Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Zaniar dan Ahmad Hong (3)

20 Maret 2016   09:45 Diperbarui: 20 Maret 2016   10:20 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok. pribadi"][/caption]

3. Santri Tamu di Pesantren Babussalam

Hari Sabtu pelajaran hanya sampai pukul sebelas siang. Usai shalat dzuhur Zaniar mempersiapkan diri berangkat ke pesantren Babussalam. Tas berisi perlengkapan untuk bermalam dan pagi harinya sudah disiapkan. Wartini mengamati anaknya dengan memanjatkan doa. Hanya satu yang dipintanya, semoga perjalanannya ke pesantren hari itu membawa berkah dalam hidupnya.
Tok! Tok! Tok! Assalaamu’alaikum!
Terdengar ada yang mengetuk pintu serta memberi salam. Wartini menjawab salam, kemudian bergegas ke depan membuka pintu. Ketika pintu dibuka Wartini mundur sedikit. Ditatapnya tamunya sejenak.
“Ini rumah Zaniar Bu?” tanya tamunya.
“Ooo…iii..iya. Ini tempat Zaniar. Bapak siapa?” Wartini tegang.
“Saya wali kelasnya Bu….”
“Oooo….. yang namanya Pak Nanto?” wajah Wartini mengendor mendengar tamu itu menyebut wali kelas anaknya.
“Iya benar Bu. Saya Nanto”
“Silakan…. aduuuh…. waaah maaf Pak, tempatnya tidak layak begini. Silakan duduk dulu Pak. Zaaaan….. ini ada Pak wali kelas!”
Demi mendengar kata wali kelas disebut, jantung Zaniar berdegup kencang. Dua hari di sekolah ia benar-benar menghindari Pak Nanto. Namun kali ini ia sama sekali tidak bisa berkutik. Zaniar ingat benar kalimat yang tertulis di lembaran kertas tempo hari. Sekarang laki-laki benar datang mengejarnya. Tidak salah, demikian dugaannya.
Pak Nanto…..! Bibir Zaniar berucap pelan mengeja nama itu. Ia benar-benar tak berani melangkah ke luar.
“Zaaan ….. ini Pak Nanto.”
“Iii….iiya Bu.”
“Cepat sedikit.”
Dengan dada berdebar-debar Zaniar keluar.
“Oooo…. Assalaamu’alaikum Pak!” kata Zaniar seraya menyalami Pak Nanto sambil mencium tangannya.
“Rapi benar Niar? Mau ke mana?”
“Mau berangkat mengaji Pak.”
“Mengaji? Di mana?”
“Pesantren Pak.”
“Pesantren mana?”
“Babussalam Pak.”
“Babussalam? Yang di Tretes itu?”
“Iya Pak. Bapak tahu?”
“Ya tahu laaah ….. bapak punya kerabat di sana. Sesekali main ke sana. Ada pengajian rupanya?”
“Ooo tidak Pak. Pengajian rutin, maksudnya mengaji biasa.”
“Maksudnya Niar mesantren?”
“Yaaa…Pak, santri palsu. Niar hanya bisa belajar di Babussalam hari Sabtu dan Minggu saja….”
“Oooo…..Niaaaar….. kenapa kamu nggak pernah cerita tentang ini?”
“Ah Bapak. Malu Pak.”
“Bapak tidak mengira kamu serajin ini. Jadi….nggg…. jadi sekarang kamu mau berangkat?”
“Iya Pak.”
“Emmm…… yaa… silakan….” kata Pak Nanto.
“Eh maaf Pak….” Sela Wartini, “….. bapak ke sini pasti ada perlu.”
“Oh, tidak, tidak. Nanti saja Senin di sekolah. Sekarang biar Niar berangkat mengaji dulu.”
“Tidak Pak, kenapa Bapak harus buang waktu percuma. Sekarang bapak ada di sini, kami juga ada. Kalau ada masalah, sampaikan saja.” kata Wartini.
“Kalau begitu ….mmmm…. baiklah. Duduk sebentar Niar.”
“Ya Pak.” Kata Zaniar seraya duduk.
“Ini berkaitan dengan Bu Yati.” Kata Nanto mengawali.
“Bu Yati marah ya Pak?
“Sepertinya begitu. Katanya Niar kabur dari Bu Yati ya?”
“Bukannya kabur Pak. Niar kan sudah datang menghadap Bu Yati, eh, malah disuruh membeli lotek dulu. Sampai lima belas menit diajak ngobrol yang tidak mengarah ke yang inti, saya katakan mau ulangan matematika setelah istirahat. Ya sudah… saya lari saja. Saya tidak salah kan Pak? Saya hanya mengamalkan apa kata Pak Haji Jalal, dalam agama katanya kita harus pandai memenej waktu. Eh, si ibu malah bertele-tele…..”
“Tapi bagaimanapun memang wajar kalau Bu Yati marah ….”
“Sudah terlanjur Pak. Biar sajalah…”
“Begini Niar, juga ibu …. saya ke sini membawa amanat dari bapak kepala Sekolah, Pak Haji Layang, katanya sejak awal tahun ini tak ada lagi tunjangan beasiswa. Kata Pak Layang, tunjangan itu harus diberikan pada anak lain…. “
“Oooo…. begitu ya Pak?”
“Iya.”
“Biar saja.”
“Yang sejak awal tahun harus dilunasi Bu…”
“Bagaimana ini Niar?” tanya Wartini kepada anaknya.
“Lunasi saja kalau ada. Kalau nggak ada ya sudah, keluar saja dari sekolah. Nanti hutangnya biar dilunasi, dicicil ….” kata Zaniar datar.
“Hus! Kamu ini ngomong apa sih?” ibunya kaget.
“Memang begitu maunya Pak Layang. Bapak kepala memang ingin saya keluar dari sekolahnya.” Kata Zaniar datar.
“Niar! Kamu ngomong apa sih?”sela Pak Nanto.
Zaniar tidak menjawab. Bibirnya terkatub. Matanya berkaca-kaca. Pak Nanto heran. Ditatapnya mata Zaniar dalam-dalam. Zaniar tertunduk.
“Niar, duduk dulu ….. “ pinta Pak Nanto. Zaniar meletakkan tasnya.
“Ibu juga baru tahu sekarang Zan. Kamu tak pernah cerita tentang hal ini ….. “ sela Wartini dengan wajah gelisah.
“Benar Niar punya masalah dengan Pak Layang?” tanya Pak Nanto setelah Zaniar tenang.
“Biasa saja Pak…..”
“Maksudnya biasa apa?”
“Saya kan memang begitu, banyak kata orang saya ini orangnya kaku. Jutek. Tak tahu etika. Sembrono …. yaaa …. seperti itulah. Bagi saya kadang-kadang hidup itu seperti sangat sulit. Menjalankan nasehat orang yang satu, kata orang yang lain salah. Tak banyak orang yang mau mengerti sikap, dan mungkin sifat saya. Paling hanya ibu yang paham sifat saya.”
“Niar, bapak juga paham sifatmu. Justru bapak sangat kagum padamu. Bapak kagum akan keberanianmu mengatakan yang haq.”
“Tapi banyak orang yang tidak menerima!”
“Memang siapapun kalau dikatakan kekurangannya suka kesal, marah, tidak mau. Yaaaa…. kaya orang yang wajahnya jelek dikatakan jelek akan marah. Iya kan?”
“Ya itulah …. kita kadang-kadang harus menahan diri untuk mengatakan orang apa adanya. Di pergaulan sepertinya harus begitu Niar. Kecuali kalau di pengadilan, mungkin hitam harus dikatakan hitam, putih harus dikatakan putih.”
“Itulah yang membuat saya sulit. Kata teman-teman saya ini sifatnya kaku, tidak luwes. Kata guru-guru juga begitu. Aneh!”
“Tapi bapak memahami sikap dan sifat kamu kok!”
“Mungkin saja Pak. Tapi mungkin juga tidak.”
“Ya , benar,paham. Bapak banyak mempelajari sifatmu dari kejadian-kejadian ketika kamu kelas X. Yaa memang benar, semua kata guru-guru kamu. Makanya ketika di kelas XI bapak jadi wali kelasmu, bapak jadi paham benar bahwa apa yang kamu lakukan tidak salah.”
“Jadi bapak mendukung saya?”
“Bukannya mendukung. Bapak memahami jalan pikiran kamu.”
“Terimakasih Pak.”
“Yaaa…. jadi… nggg…. apa masalahmu dengan Pak Layang?” Tanya Pak Nanto penasaran.
“Saya mau mengaji Pak.” kata Zaniar tidak mempedulikan pertanyaan Pak Nanto.
“Oh iya…. Bapak antar ya? Bapak punya saudara di Tretes. Nanti bapak mau mampir ke sana.”
“Ah bapak bisa saja. Itu sebuah niat mendadak. Bapak sebenarnya tidak punya kepentingan di Tretes. Iya kan?”
“Niaaar…..Niar ….. pikiranmu tajam. Prinsip hidupmu mantap.”
“Saya pamit dulu Bu …..” kata Zaniar tidak mempedulikan pujian gurunya.
Zaniar menyalami ibunya dan Pak Nanto. Beberapa jenak kemudian gadis itu meninggalkan rumah. Wartini dan Pak Nanto hanya bisa saling berpandangan. Kemudian keduanya menggeleng-gelengkan kepala, hampir bersamaan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun