Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perkutut Bernama Margono

27 Juni 2017   04:13 Diperbarui: 22 Maret 2019   14:52 3621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naryo mengambil juwawut.

Dua kurungan burung perkutut miliknya diganti dengan pakan juwawut yang baru. Demikian pula air minum diganti dengan yang baru. Sebelum burung-burung itu dinaikkan ke tiang dengan kerekan atau katrol yang tinggi, laki-laki itu menjentitkan jemarinya.

“Jalu! Jaluuu! Tak! Tak! Tak!”

Huuur ketek-kong! Huur ketek-kong!

Burung pertama merespons jentitan jemari tuannya. Naryo puas. Pantas burung dengan respons cepat dan suara nyaring telah ditawar dengan harga enam juta rupiah. Namun ia tak hendak melepas dengan harga segitu. Laki-laki tetap memasang harga tujuh puluh lima juta rupiah.

“Margono! Margonoooo! Tak! Tak! Tak!

Huur ketek-kong kuk kong! Huur ketek-kong kuk kong! Huur ketek-kong kuk kong!

Kali ini burung kedua dengan nama Margono bersuara dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Super. Suara yang unik, dimiliki oleh burung dengan suara unik. Penanya harga biasanya jeri dengan harga yang dipasang Naryo. 

Pagi itu empat tiang dengan dua sangkar menghiasi halaman rumah Naryo. Dua tiang kosong karena telah laku, yang tersisa dua, Jalu dan Margono belum laku. Jalu, belum dilepas, sedangkan Margono belum ada yang berani membeli dengan harga yang sangat tinggi.

***

Hari itu sebuah rumah cat kuning dengan halaman luas telah berpenghuni baru.

Rumah itu telah dijual pemilik lamanya. Penghuni barunya tampak seperti orang kaya. Perabotan yang dibawa bagus-bagus. Garasi mobilnya juga berisi mobil keluaran baru. Kata orang-orang, ia adalah pejabat mutasi baru dari kabupaten lain.

Seminggu berikutnya, di teras rumah terpampang nama pemilik rumah. Drs. H. Margono, S.Pt. Pemasangan nama ini yang kemudian diikuti dengan syukuran mengundang para tetangga di lingkungan RT mendadak menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Sebelum pemilik rumah memperkenalkan diri, sebagian saling pandang.

“Nama saya adalah Margono. Lengkapnya Doktorandus Haji Margono Es-pe-te!” katanya memperkenalkan diri. Sontak beberapa orang saling pandang meyakinkan saling pandang ketika baru masuk ke ruang dalam.

“Namanya seperti perkutut si Naryo,” bisik Dayun kepada Bilung.

“Pas,” kata Biliung seraya menunjukkan jempolnya.

Perkutut mahal. Ini juga orang kaya, gelarnya hebat.”

“Iya, nggak salah Naryo ngasih nama perkututnya dengan Margono.”

“Bagaimana kalau dia kita panggil Pak Perkutut?”

“Ssstttt… jangan! Dosa! Kita nggak boleh memanggil nama orang dengan sebutan yang jelek!”

“Memangnya Pak Perkutut itu jelek ya?”

“Jelek laaaah!”

“Rasanya nggak jelek-jelek amat.”

“Coba kalau aku panggil Kang Emprit, mau nggak?”

“Ya enggak laaah. Malu, yang keren dikit gitu!”

“Pak Belekok!”

“Dasar! Masa nama burung untuk nama kita! Kecuali burung-burung yang gagah. Elang Saputra, Rajawali Ayodya, Garuda Bawaleksana gituuu….”

“Yaaa… tapi memang ini menarik untuk kita amati!”

“Maksudnya?”

“Kita taruhan.”

“Taruhan apa?”

“Lambat laun Pak Margono pasti akan tahu kalau nama perkutut si Naryo itu namanya juga Margono.”

“Terus?”

“Kita taruhan seratus ribuan.”

“Isi taruhannya?”

“Kalau Pak Margono marah, aku yang menang. Kalau Pak Margono tidak marah, atau biasa saja, kamu yang menang.”

“Deal!”

***

Benar juga dugaan Dayun dan Bilung, termasuk banyak tetangga warga RT yang lain. Nama Margono yang menjadi nama burung Naryo membuat laki-laki kaya itu melabraknya.

“Anda itu tidak sopan sekali! Masa nama perkutut disamakan dengan namaku!”

“Apa masalahnya?” Naryo bingung dikata-katai begitu secara tiba-tiba.

“Tidak pas!”

“Sebelum Bapak pindah ke sini, burung ini memang sudah bernama Margono. Sejak bakalan, sejak belum pinter manggung dia sudah bernama Margono.”

“Ganti namanya!”

“Tidak bisa! Bapak tidak berhak mengatur saya.”

“Saya tidak suka nama itu!”

“Kenapa? Nama binatang juga biasa dipakai untuk nama orang. Gajah Mada, Kuda Narpada, Mahesa Jenar, Singa Lodra, Macan Kepatihan, Kidang Alit, Paksi Jaladara, Singo Ranu Legowo, Abu Hurairah dan sebagainya.”

“Itu kan jaman dahulu!”

“Ya nggak juga! Artis juga pakai, keren lagi. Ada yang namanya Lembu, ada Jenar Maesa Ayu. Artinya nggak apa-apa kan hewan diberi nama manusia. Di kebun binatang, hampir semua binatang di sana diberi nama dengan nama-nama orang.”

“Nggak. Pokoknya saya minta Mas Naryo harus mengganti nama burung perkutut ini!”

“Maaf Pak… ada solusi lain.”

“Apa itu?”

“Silakan Bapak beli burung ini, setelah itu silakan ganti nama sesuka Bapak.”

“Oke! Berapa harganya?”

“Tujuh puluh lima!”

“Hahaaa! Hanya tujuh puluh lima! Jangankan segitu, dua ratus juga saya berani!”

“Tujuh puluh lima juta!”

“Glk! Apa?!!!” mata Pak Margono melotot tak percaya terhadap apa yang baru saja ia dengar.

“Tujuh puluh lima juta! Itu harga burung ini….”

“Juta itu?”

“Juta Pak. Ini dipahami bagi yang ngerti burung. Maaf, bukan berarti saya mengatakan Bapak nggak ngerti burung.”

“Tukar sama motor saya?”

“Motor nggak sampai segitu harganya.”

“Turunin harganya dong.”

“Maaf Pak, sebenarnya kalau burung ini Bapak beli mau dipiara atau mau diapakan?”

“Mau saya lepas, mau saya usir, biar nggak ada lagi burung dengan nama saya.”

“Haduuuh….. kalau begitu nggak jadi saya jual ke Bapak.”

“Saya bayar dua puluh lima juta, tambah motor, dengan syarat ganti nama! Ganti nama dengan bukti dia sampai ngoceh! Sampai manggung, tapi dengan panggilan bukan namaku.”

“Mmmmm….. tapi …”

“Tapi kenapa?”

“Waktunya agak lama Pak. Harus mbubur merah mbubur putih segala, harus ngruwat segala.”

“Berapa lama?”

“Satu minggu.”

“Jadi.”

“Uangnya Pak?”

“Hari ini juga saya bayar!”

“Benar nih Pak?”

“Benar!”

Hari itu bagi Naryo benar-benar berkah.

Motor keluaran tahun 2015 ditambah uang sebanyak dua puluh lima juta sudah di tangan. Burung tidak berpindah tangan. Sementara itu Dayun menang taruhan terhadap Bilung. Bagi Pak Margono sendiri, tentu uang dan motor tak terlalu dianggap mahal. Burung dengan nama dirinya akan menyebabkan dirinya menjadi gunjingan dan cemoohan banyak orang. Inilah yang harus disingkirkan.

***

Dalam seminggu Naryo berusaha untuk menghilangkan syaraf respons Margono dalam diri perkutut bernama Margono. Ia datangi temannya yang lebih ahli dalam hal perkututan untuk membantu membantu mengganti nama. Tak masalah baginya harus membayar lima juta untuk itu. Tentu ditambah dengan beberapa syarat yang ia lakukan sendiri dengan cara sering nilem burung perkutnya ke dalam air belik.

Di hari kelima, Naryo sumringah. Burung perkututnya sudah tak merespons apa-apa ketika dipanggil dengan nama Margono. Ia puas. Janjinya dengan Pak Margono terpenuhi. Burung yang telah memberikan rejeki lumayan besar itu telah diganti nama.

Di hari ketujuh Pak Margono datang ke rumahnya.

“Bagaimana Pak Naryo?”

“Sudah beres Pak. Dia sudah bersih syarafnya dari nama lama.”

“Coba saya tes!” kata Pak Margono seraya mendekati sangkar perkutut.

“Silakan Pak.”

Margonooo! Tak! Tak! Tak!

Tak ada respons. Laki-laki itu bahkan melihat burung itu seperti kebingungan. Ia mengulangi memanggil burung itu dengan namanya. Tetap tak ada respon. Wajah Pak Margono puas. Ia merasa beban di hatinya benar-benar hilang.

“Terima kasih Pak Naryo!” kata Pak Margono sambal mengguncang-guncang pundak Naryo.

“Sama-sama Pak.”

“Namanya diganti?”

“Iya Pak, kalau nggak diganti nama, bagaimana mau memanggil burung ini agar manggung.”

“Siapa nama barunya?”

Naryo bersiap-siap menjentitkan jari di depan burung perkututnya.

Suwignyo! Suwignyooooo! Tak! Tak! Tak!

Huur ketek-kong kuk kong! Huur ketek-kong kuk kong! Huur ketek-kong kuk kong!

Burung perkutut itu manggung sambil mengangguk-anggukan kepalanya berulang-ulang. Pak Margono terhenyak.

“Goblooooook!”

“Kenapa Pak?” Naryo kaget.

“Itu nama ayahkuuuuuu!!!!!!”

Naryo melongo. ***

Purbalingga, lebaran ketiga 1438 H.

Keterangan:

  1. Manggung: Istilah Jawa , bernyanyi khusus untuk burung perkukut. Jika burung lain ngoceh, mengoceh.
  2. Nilem: menenggelamkan.
  3. Belik: Tempat keluar mata air
  4. Ngruwat: Menghilangkan pengaruh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun