Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kyai Keramat (9)

18 Mei 2014   15:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14003763952054986625


Seri 9 : BAYANGANMU BERKELEBAT

Melihat Sang Kyai terdiam Kyai Haji Mukhlis Abas tertawa. Sang Kyai ikut tertawa, tetapi ia sendiri tidak tahu menertawakan apa. Hingga beberapa saat Sang Kyai kembali diam. Beberapa saat kemudian ia mengangkat kepalanya. Kyai Haji Mukhlis Abas ditatapnya.

“Rayi...... raasanya saya pernah mengenal dia.” Katanya pelan.

“Dia itu ibunya santri.”

“Oooo.... ”

“Anaknya sekarang jauh dari sini.”

“Katanya ibunya santri, kenapa anaknya jauh dari sini?”

“Anaknya sedang jadi santri kalong , sedang ngalong di Widodaren.”

“Apa?”

“Iya.Di Widodaren.”

“Widodaren mana? Tempatku ?”

“Iya.”

“Siapa dia?”

“Berapa banyak santriku yang ngalong di tempat kangmas?”

“Ya satu, itu si Abu Najmudin?”

“Ya iya lah. Perempuan tadi itu ibunya si Udin.”

“Apa?!” Sang Kyai kaget hingga terhenyak.

“Masa kyai fenomenal berteriak begitu….. “

“Astaghfirullaaaaahh.....” Sang Kyai kaget . Namun kemudian ia menyadari kekeliruannya dengan beristighfar.

Sang Kyai benar-benar tidak menyangka bahwa perempuan yang ditanyakan adalah ibunya Abu Najmudin. Santri hafidz tiga puluh juzz yang sekarang sedang mesantren di pesantrennya. Hal yang tak pernah ia pikirkan adalah Abu Najmudin. Kemarin-kemarin ia sama sekali tak terlalu mempedulikan pemuda itu. Abu Najmudin sudah diserahkan kepada Kyai Ahmad Hong dan Kyai Haji Soleh Darajat untuk mengaji bersama-sama.

“Jangan-jangan Udin juga sebenarnya kangmas kenali?” Tanya Kyai Haji Mukhlis Abas setelah lama Sang Kyai diam.

“Tidak. Tapi rasanya wajah anak itu tidak asing.”

“Syukurlah kalau kangmas merasakan wajah santriku itu tidak asing.”

“Terus , dia orang mana?”

“Jauh sih, dari Purwonegoro”

“Purwonegoro? Purwonegoro Banjarnegara?”

“Iya, mBanjar! Kangmas seperti mengenalnya?”

“Antara ingat dan tidak.... ya, seperti pernah melihat tapi tidak yakin...... “

Dada Sang Kyai bergetar cepat. Laki-laki itu ingat tadi pagi betapa ketika bertemu pandang tidak sengaja dengan Sunarti, seperti ada sebuah sinar mata yang menyengat relung hatinya. Sang Kyai terdiam beberapa saat.

“Rayi.... maafkan saya.... sesungguhnya saya sebagai seorang kyai kurang pantas bicara hal ini.” Katanya kemudian dengan pelan.

“Oooo manusiawi kangmas. Jangan kangmas katakan ini tidak pantas. Seorang kyai tidak hanya melulu ia hafidz Qur’an, mumpuni ilmu mantiq, kadang dibekali karomah, ilmu laduni dan sebagainya. Di sisi manusia biasa, yaaa dia sebagai manusia biasa yang bukan kyai.”

“Terimakasih rayi ....”

“Jadi ungkapkanlah apa yang ingin kangmas katakan, siapa tahu yang sedang saya hadapi adalah sebuah tabir mimpi yang sedang terbuka. Mungkin kangmas memang punya masa-masa pernah mengenal orang, khususnya perempuan, yang sangat mengejutkan hidup kangmas....”

“Tidak tahulah rayi..... “

“Oh maaf, maaf.”

“Rayi.... apakah....apakah..... nama perempuan tadi....ngg..... rayi tahu namanya?”

“Oooo... tidak terlalu hafal. Waktu itu yang menerima dia adalah istriku. Tapi kita bisa tanya saja ke Bu Hajjah Sarmunah saja.”

“Yayaaa....”

Kyai Haji Mukhlis Abas menangkap ada sesuatu yang berbeda dalam diri Sang Kyai. Sang fenomenal itu seperti sedang bingung. Nafasnya seperti memburu, kadang diam tenang. Namun kadang tampak tersengal-sengal.

Butuh ketemu Hj. Sarmunah, Kyai Haji Mukhlis Abas menelpon istrinya agar perempuan kepala juru masak itu menghadap. Selang sekitar lima menitan yang dipanggil datang.

“Mau minum apa Pak Kyai Haji?”

“Ah Bu Hajah bercanda. Lihat, gelas juga baru diminum sedikit. Sebentar ya Bu, ada yang mau ditanyakan....”

“Wah... saya kok jadi takut.”

“Jangan takut. Ini bukan masalah Bu Hajah.”

“Ooooo.... saya kira saya ini punya salah apaa....”

“Begini Bu Hajah, ibu-ibu yang tadi pagi, itu.... mmm.....ibunya Abu Najmudin. Bu Hajah tahu nama aslinya?”

“Ya , saya tahu Pak Kyai .”

“Siapa?” Sergah Sang Kyai.

“Ngg..... Su…. Sunarti.”

“Sunarti?! Sunarti Bu???” Tanya Sang Kyai dengan wajah tegang.

“Iya. Ibu Sunarti.”

“Benar Sunarti?”

Ya Allah ya rabbb...! Sunarti.....! Sang Kyai bergumam sambilmenutupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Lama sekali Sang Kyai melakukan hal itu. Sementara kedua orang di dekatnya hanya bisa diam. Beberapa saat kemudian malah terdengar Sang Kyai seperti menangis.

“Kangmasss..... istighfar kangmas.”

“Astaghfirullahh....hal’adziiiimmmm.” Ujar Sang Kyai seraya membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Mata Sang Kyai sembab.

“Minum kangmas..... “ Kata Kyai Haji Mukhlis Abas menyodorkan gelas. Sang Kyai menerima gelas. Kemudian laki-laki itu minum hingga wajah yang semula tegang, sekarang kelihatan tenang.

“Saya ingin bertemu Bu Narti bu Hajjah.....” Kata Sang Kyai hampir tak terdengar.

Hj. Sarmunah menoleh ke arah Kyai Haji Mukhlis Abas. Laki-laki itu mengangguk memberi kode kepada Hj. Sarmunah untuk memberi tahu Sunarti. Sepeninggal Hj. Sarmunah, Sang Kyai menggeleng-gelengkan kepala.

“Kangmas yakin kalau memang pernah ketemu Bu Sunarti?”

“Mudah-mudahan rayi.... mudah-mudahan di Purwonegoro tak ada nama Sunarti selain dia.”

“Kangmas seperti terpukul sekali.”

“Tak tahulah rayi..... “

“Siapa sebenarnya Sunarti kangmas? Oh, oh maaf kangmas. Tidak jadi.... saya tidak jadi bertanya....”

Kyai Haji Mukhlis Abas tak jadi menanyakan, walaupun dalam hati ia ingin tahu apa hubungan Sunarti dengan Sang Kyai. Tapi ia merasa bahwa itu adalah hak privat orang lain yang selayaknya memang tidak untuk dicampuri. Kadang-kadang manusia suka mencari tahu tentang rahasia pribadi orang lain atau masalah orang lain , namun setelah tahu ia tak membrikan solusi apa-apa. Kyai Haji Mukhlis Abas faham akan sebuah ketakutan seandainya dirinya tak mampu memberikan solusi jika memang Sang Kyai punya masalah.

Kira-kira lima menit berselang, Hj. Sarmunah datang. Wajahnya cemas. Kyai Haji Mukhlis Abas heran, demikian pula Sang Kyai .

“Bu Narti Pak Kyai....”

“Bu Narti kena apa?”

“Tak ada di kamarnya, tak ada di dapur..... “

“Ke mana?”

“Tidak tahu Pak Kyai Hajiiii....”

“Maksudnya?”

“Tak ada maksud. Eh maaf, maksud saya Bu Narti tak ada. Yaaa...bagaimana saya ini...”

“Bu Hajah, tolong beritahu beberapa santriwati untuk mencari Bu Narti, mungkin di halaman belakang menjemur pakaian, atau ke kebun belakang memetik bayam atau apa....”

“Iya..iya....”

Sepeninggal Hj. Sarmunah, Sang Kyai kembali terdiam. Kyai Haji Mukhlis Abas pun demikian, ia tak berani mengganggu keheningan sahabatnya. Sesekali ia menoleh ke arah Sang Kyai kalau-kalau dirinya dibutuhkan. Namun hingga beberapa waktu berlalu, Sang Kyai masih terpekur.

Di luar Hj. Sarmunah mengerahkan beberapa santri putri untuk mencari Sunarti. Suara mereka begitu ribut, karena merasa bahwa yang sedang dicarinya memang sudah dianggap hilang.

“Siapa yang terakhir bertemu?”

“Saya Bu Hajjah. Tadi malam pas tausiyyah ..... “

“Apaan? Kelamaan! Bahkan tadi pagi ini Bu Sunarti masih bersama saya mengantar minuman ke Sang Kyai dan Pak Kyai Haji.”

“Ooo... ya ndak tahu Bu.”

“Makanya tolong carikan....”

“Ada kasus apa si Bu?”

“Kasus apa? Ya tidak ada apa-apa. Orang baru bekerja di sini, masa sudah punya kasus.”

“Ya sudah ndak usah dicari saja Bu Hajjah... nanti juga pulang sendiri.”

“Enak saja. Yang mau ketemu itu Sang Kyai.”

“Sang Kyai Widodaren?”

“Iya!”

“Naaaahhhhh... ini lho Bu, yang saya maksud kasus! Kalau sampai Bu Narti yang anggota baru di dapur sampai dipanggil orang kawentar seperti Sang Kyai , mesti punya kasus. Lha ya ini yang saya maksud kasus.”

“Wah kamu ini ada-ada saja....”

“Lha kasusnya apa Bu Hajjah?”

“Bagaimana sich! Katanya lha ini yang saya maksud kasus, kok malah nanya lagi.”

“Maksudnya kenapa Bu Narti dipanggil Sang Kyai. Memangnya Sang Kyai kenal sama Bu Narti?”

“Mana saya tahu? Yang penting, cari Bu Narti sekarang!”

Beberapa waktu berselang, seluruh santriwati yang ditugasi melacak keberadaan Sunarti sudah kembali lagi. Tapi semua menunjukkan sikap bahwa usahanya tidak membuahkan hasil.

“Ada yang melihat?”

“Tak ada Bu. Tadi saya hanya iseng melongok kamarnya, ternyata tidak dikunci. Saya rasa pakaiannya masih ada.”

“Ooo ya sudah. Kalau begitu paling-paling ya ditunggu saja....”

Hj. Sarmunah melaporkan usahanya yang sia-sia. Kedua kyai bersahabat itu hanya menghela nafas panjang, sambil membaca istighfar.

“Mudah-mudahan sebentar lagi ia kembali....”

“Ya....” Kata Sang Kyai hampir tak terdengar.

Sang Kyai menghela nafas. Perlahan tangannya merogoh saku bajunya. Ia mengambil HP.

“Assalaamu’alaikum..... “

“Oh ayah... wa’alaikumussalam.”

“Kamu di mana Hong?” Tanya Sang Kyai cukup keras hingga terdengar oleh Kyai Haji Mukhlis Abas bahwa Sang Kyai berbicara pada anaknya.

“Di kamar, mengambil buku yang tertinggal. Kalau di depan orang lain masa aku panggil ayah. Sehat ayah....”

“Alhamdulillah....se..sehat ...”

“Tapi suranya serak begitu.”

“Tak apa-apa kok. Nggg, Hong, si Udin ada?”

“Kebetulan tidak ada. Ada apa cari Udin yah?”

“Ahhh tidak apa-apa.... mau tahu keadaanya saja.”

“Tapi sehat kok. Tadi pagi ia minta ijin mau melihat pasar di depan pesantren, katanya ada yang aneh lagi..... “

“Ada yang aneh lagi? Ada makam keramat lagi?”

“Ooo tidak.... naaah ini yah, sekalian mau lapor, tadi malam Wak Wardan datang ke sini, mau cari ayah.”

“O ya terima saja.... biar ia belajar banyak tentang hidup yang benar dari pesantren.”

“Tadinya sih begitu, tapi malah acaranya jadi runyam.”

“Runyam?”

“Iya runyam. Wak Wardan marah-marah, bahkan sampai mengancam ayah segala. Pakai keris lagi....”

“Astaghfirullah...... mengapa mengancam saya?”

“Tidah tahu yah.”

“Tersinggung disuruh ngaji?”

“Tidak tahu yah. Tadi malam sehabis marah-marah ia langsung pergi sambil menghunus keris, memarahi juga para santri yang menghalangi jalannya.”

“Astaghfirullaaaah... kenapa lagi orang tua itu.....”

“Malah ada satu info lagi...”

“Apa itu?”

“Ternyata makam Kyai Sendang itu bohong yah.”

“Aku kan sudah mengatakan dulu, biarlah ia yang bicara sendiri. Ternyata benar kata ayahmu ini....”

“Tapi bukan dia yang mengatakan sendiri yah.”

“Maksudnya?”

“Katanya diancam oleh Kyai Haji Soleh Darajat , hingga akhirnya Wak Wardan terus terang bahwa makam keramat itu ternyata hanyalah sebuah kuburan kucing.”

“Astaghfirullah.....! Kuburan kucing.......” Kata Sang Kyai melemah. Tangannya lunglaimelorot ke bawah.

Klotak! HP yang dipegangnya jatuh ke lantai. Kyai Haji Mukhlis Abas kaget melihat Sang Kyai terbengong-bengong. Dengan serta merta HP diambil, ditaruh dia atas meja. Kyai Haji Mukhlis Abas memegangi kedua pundak Sang Kyaiperlahan.

“Ada apa kangmas? Istighfar kangmas....”

“....sss.......ffff...llll...aaaaaahhhh.....”

“Tenangkan dulu kangmas......tenangkan....”

“Ya...ya.... sudah terima kasih. Saya tak apa-apa ...... “

“Maaf, kalau boleh tahu ada apa dengan nak Ahmad Hong?”

“Tidak. Bukan dia rayi..... ternyata keanehan diriku ini mengakibatkan bencana yang semakin luas saja.”

“Keanehan apa?”

“Yaaaa. ... yang orang-orang katakan bahwa aku ini diberi karomah. Nyatanya tidak, justru banyak bencana aqidah di belakangnya. Aku ngeri rayi.....”

“Bencana aqidah bagaimana?”

“Bayangkan saja, pertama saya merasa mulai tidak beres ketika ada calon bupati yang mau maju pilkada meminta restu padaku agar dimenangkan. Saya bingung rayi, saya hanya katakan, mohonlah kepada Allah SWT, udz’unii astajib lakum! Berdoalah, maka aku (Allah) akan mengabulkan doamu.”

“Terus dia menang apa tidak?”

“Katanya menang. Dari media, termasuk televisi juga diberitakan demikian.”

“Ya sudah, berarti itu doa kangmas.”

“Bukan! Itu doa dia sendiri, yang mengamalkan isi Al Qur’an. Yang aku takutkan kalau-kalau semua calon itu datang kepadaku..”

“Takutnya apa?”

“Ya mana mungkin doa mereka dikabulkan semuanya menjadi bupati. Yang menang memang bersyukur, tapi yang kalah nanti akan mengira aku pilih kasih.”

“Terus yang kedua?”

“Makam keramat. Ketika di lingkungan Widodaren mulai ramai, ada yang menfaatkan membuat seolah-olah desa Widodaren memang tempatnya yang keramat-keramat. Ia buat gundukan, diziarahi, didoakan, minta berkah ke yang ada di balik gundukan, ia buat kotak amal.... ternya itu akal-akalan dia saja. Itu kuburan kucing.”

“Astaghfirullaaaahh...”

“Yang ketiga kemarin siang sebelumaku ke sini, ada yang mencegat saya agar dinasehati agar jadi mubaligh yang terkenal, yang laris, agar dapat membantu mendongkrak ekonomi keluarga. “

“Astaghfirullah..... aneh-aneh sekali.... terus kangmas doakan?”

“Belum. Tapi orangnya saya suruh menginap di Widodaren, suruh nunggu saya pulang.”

“Ya Allaaah..... “

“Rasanya bulan-bulan terakhir ini bulan yang penuh cobaan dari Allah SWT rayi....”

“Kalau memang kangmas anggap ini cobaan, bersabarlah kangmas.”

“Aku tak sekhusyu dulu mengurus pesantren. Dulu nikmaaat sekali, jadwal di pesantren rapi, pelaksanaan tenang, tak ada hambatan. Pagi-pagi tausiyyah, tadarus, shalat dhuha, siang mulai hafalan. Belajar bahasa Arab, bahasa Inggris, bedah buku, ngaji kitab kuning, ilmu mantiq, sorogan, tanya jawab, atautentang apa saja. Sekarang sepertinya aku lebih didekatkan urusan dunia. Mobil-mobil, motor yang berjajar parkir, pasar tiban, orang jualan pakaian, aksesoris ibadah, makanan, minuman.... karcis, dan sebagainya.”

“Yaaa bukankah pesantren itu bukan hanya mengaji dengan duduk manis tanpa ada usaha mengembangkan usaha untuk memperluas cakrawala tentang penerimaan umat manusia terhadap Islam di masa kini?”

“Tapi ini terlalu cepat.”

“Bukankah kangmas bersyukur.”

“Ya bersyukur memang, terutama dalam hal menolong orang. Tapi efek sampingan yang muncul, benar-benar bukan hasil dari sebuah program. Dadakan saja. Aku belum siap mental. Rayi masih ingat kasus Ponari?”

“Masih.”

“Jangan-jangan ada yang menyamakan aku dengan Ponari.”

“Jangan su’udzon kangmas.....”

“Astaghfirullaaaaah.....”, ucap Sang Kyai sambil bersandar di punggung kursi, “....... rayi.... inilah, termasuk ini, kadang-kadang aku jadi tak terkendali menuduh orang. Padahal lebih baik diam. Tapi kadang-kadang secara reflek seperti ini.... terimakasih rayi diingatkan.”

Sekitar pukul sebelas lebih beberapa santri mulai mempersiapkan diri mengambil air wudlu untuk shalat dzuhur. Sang Kyai sendiri juga sudah merasa cukup lama berbincang-bincang dengan sahabatnya tentang banyak hal. Kedua kyai itu beranjak menuruni tangga lantai dua rumah utama. Namun baru beberapa trap, dari bawah tampak Hj. Sarmunah datang kemudian memberi tahu perihal Sunarti.

“Pak Kyai Haji, Paryanto melihat Bu Sunarti naik bis dari Tambak, ke arah mBuntu!”

Kedua kyai itu kaget. Sang Kyai tertegun. Keduanya saling berpandangan. Hj. Sarmunah yang berdiri di dekatnya tidak berani bicara sementara kedua orang yang dihormati itu diam. Dalam hati Sang Kyai merasakan perempuan itu adalah Sunarti yang pernah dikenalnya. Sang Kyai gelisah. Jika informasi benar, maka benar-benar Sunarti memang ingin menghindarinya.

“Dia menghindar dariku …..” Sang Kyai bergumam.

“Apa kangmas?”

“Oh, tiii…. Tidak. Tidak ada apa-apa.”

Adzan berkumandang.

Tak banyak bicara Kyai Haji Mukhlis Abas menggamit lengan Sang Kyai menuruni tangga. Keduanya bersuci di padasan yang bersebelahan. Di sekitarnya para santri semakin banyak yang mengambil air wudlu.

Siang itu Kyai Haji Mukhlis Abas yang menjadi imam. Sang Kyai yang dipersilakan tidak mau, bahkan balik mempersilakan. Kyai Haji Mukhlis Abas sendiri melihat bahwa Sang Kyai sedang diliputi banyak pikiran, maka tanpa panjang basa-basi lagi memimpin jamaah untuk shalat dzuhur. Sekitar setengah jam kegiatan usai shalat, baik wajib maupun sunah, serta dzikir, keduanya meninggalkan masjid.

“Sebaiknya aku pulang rayi ..... “

“Kenapa?”

“Banyak urusan yang membebani pikiranku.”

“Ya, saya mengerti kangmas, tapi urusan kita belum selesai.”

“Urusan yang mana? Menafsirkan mimpi?”

“Yaaa... itulah....”

“Aku bukan ahli nujum.”

“Kangmas mendapat karomah. Kangmas sangat dekat Allah. Tanyakan mimpi saya pada Allah kangmas.... jawabannya beritahu pada saya.... kapan saja.”

“Hmh! Jadi benar saya diundang ke Kedungjati ini hanya untuk mendengar mimpi rayi?”

“Ya. Saya merasa mimpi sangat penting bagi kangmas.....”

“Sudahlah rayi, aku tak tertarik lagi.....” Kata Sang Kyai melemah. Kyai Haji Mukhlis Abas menggelengkan kepala. Ditatapnya sahabatnya hingga lama.

“Termasuk tidak tertarik dengan kepergiaan Bu Narti?” Tanya Kyai Haji Mukhlis Abas memancing. Sang Kyai menghela nafas panjang.

“Apa aku harus tertarik? Maksudnya apakah aku harus serius untuk menyikapinya?”

“Menyikapi apanya kangmas?”

“Kepergiannya misalnya?”

“Kita belum tahu apakah Bu Narti benar-benar pergi. Santriku Paryanto hanya melihat Bu Narti naik bis. Kita kan tidak tahu apa yang ia lakukan. Pergikah? Belanjakah? Atau apa? Misalnya dia pergi juga kenapa? Tak ada api yang menyebabkan munculnya asap kangmas.”

“Terus mengapa tadi rayi tanyakan apakah aku tak tertarik dengan kepergian Bu Narti? Iya kan?”

“Hanya menduga-duga saja. Dari jaman dulu kita ngaji bareng, saya mengenal Ahmad Soderi orang yang paling tidak mampu menyimpan isi hatinya. Kalau marah kelihatan, kalau senang kelihatan, kalau bingung kelihatan, kalau malu kelihatan, kalau semangat melemah kelihatan.... wajah kangmas itu seperti kaca yang transparan untuk mengatakan isi hati. Sekarang juga begitu, ketika kangmas sedang gelisah dengan perempuan bernama Sunarti, juga kelihatan sekali. Kelihatan sekali kangmas ingin bertemu, tetapi kelihatan pula kangmas tak punya keberanian untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya terjadi.... atau... siapa sesungguhnya Sunarti.”

Sang Kyai hanya diam. Ia biarkan Kyai Haji Mukhlis Abas bicara panjang. Sesekali laki-laki itu menghela nafas dalam.

“Kalau Bu Sunarti tidak kembali lagi ke pesantren ini, apa yang kangmas lakukan?” Tanya Kyai Haji Mukhlis Abas perlahan.

“Siapa yang menjamin dia tidak akan kembali.”

“Seandainya kangmas.... seandainya.”

“Seandainya dia tidak kembali, maka urusannya dengan pimpinan Kedungjati!”

“Lho?! Kok malah aku?”

“Lho ya iya laaah.... kalau aku? Apa hubungannya dengan kepergiannya?”

“Iya sihhh....”

“Ya iya. Aku bicara dengan dia juga tidak, bagaimanamungkin jika kejadian aku ikut terlibat di dalamnya.”

“Terus?”

“Kalau memang aku penasaran, ini misalnya, misalnya aku penasaran, aku bisa tanya Abu Najmudin di Widodaren nanti.”

“O ya. Kalau begitu terserah kangmas.”

“Siang ini aku jadi pulang.”

“Benar ini. Bukan marah kan?”

“Bukan. Justru aku malah merasa beruntung, seumur aku mengasuh pesantren, baru kali ini aku dihinggapi tanda tanya dan penasaran.”

“Syukurlah.... berarti hati kangmas masih sempurna, memiliki berbagai macam rasa.”

Sang Kyai diam. Bayangan Sunarti berkelebat. Bayangan Abu Najmudin berkelebat. Siang itu Sang Kyai benar-benar ingin segera bertemu pemuda itu. ***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.Kawentar = terkenal

Bersambung ke Seri 10

Insya Allah Rabu mendatang ………….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun