutan. Ibu Marfuah dan Joni berpandangan tak paham maksud Minar memanggil pembantunya.

“Minar ini yang melaporkan apa yang ia dengar melalu SMS. Tadi, tadi, sejak tadi kalian berdua ngobrol! Tanya, tanyaaaa….. tanya ke Sariya!”

“Apa maksudnya Minar?” tanya Ibu Marfuah.

“Iya, apa maksudnya Mah?”

“Sariya telah melaporkan apa yang kalian bicarakan!”

“Bicarakan apa?” Joni semakin tak mengerti.

Minar menyuruh pembantunya mengambil barang. Ada alat mirip taperecorder. Barang itu ia berikan ke Minar. Ibu Marfuah dan Joni kaget.

“Ini tape-recorder kualitas sensitivitas super. Pembicaraan kalian ada di sini semua. Sariya telah satu bulan ini saya minta untuk memata-matai apa yang kalian bicarakan kalau saya tidak di rumah. Hari ini adalah puncak saya benci kalian yang bersekongkol!” kata Minar seraya menyetel tape-recorder.

Selang tiga detik, alat itu bersuara bening berisi pembicaraan Joni dan mertuanya malam ini. Muka keduanya merah. Muka Minar juga merah menahan marah.

“Ibu! Saya tak mengira Ibu demikian benci kepada kelakuan saya. Saya pikir kelakuan saya masih berjalan normal, tetapi ibu membicarakan kelakuan saya kepada suami saya seolah-olah ini adalah aib yang besar.”

“Maafkan Ibu, Minar.”

“Kalau memang ibu tidak nyaman di sini, tak perlu membicarakan saya di belakang saya. Terus terang kenapa Bu? Mulai besok ibu akan tinggal di Panti Jompo.”

“Minaaar!”

“Saya telah mendaftarkan semua keperluan Ibu di Panti Jompo, tak jauh dari sini Bu. Hanya tiga puluh kilo. Cukup dekat jika sewaktu-waktu saya sempatkan waktu untuk menengok Ibu.”

“Minaaaar!”

Perempuan tua yang berjalan menggunakan tongkat penopang itu histeris memanggil nama anaknya, namun anak perempuannya itu tak peduli. Tubuh rapuh itu mencoba mengejar. Tak kuat. Perempuan tua berdebum jatuh. Tubuhnya menghempas lantai. Mukanya membentur keras. Dagu Ibu Marfuah sobek mengucurkan darah. Minar tak peduli. Perempuan itu melanjutkan jalan masuk ke kamar.

Sementara itu Joni berteriak memanggil mertuanya. Perempuan tua itu dibangkitkan, dipapah, kemudian didudukkan. Karena melihat darah tak berhenti mengucur dari dagu yang sobek, laki-laki itu membawa mertuanya ke poliklinik bedah.

***

Tanggal 02 Desember 2014. Pagi-pagi.

“Mah, Mamah … Eyang kenapa Mah ? Kok hari ini ada mobil mau menjemput Eyang.” tanya Utami pagi-pagi sebelum berangkat sekolah.

“Eyang mau beristirahat di Panti sayang.”

“Panti? Apa itu panti?”

“Panti Jompo. Tempat yang paling membahagiakan para orang tua kita yang ingin istirahat total. Eyang akan bahagia di sana. Sudah ayo berangkat.”

“Iya Mah.”

“Pah, antar Ibu sampai ke tempat. Saya bareng Tami.”

“Bukannya Mamah yang mau ngantar?”

“Nggak. Papah saja.” kata Minar datar. Joni tak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti kemauan istrinya.

Siang itu Ibu Marfuah telah sampai di Panti Jompo. Kedatangannya disambut tatapan mata dari para laki-laki dan perempuan tua bahkan teramat tua. Hati Marfuah teriris merasakan bahwa sebentar lagi dirinyapun akan berada di antara mereka. Taka da tempat berteduh di hari tuanya. Anak pertamanya laki-laki telah meninggal. Tak mungkin ia ikut bekas menantunya yang telah kawin lagi. Kini ada Minar, tapi justru menantunya yang menurutnya baik hatinya. Minar sejak SMP ia rasakan memiliki sifat yang berbeda dengan kakaknya yang lemah lembut. Minar keras sejak kecil.

Tak terasa air mata Ibu Marfuah meleleh.

“Ibu… maafkan Joni yang tak bisa memberikan kebaikan bagi sifat Minar.”

“Tak apa-apa Joni. Mungkin ini memang yang tebaik untuk Ibu. Ibu hanya titip cucu Ibu, rawatlah ia agar tidak menuruni sifat Minar. Berusahalah agar kebaikan yang kau tuntunkan, jika gagal kepada istrimu, jangan gagal kepada anakmu…..”

Joni tak berkata apa-apa. Sebagian hatinya tetap merasa bersalah telah gagal memiliki peran sebagai suami yang bisa menjadi imam bagi istrinya.

***

Tanggal 22 Desember 2014.

Nanti malam ada acara khusus yang diselenggarakan oleh Ibu Bupati dalam rangka menyambut Hari Ibu tahun ini. Semua unsur dilibatkan sehingga diharapkan acara ini akan berlangsung semarak.

Minar sebagai seorang tokoh pengusaha yang punya banyak kolega dan dekat dengan para pejabat pun dilibatkan secara istimewa. Ia mendapat penghormatan untuk menampilkan anak putrinya Utami, dalam rangkaian acara peringatan Hari Ibu.

Tentu saja Minar sangat bangga atas penghormatan ini. Sejak dua hari yang lalu ia selalu mengingatkan Utami agar pada saatnya nanti tak mengecewakan dirinya. Minar telah membelikan banyak buku puisi anak-anak di toko buku. Namun, ia tak sempat untuk melihat Utami berlatih tampil untuk membacakan.

Malam itu puncak acara benar-benar meriah. Seluruh jajaran istri pejabat kantor kabupaten lengkap, istri para kepala dinas di kabupaten dan kepala bidang juga lengkap. Istri para camat se kabupaten datang. Ini adalah acara yang menunjukkan bentuk penghormatan kepada para ibu, sejatinya kepada diri mereka sendiri. Namun lebih luasnya tentu bagi para wanita para umumnya, kepada calon ibu, untuk tetap menjunjung tinggi harkat dan sifat keibuan seorang wanita yang dapat dijadikan landasan dalam pembinaan gererasi bangsa ini melalui keluarga dan anak-anak mereka.

“Acara berikutnya adalah pembacaan puisi atau deklamasi tentang keutamaan penghormatan kepada ibu, yang akan dibawakan oleh putri ibu Minaryati, S.E, direktur CV.Bangun Negeri Nukami, yang telah banyak membangun infrastruktur di kabupaten kita, sebagai mitra utama pemerintah kabupaten Nukami!”

Tepuk tangan riuh rendah menimpali pernyataan pembawa acara. Wajag sumringah menghiasi Minar. Didekapnya Utami yang mulai berdiri hendak menuju ke panggung.

“Kepada yang tercinta, yang cantik dan pintar, ananda Utami Mustikaning Pertiwi, dipersilakaaaaaan!”

“Semoga sukses sayang!” kata Minar seraya mencium kening Utami.

“Iya Mamah….” jawab Utami.

Gadis kecil memakai gaun dengar pernak-pernik gemerlap itu maju dengan anggun ke panggung. Tak terkira bangga hati Minar. Ia ingin tunjukkan kepada semua ibu-ibu lain, bahwa sebagai wanita karier yang suksespun bisa membina anaknya dalam berdeklamasi.

Gadis kecil itu maju memberikan flasdisk kepada operator sound untuk memutar music pengiring. Semua tercekat melihat kecerdasan anak ini, yang baru usia sekitar sepuluh tahun bermain dengan flasdisk.

Semua diam. Perlahan terdengar suara dentingan music pengiring perlahan. Ya, lagu instrumentalia “Kasih Ibu Kepada Beta”. Musik bersuara sedang di depan, kemudian melemah, lirih ketika Utami mulai bersiap mengambil nafas memulai membaca:

……. TEMPAT TERINDAH UNTUK IBU

Bertahun ibu membimbing anakmu ini ibu

Tak kenal lelah.

Bertahun ibu berlinang air mata

Saat ku sakit, saat ku tak berdaya

Tak perlu balasan, Ibu.

Ibu adalah Mamah,

telah merelakan nyawa untuk anakmu

Ketika melahirkanku.

Tak pernah menyesal melahirkanku.

….. Ibuuuu, Mamaaaaaaah

Aku tak bisa membalas jasamu

Kecuali menempatkan mamah di tempat nyaman

Bersama sahabat-sahabat mamah

Untuk menikmati hari tua.

…… Mamaaah

Terimalah bakti anakmu

Kelak ku antar Mamah ke Panti Jompo

………. Karena tempat inilah

“Yang paling membahagiakanmu”

………………… inilah nasehat Mamahku

Ketika mengantar Eyang, Ibu Mamahku, ke Panti Jompo!

Gemuruh suasana peringatan malam itu. Semua yang hadir bergeremang. Saling toleh. Saling tanya. Kebingungan. Semua mata memandang ke arah Minar. Mendadak wajah Minar pusat pasi. Namun kemudian memerah.

“Kurang ajaaaar!” kata Minar seraya berlari ke panggung kemudian merebut kertas yang dipegang Utami.

“Jangan Mamaaah!”

Plak! Tangan Minar menampar pipi Utami hingga anak itu terhuyung. Yang hadir bergemuruh melihat adegan kekerasan itu.

“Siapa yang membuat sajak ini? Siapaaaa?????”

“Mamah yang mengajari, mamah pernah bilang panti jompo adalah tempat paling membahagiakan para orang tua. Ketika Eyang mau dibawa ke panti jompo…”

Ketika memarahan Minar tak tertahan, ia hendak kembali menampar anaknya. Beruntung tangan Minar tak sampai mendarat, sebab beberapa petugas dan panitia telah menangkap dirinya.

“Anak durhaka Tamiiiiiiiiiiiiiiii!”  teriak Minar sekeras-kerasnya sambil meronta menunjuk-nunjuk anaknya. ***

Majalengka, 21 Desember 2014

Pukul 23.00, menit-menit menjelang

Hari Ibu 22 Desember 2014

sekaligus sebagai hadiah

bagi diri sendiri atas ulang tahunku sendiri

di Hari Ibu 2014.

* cara NARSIS bisa Ngasih Hadiah Ultah

ala Kang Rifki  Feriandi




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun