Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Zaniar dan Ahmad Hong (9)

20 April 2016   20:53 Diperbarui: 20 April 2016   20:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok-pribadi"][/caption]

================================

Link sebelumnya

Edisi 6 Zaniar dan Ahmad Hong

Edisi 7 Zaniar dan Ahmad Hong

Edisi 8 Zaniar dan Ahmad Hong

================================

9. Murid Ahmad Hong

Ketika sampai di depan kelas Zaniar kaget mendengar kelasnya gaduh. Ketika ia masuk lebih kaget lagi karena ternyata di situ ada anak kelas lain sedang marah-marah. Sementara semua anak laki-laki di situ terdiam. Sebagian anak perempuan menjerit-jerit. Zaniar melihat ada dua anak laki-laki asing di kelasnya.
“Ada apa ini?!” Zaniar berteriak keras. Semua menoleh. Sebagian anak perempuan histeris kemudian berlari ke arah belakang Zaniar.
“Kamu anak perempuan! Galak bener…. hahahaa!”
“Diam! Kamu anak kelas mana berani-beraninya masuk ke sini?!”
“Eh, membentak”
“Apa urusannya.”
“Maksudku kamu anak perempuan. Tak usah belagu!”
Zaniar mendekat. Ia melihat seluruh anak laki-laki tak ada yang bergerak. Semuanya duduk di bangku masing-masing dengan tertunduk. Zaniar memahami apa yang sedang terjadi. Wajah mereka ketakutan semua.
“Apa urusannya kalian ke sini?” tanya Zaniar dengan tatapan mata tajam.
“He, kalian anak kelas XI. Masa tidak kenal sama kita ya Tong?” kata satunya kepada yang dipanggil Tong. Yang diajak bicara mengiyakan.
“Huueeeh… siapa yang kenal kalian? Kalian pernah juara apapun, tak punya prestasi, tak terkenal, bagaimana mungkin hingga kami harus mengenal kalian?” tanya Zaniar ketus.
“Eeee … anak perempuan! Berani bener kamu menghina kami. Siapa namamu?”
“Zaniar. Yang menghina itu kalian! Seenak sendiri bikin onar di kelas orang lain!”
“Oooo ….. “
“Kalian segera keluar dari kelas jangan bikir onar!”
“Diam kamu!”
“Kamu yang diam!”
“Hei kamu anak laki-laki yang gendut, maju sini! Cepat!” tiba-tiba anak asing itu menunjuk Cepi, teman sekelas Zaniar yang bertubuh gendut.
Anak laki-laki gendut bernama Cepi maju dengan ketakutan. Anak laki-laki pembuat gaduh tertawa melihat Cepi maju ketakutan. Zaniar melihat gelagat kurang baik. Gadis itu berjalan mendekati Cepi.
“Saya marah tahu! Saya tabu melawan perempuan! Tapi tangan ini sudah gatal ingin menggampar muka kamu. Hei gendut! Ayo maju kamu adalah gantinyaaaa…..!” kata anak laki-laki pembuat gaduh itu mengarahkan kepalannya ke wajah Cepi. Cepi pucat.
Hup! Sret!
Dengan sigap Zaniar menangkap genggaman yang menjulur hampir mengenai hidung Cepi, kemudian dengan cepat memelintirnya ke belakang. Anak laki-laki itu meringis. Zaniar semakin mengeraskan pelintirannya.
Melihat temannya dipelintir, anak yang dipanggil Tong menyerang Zaniar. Namun gadis yang sudah terlatih dari awal memang sudah memperhatikan segalanya. Kakinya dijulurkan untuk menghadang perut penyerangnya.
Bleg! Si Tong jatuh tersungkur. Teman-teman Zaniar bersorak. Si Tong meringis sambil menahan malu. Sementara Zaniar masih memegang tangan anak laki-laki satunya.
“Berhentiiiii!” tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
Semua anak menoleh. Yang berteriak adalah Pak Bimo, pembina OSIS, didampingi Pak Nanto. Rupanya diam-diam ada yang melaporkan kejadian yang tadi berlangsung di kelas.
“Zaniaar! Lepaskan dia!” bentak Pak Bimo. Zaniar menurut. Perlahan Zaniar melepas tangan si pembuat onar.
“Maafkan saya Pak.” kata Zaniar.
“Ini apa-apaan sih? Bukannya belajar malah pada berantem.”
“Dia membuat onar Pak.”
“Masa dengan teman sendiri berantem!”
“Dia anak kelas XII Pak!” ada yang celutuk. Pak Bimo dan Pak Nanto kaget.
“Anak kelas XII? Oooo …. ini Deden dan Tongki?” kata Pak Bimo setelah kedua anak itu bangkit berdiri.
“Keduanya bikin onar di sini Pak. Mereka mau memeras. Tadi bahkan mau memukul Cepi, makanya saya lawan.”
“Kamu lawan dia Niar?” tanya Pak Nanto tidak percaya.
“Kalau mereka tidak mau memukul Cepi, mungkin saya tidak melawan mereka Pak.”
“Kenapa kamu berani Niar?”
“Yaaa saya kebetulan punya kemampuan memelintir dan menendang Pak.”
“Ya ampuuun kamu benar-benar aneh Niar….” kata Pak Bimo sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak, boleh saya bicara pada mereka?” tanya Zaniar.
“O silakan.”
“Hei kamu Otong sama… siapa tadi? Deden! Kalau kamu belum puas, boleh lawan aku di mana saja. Jangan remehkan walaupun saya perempuan. Kalau mau jangan main keroyok. Pengecut! Tapi kalau mau keroyok boleh! Saya ladenin tahu!”
“Niar sudah, sudah …. “ Pak Nanto menyela.
“Biarkan Pak. He Tong! Den! Mau dimana? Di lapang pasar lawas? Lapangan Puspa! Lapang Jatipamor? Atau Stadion Warung Jambu sekalian? Saya tunggu!” kata Zaniar tegas seraya menunjuk muka keduanya.
Teman-teman Zaniar terheran-heran melihat keberanian gadis itu. Sama sekali tidak menyangka bahwa Zaniar yang kelihatan galak dalam ucapan, ternyata juga galak dalam olah fisik. Sama sekali tidak ada yang menyangka bahwa ia berani melawan anak laki-laki dua sekaligus.
“Sudah Niar…” Pak Bimo memotong, “ ….. Tongki , Deden catatan kenakalan kamu sudah banyak. Waktu kelas XI kamu sudah pernah dibawa menghadap kepala sekolah. Sekarang kamu sudah kelewatan memalak di kelas lain, maka kamu akan Bapak bawa menghadap kepala sekolah. Biar dikeluarkan dari sekolah sekalian!”
“Ampuuuunnn jangan Pak, jangaaaann….. jangan dibawa ke Pak Kepala …. Kami kapok Pak.”
“Zaniar menghadap guru BK!” perintah Pak Bimo.
“Siap Pak!”
Ketika Pak Bimo membawa Deden dan Tongki anak-anak bersorak ramai. Mereka menyambut Zaniar seperti pahlawan.
“Sejak saat ini Zaniar harus kita lindungi! Kita harus berani!” kata ketua kelas sambil berdiri dan mengepalkan tinjunya ke atas,
“Nggak terbalik tuuuh?” tanya Zaniar sambil mengernyitkan dahinya.
“Terbaliiiiiiiikkk!” kata teman-temannya bersamaan.
Akhirnya semuanya tertawa terbahak-bahak. Tak urung Zaniar ikut tertawa sambil berlari meninggalkan kelas. Ada sebersit rasa bangga dalam diri gadis ini ketika di kelas ia bias menjadi penolong teman-temannya. Akan tetapi ia mencoba menekan perasaan bangga yang muncul. Ia takut rasa bangga berubah menjadi kesombongan.
Sekita tiga menit Zaniar sampai di depan ruang BK. Sepagi itu ia harus sudah berurusan dua kali dengan ruang itu. Sebal sebenarnya. Akan tetapi bagaimana lagi, masalah yang baru terjadi memang mengharuskan dia bolak-balik ke sana.
“Masuk Niar!” dari dalam terdengar suara Pak Bimo memanggil. Zaniar masuk.
“Ya Pak. Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam!” kata yang lain menjawab salam Zaniar. Pak Bimo melihat ke arah Deden dan Tongki yang menyembunyikan mukanya.
“Kamu tidak menjawab salam Zaniar Den? Tong?”
“Emmm…..”
“Kenapa? Kamu orang Islam bukan?”
“Ya Pak…. tapi .... tapiii …… “
“Tapi apa?”
“Islam tapi tidak sholat…. “ kata Deden lemah. Tongki kaget.
Mendengar itu Pak Bimo terbahak-bahak. Pak Nanto, Bu Siti dan Zaniar hanya senyum dikulum. Deden dan Tongki memerah mukanya.
“Ulah ngomong kitu! Era atuuhh!” kata Tongki seraya menyikut lengan Deden.
“Haduuuhh Den, jujurmu bagus. Tapi tidak sholatnya itu yang tidak bagus. Kalau sudah mengaku Islam ya sholatlah, rugi dong. Ibaratnya orang sudah punya baju bagus tetapi tidak pernah dipakai!”
“Iya, iya Pak, nanti saya mau sholat.”
“Awas lho, urusan sholat itu jangan karena malu dengan orang lain Den. Sholat itu urusannya dengan Tuhanmu Den ….. “
“Iya Pak.”
“Hmhh…. sudahlah, mari kita fokus ke masalah semula. Begini, tolong kamu Deden, Tongki, siapa yang mau cerita, kenapa kamu berdua bikin keributan di kelasnya Zaniar.”
“Deden Pak…” kata Tongki menunjuk Deden.
“Tongki Pak.” kata Deden ganti menunjuk Tongki.
“Kan kamu yang ngajak!” kata Tongki.
“Kan kamu yang butuh uang!” kata Deden.
“Ooooo jadi kalian memalak di kelas Zaniar?” tanya Pak Bimo mulai mengerti.
“Bukan memalak Pak, iseng saja. Kami melihat kelas anak ini kosong.” kata Tongki sambil menunjuk Zaniar.
“Anak ini siapa? Siapa namanya?” tanya Pak Bimo.
“Siapa Den?” tanya Tongki.
“Gumelar.”
“Iya Pak, Gumelar.”
“Wah kupingmu nggak bener atau kamu telmi?”
“Maksudnya apa Pak?” tanya Deden.
“O yaaa …. yaaaa sudahlah ….. kita tidak usah bicara masalah kuping dan telmi.”
“Tuhhh Tong, kamu si telmi!”
“Iya, kamu masalah kuping!”
Pak Nanto, Bu Siti dan Zaniar menahan ketawa. Sementara Pak Bimo terbahak-bahak melihat kelakuan kedua muridnya itu. Deden dan Tongki hanya berpandangan. Keduanya malah bingung.
“Ya, ya … sudahlah intinya Deden dan Tongki memang mau memalak di kelas Zaniar. Sekarang kamu Zaniar, ceritakan kenapa kamu tadi melawan kedua anak ini….”
“Ya Pak ….” kata Zaniar.
“Eh, sebentar Pak….”, sela Deden, “ …… katanya nama anak ini Gumelar.”
“Siapa yang ngomong?” tanya Pak Bimo sambil tertawa.
“Tadi Bapak kan?”
“Kapan saya mengatakan nama ini Gumelar?”
“Siapa yang ngomong? Bapak hanya ngomong , sudahlah …. kita tidak usah bicara masalah kuping dan telmi! Sama sekali tidak pernah mengatakan anak ini Gumelar. Namanya Zaniar. Dengar nggak?”
“Dengar Pak.” Kata Deden dan Tongki bersamaan.
“He-eh, siapa ulangi?”
“Janiar.”
“Bukan Janiar, pakai Z , Za-ni-ar.”
“Zaniar.”
“Naaaahhh ….. itu, kupingmu bener sekarang hahahaaa……”
“Ah Bapak, dari dulu juga kuping saya juga bener.”
“Iya, ya, percayaaaaa….. sudahlah cukup ya. Sekarang Zaniar, kenapa tadi kamu melawan Deden dan Tongki.”
“Ya saya tidak melawan Pak. Kak Deden dan Kak Tongki, sebelumnya saya minta maaf, barangkali kelakuan saya di kelas tadi membuat malu kakak berdua …..”
“Tuuuuhhhh….. Deden, Tongki, Zaniar minta maaf. Dimaafkan nggak?”
“Nanti saja, lain kali saja.”
“Kamu ini hatinya batu Den, Tong! Urusan kamu ini masih panjang lho! Kamu harus minta maaf kepada anak-anak IPA 9, ya kepada seluruh warga kelas itu. Kepada seluruh orang tua anak-anak IPA 9 ….. “
“Kok jadi panjang banget urusannya Pak?” tanya Tongki tidak mengerti.
“Memang sebelum berbuat itu kamu harus berfikir panjang. Mereka anak-anak IPA 6 adalah anak-anak yang orang tuanya baik-baik. Ketika kamu memalak di depan mereka, mungkin ada yang jiwanya penakut akan stress melihat kelakuanmu! Bisa sakit. Siapa yang rugi, mereka, juga orang tua mereka. Makanya kalau memalak itu harus berfikir panjang. Paling tidak di dalam hatimu masih ada tersisa perasaan iba kepada anak lain, di pojok hatimu yang gelap masih ada cahaya terang walalu sedikit.”
“Iya Pak.”
“Di hati kalian masih ada kebaikannya nggak?”
“Masih dong Pak.”
“Naaah itu yang harus dipupuk! Kamu jangan mengikuti hawa nafsu kamu!”
“Iya Pak.”
“Niar, sekarang ke kamu, kenapa kamu tadi memelintir tangan Deden?”
“Dia mau memukul Cepi Pak, katanya sebenarnya mau memukul saya, tapi karena saya anak perempuan, makanya dia mau mencari pelampiasan anak laki-laki.”
“Benar begitu Den?”
“Iya Pak.”
“Tadi di kelas Zaniar menantang kamu, kalau kamu belum puas boleh di lapangan mana saja, mau sendirian atau keroyokan boleh. Berani kamu? Kalau tidak mau di lapangan, boleh di tempat lain. Di gudang olah raga kita ada matras ring tinju. Nanti kita pindahkan ke aula, boleh kamu diadu di sana, ditonton anak-anak lain.”
“Tidak Pak …. kami tidak mau memperpanjang masalah ini.”
“Masalah kamu memalak di kelas ini masalah gawat Den, Tong! Kami, guru kalian memang tidak berencana melaporkan masalah ini ke kepala sekolah atau orang tua kalian. Tapi kalau nanti kejadian terulang, kamu malak di tempat lain atas laporan siapa saja, saya tidak segan-segan mengundang orang tua kalian. Kalau perlu lapor ke polisi!”
“Jangan Pak. Kami kapok.”
“Bagus kalau begitu. He dengar Den, Tong, untuk anak-anak yang banyak kasus seperti kalian, saya selaku Pembina OSIS itu punya banyak informan di kelas-kelas untuk melaporkan tindakanmu. Kamu tidak tahu siapa anak-anak yang saya jadikan informan. Tapi yang jelas banyak.” Kata Pak Bimo jelas.
Deden dan Tongki saling berpandangan. Mereka berfikir bahwa bakal tak ada lagi tempat yang leluasa untuk melakukan hal-hal yang dilarang sekolah. Ketiga guru dan Zaniar terdiam. Namun mereka terus mengamati roman muka Deden dan Tongki.
“Baiklah , sekarang Zaniar, bapak ingin tahu, kelihatannya kamu mahir beladiri ya?” tanya Pak Bimo membuat Zaniar gelisah dan menata duduknya beberapa jenak.
“Mmmm ….. bagaimana ya?”
“Benar kamu ikut beladiri ya?”
“Yaaa begitulah Pak.”
Bu Siti kaget. Terlebih lagi Pak Nanto, orang yang lebih banyak komunikasi dengan Zaniar. Baru kali ini ia mendengar perihal ini. Pak Nanto semakin penasaran.
“Kamu berlatih di mana?”
“Di pesantren Tretes.”
“Babussalam?”
“Ya Pak.”
“Perguruan Qolbun Kamil?”
“Ya Pak. Bapak tahu?”
“Kamu murid Ahmad Hong?”
“Iya Pak. Bapak kenal Ustadz Hong?”
“Astaghfirullaaaaah ……. berapa lama saya tidak ketemu dia ……”
“Bapak kenal Ustadz Hong?” Tanya Zaniar mengulangi pertanyaan.
“Ustadz Ahmad Hong adalah sahabat Bapak semenjak di perguruan Qolbun Kamil Cimandi.”
“Astaghfirullahal’adziiiim. Ternyata Pak Bimo sahabat Ustadz Hong.”
“Hanya bedanya dulu Ustadz Hong memang sedang memperdalam Tafsir di Pesantren Cimandi, kalau bapak hanya ikut berlatih di kegiatan silatnya saja.”
“Oooo begitu ….”
“Iya begitu. Jadi jangan disangka saya ini juga mesantren lho?”
“Hanya di Qolbun Kamilnya saja?”
“Iya begitu. Jadi kesmpulannya kita satu perguruan Zaniar ….. “
“Oooo …. “ kata Zaniar tertahan mendengar pernyataan Pak Bimo. Ada perasaan haru dan bangga dengan kalimat gurunya itu.
“Sudah lama kamu berlatih dengan Ustadz Hong?” tanya Pak Bimo.
“Pak Bimo, Zaniar ini memang seorang santri di Tretes.” Pak Nanto menyela. Dia ingin menunjukkan peran dalam pembicaraan keduanya karena memang ia tahu tentang hubungan Zaniar dengan pesantren Tretes.
“Santri? Apa maksudnya?” Pak Bimo heran.
“Ya santri. Santri non-mukim. Zaniar ini mesantren seminggu dua hari, Sabtu siang pulang sekolah hingga Minggu sore.”
“Benar begitu Niar?”
“Emm yaaa…. Pak Nanto benar.”
“Pak Nanto banyak tahu tentang kamu rupanya ya?”
“Kan wali kelasnya ….. ya Niar?” kata Pak Nanto sambil tertawa.
“Ya Pak.”
“Tapi saya justru baru tahu kalau Niar berlatih silat juga.”
“Hihihi ….. saya malah jadi malu banyak yang tahu keadaan saya.
“Niar…. “, sela Pak Bimo, “ ….. Ustadz Hong masih menjadi guru bahasa Arab?”
“Masih.”
“Ustadz Hong itu hafidz Qur’an tiga puluh juzz lho.”
“Iya Pak, Niar tahu.”
“Nah Deden, Tongki, sekarang kamu tahu sendiri. Zaniar ini adalah anggota perguruan silat Qolbun Kamil Tretes. Nama gurunya Ustadz Ahmad Hong Sin, teman seperguruan saya di Qolbun Kamil Cimandi. Kalau kalian masih mau memperpanjang urusan dengan Zaniar, berarti kamu juga berhadapan dengan saya, kakak seperguruan Zaniar!” kata Pak Bimo dengan bangga.
Deden dan Tongki diam tertunduk. Sementara Pak Nanto menghela nafas panjang. Diliriknya Zaniar sepintas. Wajah Zaniar yang bersih, jernih kadang membuat hati Pak Nanto gelisah. Apalagi kini semakin tahu, gadis itu memiliki ketrampilan yang semula disembunyikan.
Siang itu sepulang sekolah, Deden dan Tongki mampir di warung dekat terminal. Keduanya sedang merokok. Pembicaraan mereka masih sekitar kejadian di sekolah.
“Pokoknya kita harus tetap membalas. Biarpun dia jagoan, masa kita kalah sama perempuan! Urusan kita belum selesai.”
“Tapi dia sekarang punya becking Pak Bimo.”
“Biarpun ada kakak seperguruannya, kita cari akal … telmi lu!”
Beberapa jenak kemudian keduanya meninggalkan warung dengan sepeda motornya dengan cepat. ***

 

(Bersambung .....)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun