Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Cinta di Rumah Leluhur

28 Maret 2015   23:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Haryanto pulang kampung. Tak banyak yang ia inginkan ketika kakinya menginjakkan kembali desa Mrenek. Hanya satu : menjual rumah ayahnya. Laki-laki tak berfikir panjang apa akibatnya jika ia menjual rumah itu. Menurut perhitungannya, ia telah merawat ayahnya lima tahun terakhir. Manusia yang mengukir jiwa raganya itu telah ikut bersamanya di kota. Dengan imbal jasa semacam itu, tentu ayahnya akan mengijinkan ia menjual rumahnya.

Namun laki-laki ini tertahan langkahnya sejenak. Bibirnya dikatubkan. Nafasnya dihela dalam. Benar, rumah leluhur itu sepertinya sudah ada yang menempati. Kemarin ia ingat kata-kata ayahnya.

“Kamu tak perlu pulang kampung To. Sudah tak ada siapa-siapa di sana.” kata ayah Haryanto ketika anaknya mengutarakan keinginannya.

“Satu tinggalan ayah. Rumah leluhur itu.”

“Rumah itu sudah jadi milik orang lain.”

“Ayah bercanda.” kata Haryanto mendengus sambil membuang puntung rokok.

“Ayah serius.”

“Saya tetap akan pulang ke Mrenek.”

“Kamu akan kecewa.”

“Ayah pasti bercanda!”

“Ayah serius!”

“Bercanda!”

“Yanto! Kau pikir ayahmu ini uang dari mana untuk mengeluarkanmu dari penjara? Dari nenek moyangmu? Itu hasil penjualan rumah To. Rumah kita, yang kamu tempati sejak kecil. Ayah memang berat hati, namun demi mengeluarkan kamu, rumah itu ayah relakan. Ayah sudah tak punya apa-apa lagi selain rumah itu.”

“Ayah bercanda!”

“Itulah mengapa ayah mau ketika kamu mengajak ayah ke kota bersamamu! Kalau ayah masih punya rumah, orang tua mana yang ingin ikut bersama anaknya. Orang tua selalu ingin tinggal nyaman sendirian tanpa membebani anak cucu.”

“Tapi tak ada cucu denganku Yah, bahkan istripun tidak.”

“Tak punya istri itu kan pilihanmu sendiri. Sudah punya istri, kau sia-siakan. Padahal menurut ayah, kamulah yang salah. Untung kalian belum punya anak, kalau sudah, tentu anak ini akan ikut merasakan beban ibunya…”

“Sudahlah Yah, jangan ungkit itu lagi….. “

“Kalau begitu jangan ungkit juga soal rumah!”

“Beda Yah, sangat beda istri dengan rumah!”

“Terserah kaulah!”

***

Haryanto bersembunyi di balik pagar. Ia ingin tahu siapa yang menempati rumah itu. Ya, rumah yang pernah ia tinggali sejak kecil bersama adik-adiknya, bersama orang tuanya. Rumah cakrik priyayi dengan tembok setengah berbalut batu hitam tampak antik. Atap berbentuk semi joglo tampak beda dengan model rumah-rumah jaman sekarang. Terasnya, aduuuh …! Laki-laki itu bergumam. Ia rasakan teras itu sangat nyaman untuk bermain di masa kecil. Ayah dan ibunya duduk di kursi rotan mengawasi anak-anaknya bermain. Tentu di atas meja kayu jati ada segelas kopi, dan makanan kecil.

Jika dalam permainan ada yang nakal, maka ia atau adiknya akan memberantakkan mainan-mainan itu. Adiknya atau kadang dirinya lari ke halaman depan, naik ke atas pohon jambu batu. Sementara Titis, adik perempuan bungsunya, cuek terhadap kakak-kakaknya yang berkejar-kejaran. Gadis kecil itu lebih memilih memetik kembang-kembang kenanga yang sudah menguning dengan bau yang semerbak.

“Kembang kenanga itu masih ada …. Ada yang merawatnya, hingga mengembang biakkannya..” pikir Haryanto seraya melihat sekeliling halaman. Benar, kondisi rumah dan lingkungan tak banyak berubah.

Klotak!

Jantung Haryanto berdesir. Di belakangnya terdengar suara kelotak batu kecil. Ia menoleh. Seorang anak dengan seragam SMA putih abu-abu sedang mengamati dirinya.

“Bapak cari siapa?” tanya anak itu perlahan, sambil selintas melempar pandangan ke arah rumah yang tertutup pintunya.

“Emmm….. ti… tidak.”

“Kok bapak seperti ada maksud.”

“Mmmm ….. adik tahu siapa yang menempati rumah ini?”

“Saya , dan ibu saya. Kami pemilik rumah ini.”

“Adik tahu ini rumah siapa?”

“Aduuuh …. Bapak, kan saya sudah bilang kami pemilik rumah ini.”

“Bukannya ini rumah Pak Mirwanto?”

“Ooo….. Pak Mirwanto? Dulu, kata ibu saya memang rumah ini milik Pak Mirwanto. Tapi ibu telah membelinya.”

“Membeli? Membeli rumah ini maksudnya?”

“Astaghfirullah …… Bapak tadi menanyakan rumah yang mana sih?”

“Ya rumah ini.”

“Kan sudah saya jawab, ibu membeli rumah ini dari Pak Mirwanto.”

“Oooo….. “

“Maaf, Bapak ini siapa ya? Apa hubungannya dengan rumah ini?”

“Mmmh…. tidak, tidak ada. Siapa nama ibumu?”

“Oooo……. Itu dia ibu ………….”

Bersamaan dengan pertanyaan Haryanto, pintu rumah terbuka. Seorang perempuan keluar memandang ke arah dua orang yang sedang berbincang. Jarak sekitarsepuluh meter sangat jelas bagi Haryanto untuk melihat perempuan itu. Dada Haryanto berdetak. Perempuan itupun tampak gugup wajahnya demi melihat Haryanto.

“Itu …. Itukah ibumu?”

“Ya itu ibu. Bapak kenal?”

“Diakah pemilik rumah ini?”

“Iya. Dia ibuku.”

“Kau anaknya?” tanya Haryanto dengan mata nanar. Tenggorokannya terasa kering.

“Iya, kalau dia ibuku, pasti aku anaknya.”

Sejenak Haryanto meneliti anak SMA itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pandangan Haryanto berhenti sejenak. Ia melihat alis anak tersebut hampir menyambung.

“Kau mirip ibumu ….. “

“Apanya yang mirip?”

“Alisnya.”

“Kenapa alisku?”

“Tak apa-apa. Siapa ayahmu?”

Anak laki-laki yang berada di dekatnya menggeleng ketika terdengar panggilan dari perempuan yang berada di teras. Anak itu berlari. Haryanto mengamati sambil ternganga.

Haryanto mendesah. Ia menoleh ke arah perempuan yang masih mematung menatap dirinya. Banyak hal ingin ia tanyakan kepada anak itu, namun ia tak tahan dengan pandangan perempuan itu. Laki-laki itu buru-buru meninggalkan tempat itu, berjalan cepat. Anak SMA di depannya tak ia pedulikan lagi, ia hanya berfikir bahwa perempuan itu masih masygul melihat kedatangannya.

***

Menjelang tengah malam Haryanto sampai di kota. Tak seperti biasanya, kali ini ia tak membawa makanan untuk ayahnya. Ada perasaan jengkel yang neysakkan dada kepada orang tuanya.

“Baru pulang To?” sambut ayahnya sambil membukakan pintu.

“Yah, apa yang tampak di mata ayah…. saya baru pulang.”

“Ketus sekali jawabanmu. Ada masalahkah?”

“Benarkah Ayah menjual rumah kepada Wulan?”

“Ooooo……. duduklah dulu To ……. “ kata ayahnya tak menunjukkan kaget atau heran. Haryanto duduk dengan membantingkan pantat ke kursi. Punggung bersandar di punggung kursi, dengan posisi kepala mendongak. Jaketnya dikencangkan. Matanya melihat atas.

“Benarkah Ayah menjual rumah itu kepada Wulan?” tanya Haryanto mengulangi.

“Kan dari kemarin sudah ayah katakan, kau jangan pulang ke Mrenek. Desa itu hanya tinggal sejarah. Sudah tak ada siapa-siapa di desa itu.”

“Mengapa Ayah tak bilang ke saya kalau rumah itu dijual ke Wulan? Memangnya Wulan itu siapa? Orang kaya? Paling-paling juga suaminya yang kaya!”

“Wulan itu ya si Wulan Ndadari! Rembulan dengan sinar yang dipancarkan dengan sinar sempurna di tanggal lima belas bulan Jawa. Kamu tak tahu Wulan itu siapa?”

“Hmh!”

“Wulan itu wanita terhormat. Wanita yang tegar. Wanita yang sanggup menghidupi dua orang anaknya sendirian, bahkan yang pertama telah menjadi sarjana.”

“Anak Wulan ada dua?”

“Itulah ….. kehidupan kotamu ternyata tak memberikan arti dan pelajaran hidup bagi dirimu. Kamu telah melupakan desamu sendiri. Yaah, desa seisinya telah kamu lupakan. Hidupmu tak keruan. Ayah dulu mau menemanimu karena ingin mengawasi hidupmu. Ayah ingin punya anak laki-laki seperti kamu yang dapat menjadi contoh bagi adik-adikmu. Kamu tak pernah berfikir, apa yang menyebabkan ibumu sakit,seperti orang linglung? Tahukah sebabnya?”

“Tak tahu Ayah.”

“Itulah kebodohan kamu yang kamu pelihara sejak SMA dulu. Ibumu sakit gara-gara menanggung malu.”

“Hanya karena malu sampai meninggal?”

“Kamu anggap sepele rasa malu itu ya?”

“Tak habis pikir …..”

“Karena apa? Tahukah kamu? Karena anak laki-lakinya telah menghamili anak orang, setelah itu kemudian minggat.”

“Hmhhh….”

“ Ibumu malu. Hati ibumu teriris, remuk, ajur mumur gara-gara kelakuanmu.”

“Yah, saya tak sengaja mengajak Wulan berbuat dosa.”

“Itulah anak Ayah! Anak yang pengecut!”

“Saya juga malu Yah, masa anak SMA harus menikah dengan anak SMP? Itulah yang mendorong saya pilih minggat dari desa.”

“Ibumu lebih malu lagi ketika mengajak Wulan tinggal di sini, tetapi Wulan menolak.”

“Pernah ibu mengajak Wulan begitu?”

“Pernah. Apa yang dikatakan Wulan? Tahu kamu?”

“Tidak.”

“Ia mengatakan, mungkin ibu dulu tidak ikhlas memberikan ASI kepada kamu! Ibumu malu sekali dengan kalimat yang sederhana tetapi maknanya dalam. Ada nada menyalahkan ibumu ketika kamu berbuat begitu terhadap Wulan.”

“Sebegitu jahatnya Wulan kepada ibu!”

“Bisa juga manusia sejahat kamu terhadap Wulan mengatakan sebegitu jahatnya Wulan. Kamu yang jahat. Kamu telah mencoreng harga diri keluarga Wulan. Memang, keluarga Wulan bukan orang berada, tetapi mereka punya harga diri.”

“Hhh……”

“Bukankah kamu ingat ketika ayah wulan dulu datang, kemudian melarang kamu berpacaran dengan anaknya, karena Wulan masih kecil! Ingat apa tidaaaak?!”

“Ingat Yah, ingaaatt…..”

“Kenapa kamu melanggarnya?”

“Setan telah merasuki jiwaku….”

“Itulah To, kalau saja ayahmu ini tidak takut sama Tuhan, sudah aku bunuh kamu! Atau aku usir, atau ayah hapus kamu dari keturunan kakek Wardayaningrat!”

“Kenapa tidak Ayah lakukan?”

“Kamu dengar apa tidak tadi? Karena ayah takut kepada Tuhan.”

“Takut karena dosa membunuh?”

“Lebih dari itu, Ayah takut ditanya di hari perhitungan nanti, kenapa anakmu menjadi anak yang blangsak? Apakah tidak pernah kau didik? Apa kamu tidak berfikir jika anak-anakmu menjadi orang yang blangsak , maka anak-anakmu itu akan menebar kejelekan ke banyak orang? Itu Tooooo…. Ituuuuu… yang ayah takutkan. Ayah takut dituntut pertanggungjawaban itu.”

“Biar dosa itu aku tanggung sendiri Yah.”

“Tidak bisa begitu To. Ibumu sudah tidak mungkin bisa memperbaiki dirimu, tinggal ayahmu ini, barangkali kamu masih mau mendengar nasehat ayahmu menjadi orang baik.”

Semalaman Haryanto tak bisa tidur. Kata-kata ayahnya yang seperti marah, tetapi sebenarnya tidak. Tidak biasanya ia merenung, namun malam ini benar-benar tak seperti malam-malam biasanya yang langsung tidur mendengkur.

Perlahan laki-laki itu bangkit. Matanya melihat ke arah jam dinding. Pukul 02.17 …. gumamnya. Perlahan ia melangkah ke kamar ayahnya. Ia mengintip perlahan. Mata laki-laki itu menatap tubuh tua yang tergolek di kasur di bawah temaram lampu 10 watt. Gurat-gurat wajahnya tampak kentara. Haryanto mendesah dalam. Entah mengapa tiba-tiba ada air mengembang di matanya. Ia tatapi kembali wajah ayahnya. Ia tertegun. Ia baru merasakan melalui pandangan matanya, ada guratan kekecewaan yang nyata di wajah ayahnya. Ada guratan perjuangan untuk memperbaiki karakter dirinya yang dicap sebagai blangsak . Haryanto heran, biasanya ia marah habis-habisan jika ada orang yang menghinanya. Tetapi kali ini tidak.

Laki-laki itu berjalan perlahan. Ia keluar. Udara malam menerpa wajah. Sejuk. Beberapa jenak kemudian Haryanto telah duduk terpekur bersandar tembok di teras. Lampu lima watt menemani pikirannya kembali kepada Wulan.

“Aku harus temui Wulan …… “ gumamnya dalam.

***

Gelas berisi air bening itu tinggal separo. Haryanto meneguknya lagi. Sementara itu Wulan juga masih tak banyak bicara.

“Mas Har bisa membeli kembali rumah ini. Dengan harga yang sama setelah lima belas tahun lewat. Tak perlu kurs.”

“Aku tidak butuh rumah. Aku hanya butuh kesanggupanmu Wulan.”

“Tamtomo, anak Mas itu,  terlanjur tak mengenalmu. Ia telah aku buat menghilangkan Mas Har dari hidupnya, dari pikirannya.”

“Tak apa. Biar dia tak mengenal bahwa aku adalah ayahnya.”

“Oke Mas, tapi aku tak bisa memenuhi permintaan Mas Har.”

“Aku kaya Wulan.”

“Mas punya istri.”

“Sudah aku cerai.”

“Kamu jahat sekali Mas, suka menyakiti hati perempuan. Mau berapa perempuan yang ingin kau sakiti sebenarnya Mas? Dua, tiga, atau lebih?”

“Sss…ttt jangan salahkan aku Wulan. Istriku yang dulu aku cerai karena dia selingkuh. Dia selalu merongrong hartaku. Aku pura-pura menjadi pemabuk. Aku ini bisnis online, menjadi pemasok apa saja, semacam. Uangku banyak. Istriku tak tahu. Aku pernah bisnis LML, pernah dapat bonus puluhan juta. Istriku tak pernah tahu uangku ratusan juta, karena aku tahu dia pasti akan menghabiskannya ….. kini harta itu aku simpan di tempat tertentu. Syukur aku sudah bercerai. Aku ingin menebus kesalahanku padamu Wulan.”

“Tidak bisa Mas……”

“Wulan, dulu aku anak SMA. Pikiranku pendek. Aku tak mengerti bagaimana mencari uang. Makanya aku pilih minggat mengembara. Sekarang aku sudah sukses Wulan … aku ingin melamarmu jadi istriku.” kata Haryanto penuh harap.

Baginya, sudah kepalang banyak bercerita, tak ada lagi yang akan ditutup-tutupi terhadap Wulan. Keinginannya sudah bulat ingin menikah perempuan yang ternyata telah menjadi ditinggal mati suaminya lima tahun yang lalu.

“Jangan lakukan itu Mas.”

“Aku mencintaimu Wulan.”

“Jangan-jangan kau hanya iba, empati, karena aku janda. Iya begitu?”

“Kalimat apa yang harus aku ucapkan agar kau yakin Wulan?”

“Tak ada.”

“Ada.”

“Tidak.”

“Pasti ada Wulan.”

“Tak ada, semua karena Mas Har telah terlambat …………..” kata Wulan seraya mengambil sesuatu dari rak bawah meja. Kartu. Wulan menyodorkan kartu itu ke Haryanto. Laki-laki itu melongo.

“Kartu apa? Undangan?”

“Dua minggu lagi aku akan menikah Mas. Calon suamiku sekarang sedang bekerja menjadi teknisi di kilang minyak di Kuwait. Dua hari lagi ia akan pulang ke sini.”

“Ooooo……hhh”

Dahi Haryanto dingin. Keringat merembes membasahi dahi itu. Punggungnya tiba-tiba juga terasa basah oleh keringat. Lehernya terasa tersumbat. Sesak. Haryanto mencoba menenangkan diri dengan meneguk air bening yang tinggal sedikit. Ia mengatubkan bibir. Pandangannya ke lantai.

Lima menit keduanya diam.

“Syukur kau akan memulai hidup baru lagi Wulan …. “ akhirnya Haryanto bersuara.

“Maafkan Wulan Mas ….”

“Titip salam untuk Tamtomo anakku.”

“Maafkan Wulan Mas ….. maaf.”

“Ia harus tahu bahwa aku adalah ayahnya.”

“Entahlah.”

“Aku pamit.”

“Ya.”

Haryanto beranjak dari kursi. Ia bergegas meninggalkan teras rumah leluhurnya. Namun sampai di pintu pagar luar laki-laki itu berdiri termangu. Ia menoleh. Wulan masih berdiri terpaku di teras. Haryanto mendesah. Ia berbalik. Perlahan ia berjalan kembali ke teras. Sampai di dekat Wulan, jantung Haryanto berdetak keras. Ia melihat air mata yang meleleh deras di mata perempuan itu.

“Aaa… ada apa lagi?” tanya Wulan di antara suaranya yang tersekat.

“Kapan tanggal pernikahanmu?” tanya Haryanto yang lupa membaca waktu pernikahan.

“Dua puluh sembilan Maret.”

“Wulan …. Ijinkan aku mencium tanganmu untuk terakhir kali …..” pinta Haryanto seraya mengulurkan tangan. Wulan diam. Haryanto memberi isyarat dengan matanya.

“Tidak…”

“Kenapa?”

“Kau tak boleh mendahului takdir.”

“Apa maksudmu?”

“Kata-kata – terakhir - itu melawan hak Tuhan.”

“Aaaahhh ….. itu kata-kataku ketika dulu aku merayumu. Kau adalah cintaku yang terakhir. Kau mengatakan itu.”

“Kau masih ingat?”

“Untuk Wulan. Wanita yang aku cintai penghuni rumah leluhurku. Mudah-mudahan rumah ini adalah wakil jasadku ini Wulan. Semua bagian rumah ini akan selalu mendampingimu ….. rumah ini adalah Haryanto, Haryanto adalah rumah ini yang akan selalu menjadi tempat berteduh Wulan dan anakku….”

“Anakku datang Mas ……. “ kata Wulan tiba-tiba mengingatkan. Haryanto terhenyak. Ia menoleh ke pagar depan. Benar, Tamtomo datang.

“Bapak yang ini lagi?” gumamnya ketika sudah dekat seraya memandang aneh ke arah Haryanto.

“Aku pamit dulu Wulan … ingat pesanku…… ingatkan bahwa aku adalah ayahnya….” bisik Haryanto hanya terdenga oleh Wulan. Perempuan itu hanya mendesah.

Akhirnya kali ini Haryanto benar-benar pergi dari halaman rumah leluhurnya. Ia bergegas tanpa kembali menoleh. Ia mencoba menahan rasa yang menggelegak dalam hatinya. Namun ia merasakan bahwa rasa yang hadir adalah rasa ingin menangis. Tapi ia malu.

***

Dua minggu kemudian. Minggu tanggal 29 Maret 2015.

Haryanto telah mangkal di warung di ujung gang yang mengarah ke rumah leluhurnya. Jarak sekitar tiga ratus meteran. Sambil menikmati kopi dan rokok, ia menganyam angan tentang nasib dirinya yang tak pernah berbahagia dengan perempuan. Paling tidak sampai detik ini.

“Dari tadi saya tidak mendengar suara hingar bingar Pak….” tanya Haryanto kepada pemilik warung.

“Hingar bingar apa maksudnya?”

“Biasanya kalau ada yang pynya hajat suka ramai, ada musik, entah dangdut, organ tunggal atau apa saja.”

“Punya hajat apa?”

“Bukannya di selatan sana ada yang menikah?”

“Ah tidak.”

“Tidak?”

“Menikah apa? Kawinan begitu?”

“Iya begitu, kawinan. Yang di rumah kuno itu, rumahnya Pak Mirwanto.”

“Ooooo ….. rumah Bu Wulan?”

“Iya itu.”

“Kan tidak jadi menikah.”

“Lho? Kenapa ya?”

“Sepuluh hari yang lalu ada kabar calon suaminya kecelakaan.”

“Hah? Kecelakaan?”

“Di mana?”

“Di Arab atau di mana itu?”

“Di Kuwait?”

“Iya, iya betul, itu di Kuwait. Kecelakaan kerja di perusahaan kilang minyak …. Kasihan benar dia, sudah janda, mau menikah eh gagal .”

Haryanto bergegas bangkit dari duduknya. Setelah membayar minum dan rokok, ia melajukan moge-nya ke arah rumah leluhur. Di depan pagar Haryanto turun. Ia termangu. Rumah leluhurnya sepi. Tapi jendela kamar depan terbuka. Wulan pasti di dalam.

Wajah wulan berkelebat cepat di depan matanya. Ia membayangkan Wulan datang menjemputnya, menyongsongkan kedua tangannya. Senyumnya saling mengembang. Jemari saling bertaut. Rumah leluhur menjadi milik berdua.

“Mas masuk saja ….. “ ada suara di belakangnya. Haryanto tersentak dari lamunan.Ia menoleh.

“Wulan …. Wuuu…. Wulan…….” Suara Haryanto tersekat berhenti di leher. Ia pandangi wajah Wulan yang baru datang dari arah jalan . Wulan diam. Perempuan itu mendesah.

“Masuk Mas …. duduklah di dalam …. “

Haryanto tergagap, namun tak jadi bersuara. Ia ingat kata-kata Wulan beberapa hari yang lalu “Kata-kata terakhir itu melawan hak Tuhan” . Mungkin kalimat ini sebagai firasat bahwa tak harus ada kata terakhir tentang hubungan mereka di rumah leluhur? Mungkin saja.

Haryanto hampir tak percaya . Ia merasa nyaman, tenteram siang itu duduk di teras rumah leluhurnya. Ia yakin, di rumah ini akan ada lembaran cinta lama yang akan bertaut kembali. Dan yang pasti ia berharap kehadirannya akan bermakna bagi Tamtomo, darah dagingnya. ***

Majalengka, Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun